Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Sains dan Ontologi Manusia

×

Sains dan Ontologi Manusia

Share this article

 

Oleh : Dr. Yustin Paisal, MT

 

Uraian tentang karakteristik filsafat manusia secara komprehensif, dapat ditinjau dari beberapa fokus diskusi yang banyak disinggung oleh para filosof. Pada saat sains menunjukkan perkembangannya, maka para sosiolog dan filosof pun memberikan komentar tentang apa yang sesungguhnya terjadi dengan peradaban umat manusia pada jamannya masing-masing.

Sebut saja diantaranya adalah Schopenhauer, Hegel, August Comte, dan Albert Einstein. Ketika mereka menelaah sisi sainstifik, mereka juga menelaah sisi spiritualistik. Namun, pandangan mereka boleh jadi merupakan filsafat fenomenologis yang mana dalam menelaah alam semesta dilakukan dengan pendekatan keterlibatan cara penampakan mereka pada kesadaran manusia (Donny, G.A., 2010).

Pandangan tentang kemanusiaan menyangkut kehendak dan roh masing-masing juga telah banyak dikemukakan oleh Murtadha Mutahhari dan Mulla Sadra di samping Schopenhauer dan Hegel. Begitupun oleh Cassier tentang animal symbolicum dan oleh Bergson tentang daya penggerak hidup (Murtadha Mutahhari, 2007).

Selaras dengan ini, pandangan St.Thomas Aquinas tentang five ways untuk mengenali sifat Tuhan yang mana banyak diinspirasi oleh pandangan filosof Aristoteles dan Ibnu Rusyd ( Averroes) juga memberi corak tersendiri kepada para saintifik terhadap temuan-temuan mereka untuk kemanusiaan (Yuana K.A.,2010).

August Comte, misalnya, sebagai seorang positivis dengan pandangannya bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh secara metode ilmiah yang kemudian dikembangkan oleh para filosof dikemudian hari berpendapat bahwa intelektualitas tidak seharusnya menjadi budak ketekunan, tetapi menjadi pelayan bagi hati (Yuana K.A.,2010).

Kemudian, pandangan August comte yang terkenal dengan evolusi agama (Abdullah A.,2007), bercorak falsafah metafisis, yang oleh Murthada Mutahhari dianggap sebagai pencarian insan diri, berpendapat bahwa masyarakat berkembang melalui prinsip law of three stages yakni tahapan teologis, metafisis, dan tahapan positivis. Lebih detil St.August Comte menggambarkan bahwa proses berpikir manusia dalam menafsirkan dunia dengan segala isinya adalah berkembang secara evolutif (Veeger,1986 dalam Abdullah Ali, 2007)

Einstein pun, seorang filosof modern, yang terkenal dengan teori relativitas dan tentang energy juga mengemukakan pandangannya yang metafisik tentang eksistensi keagamaan bahwa sains tanpa agama adalah buta dan agama tanpa sains adalah pincang (Armahedi M., 2005 dalam Zainal A.,2005).

Pandangan mereka dan beberapa filosof telahmembahas eksistensi kemanusiaan pada sisi spiritualitas sekaligus sisi fisikal. Seperti dalam uraian yang spesifik, George Sarto telah mengatakan bahwa sains telah menunjukkan kemajuan-kemajuan yang agung dan ajaib diberbagai wilayah, tetapi di berbagai wilayah lain, seperti kebijaksanaan-kebijaksanaan nasional dan internasional yang berkaitan dengan hubungan antar manusia, kita masih primitif (Murtadha Mutahhari, 2007).

Terjadinya penentangan dari sisi kemanusiaan terhadap imprealisme dan kolonialisme di beberapa negara Asia Tenggara dan Timur Tengah, pada ketiga abad terakhir adalah contoh kongkrit apa yang telah dikemukakan oleh Sarto yang telah menulis buku tentang the story of science, bahwa sains bukan untuk tujuan perang dan penjajahan! Selanjutnya, Sarto memberi komentar yang mana telah dikemukakan oleh Mutahhari bahwa manusia membutuhkan agama sebagai wujud keimanan dalam diri manusia.

Keterhubungan seni, agama, dan sains memiliki makna masing-masing. Seni lebih definitif pada apresiasi keindahan suatu obyek, dengan demikian dapat memberi kebahagiaan pada kehidupan manusia.Sedangkan, agama menghasilkan cinta dan merupakan musik kehidupan.Adapun sains, berkorelasi dengan kebenaran, kebajikan, dan rasionalitas, yang mana berdampak positif pada kemanusiaan sejati. Manusia membutuhkan ketiganya: seni, agama, dan sains. Sains dibutuhkan di dalam kehidupan manusia, tetapi sains saja tak akan pernah mencukupi (Sarto dalam Murtadha Mutahhari, 2007).

Berdasarkan beberapa pandangan di atas, dapat dirumuskan suatu substansi pembahasan yang bersifat sintesis dari keseluruhan fenomena yang diamati sehubungan dengan eksistensi manusia secara komprehensif, bukan hanya salah satu sisi saja secara naturalis belaka namun juga pada sisi metafisik yang mewarnai aspek perikehidupan manusia lainnya.

Oleh karena itu, filsafat manusia mengetengahkan tentang pembahasan dimensi material dan immaterial secara reflektif berkenan tentang manusia sebagai hal yang niscaya, serta menjelaskan setiap gejala atau pengalaman manusia berdasarkan kedua prinsip itu secara terintegrasi dan tidak menafikan salah satu dari keduanya menyangkut tentang kemanusiaan dan alam semesta.

Di samping itu, tujuan dari filsafat manusia ini pada hakekatnya adalah bagaimana pengenalan diri yang merupakan ciri dari ekstensif dan intensif (Zainal Abidin, 2006), baik diri secara individu dan diri secara interkoneksitas dengan aspek sosial, budaya, sains, alam, dan agama.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa filsafat manusia merupakan jalan tengah antara filsafat materialisme dan filsafat spiritualisme.Adapun substansi filsafat manusia dalam menjelaskan obyek adalah secara sintesa dan reflektif.Sehingga secara umum, dalam mengamati suatu obyek telaah yang dilakukan berkaitan dengan isi atau hasil filsafatnya adalah secara ekstensif dan intensif (Zainal Abidin, 2006).

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply