Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Persaudaraan Semesta ; Antara Richard Dawkins dan Laodato Si’

×

Persaudaraan Semesta ; Antara Richard Dawkins dan Laodato Si’

Share this article

Oleh : Muh. Asratillah Senge

Saya yakin, ajakan untuk melabrak batas ego kita masing-masing, bukanlah sesuatu yang asing di telinga. Istilah seperti pluralisme, toleransi, inklusivisme, multikulturalisme dan kawan-kawannya, adalah contoh deret kata yang menggambarkan ikhtiar untuk melampaui penjara ego.

Bukannya ego adalah sesuatu yang najis, karena pada dasarnya segala bentuk persepsi dan tindak mengetahui, titik awal berangkatnya adalah diri sebagai subjek. Yang keterlaluan adalah jika menganggap ego, diri atau “saya” merupakan hiposentrum ontologis (pusat keberadaan) bagi segala sesuatu selain “saya”.

Tapi perjalanan manusia dalam melampaui ego nya, mengalami pasang surut. Carl Sagan dalam bukunya yang berjudul Cosmos, bercerita bagaimana awalnya manusia menganggap diri dan nasibnya sangat bergantung pada bintang gemintang di atap langit, dengan takjub mata mereka mengamati kerlap-kerlip cahaya bintang, mempelajari letak, menamai mereka dan memberikan pola. Dan berdasar pada itulah awalnya menusia menentukan kapan wabah akan datang, kapan banjir bah akan tiba, kapan waktu baik tuk berburu dan sebagainya.

Dalam masyarakat tradisional dimana deru mesin modernitas belum menjadi polusi bagi ruang hidup (lebensraum) mereka. Tetangga, air, suara burung, ke arah mana daun melambai, itu bagaikan “sandi morse” bagi mereka. Tapi yang perlu diketahui cara masyarakat tradisional melihat (schau) sekitarnya, tak seperti masyarakat modern dalam mengobservasi alam. Masyarakat tradisional-dalam istilah fenomenologi eksistensial-melihat dengan “penglihatan yang mendengar”, sedangkan masyarakat modern melihat sekitarnya dengan “penglihatan yang menginspeksi”.

“Penglihatan yang mendengar” memperlakukan “yang lain” sebagai rekan “ngobrol”, sedangkan “Penglihatan yang menginspeksi” memperlakukan “yang lain” sebagai objek “tontonan”.

Bukannya saya ingin membela posisi tradisionalisme, tetapi hanya mencoba untuk me-recovery yang terlupa darinya. Karena dalam tradisi yang jadi soal bagi saya adalah kecenderungan menutup segala kemungkinan untuk bertanya, dan fajar dunia modern yang berhasil mengantisipasi itu.

Tetapi meneguhkan posisi yang bertanya, berarti meneguhkan posisi Sang “Subjek”. Tak ada yang salah dengan teguhnya “Subjek” bahkan itu merupakan berkah bagi kemanusiaan, sehingga memungkinkan bagi kita mengutuk kolonialisme, imperialisme, perbudakan, peminggiran dan sebagainya. Yang jadi soal jika “Subjek” yang teguh menjadi kaku dan memperlakukan yang lain sekedar sebagai objek.

Persaudaraan Semesta dan Richard Dawkins

Saya seringkali bertanya, apakah sains yang merupakan salah satu bentuk “penglihatan yang menginspeksi”, dalam perjalanannya mengumpulkan data-data, dapat membantu kita melihat semesta dengan “penglihatan yang mendengarkan” ? mungkin bisa. Coba lihat bagaimana teori-teori fisika semacam mekanika kuantum, teori relativitas, teori string dapat merubah cara kita memandang alam semesta yang semulanya sangat mekanistik menjadi sangat dinamis. Mungkin hal yang serupa juga bisa terjadi pada teori evolusi, dan kali ini saya mendasarkan diri pada uraian yang dilakukan oleh Richard Dawkins.

Dalam buku Richard Dawkins yang berjudul “The Magic Of Reality” (2011), dia mengajukan pertanyaan sederhana “Jadi sebenarnya orang pertama itu siapa ?”. Untuk menjawab pertanyaan sederhana nan rumit tersebut, Dawkins mengajak kita untuk melakukan percobaan pikiran, percobaan dalam imajinasi kita.

Dawkins mengajak kita untuk menumpuk foto kita, ayah dan ibu kita, nenek dan kakek kita, dan semua foto yang genealoginya bersambung dengan diri kita. Dan Dawkins mengatakan, bahwa kita akan memperoleh tumpukan foto dengan jumlah yang luar biasa yaitu 185 juta foto, dan semuanya adalah keluarga kita, se-keturunan dengan kita. Jika semua foto tersebut kita cetak seukuran kartu pos lalu kita tumpuk, maka tinggi tumpukan foto tersebut adalah 4900 meter. Foto yang terbawah adalah foto kita dan foto teratas adalah foto nenek moyang kita yang ke 185 juta.

Mungkin muncul rasa penasaran dalam diri kita bagaimana rupa dari nenek moyang kita dalam tumpukan foto tersebut. Nah sekarang kita coba melakukan sampling untuk melihat foto-foto tersebut. Langkah pertama kita ambil foto nenek moyang yang ke 400, dan setelah kita lihat mungkin tak ada perbedaan yang mencolok dari diri kita.

Coba kita ambil foto nenek moyang ke 4000, barulah ada perbedaan yang agak mencolok, barangkali dengan sedikit penebalan tengkorak terutama di bawah alis. Sekarang mari kita lihat foto yang ke 50.000 di sini akan nampak sepesies yang berbeda yaitu homo erectus.

Nah sekarang kita telusuri foto yang lebih tinggi lagi, kita ambil foto yang ke 250.000, segera terlihat bahwa rupa nenek moyang kita adalah kera yang agak mirip dengan simpanse. Foto nenek moyang yang ke 1.500.000 akan mirip seekor kera. Lalu mundur lagi ke foto yang 170.000.000 maka kita akan menemukan bahwa nenek moyang kita berwajah reptil dan merupakan leluhur semua reptil yang ada sekarang (ular, kadal, kura-kura).

Di foto yang ke 175.000.000 akan terlihat wajah nenek moyang yang mirip kadal air dan merupakan leluhur dari semua amfibi modern (kadal air dan katak), dan akhirnya kita sampai di penghujung tumpukan foto. Foto nenek moyang yang ke 185.000.000 dan tampang nenek moyang kita adalah seekor ikan.

Barangkali akan ada yang menganggap bahwa percobaan pikiran yang ditawarkan oleh Dawkins ini hanyalah speklusi pikiran belaka. Tapi yang perlu diketahui bahwa hal tersebut hanyalah perumpamaan yang digunakan untuk menyederhanakan dalam memahami temuan studi-studi Paleontologi dan Ilmu genetik saat ini.

Sederhanya semakin mirip kode genetik di antara dua spesie , maka semakin dekat kekerabatan mereka dan begitu pula sebaliknya. Kenapa simpanse merupakan spesies yang paling dekat kekerabatannya dengan manusia, itu dikarenakana perbedaan genetik antara simpanse dan manusia hanyalah sekitar 2,4 %, lebih besar dibanding yang lain semacam tikus mencit, babun ataupun katak.

Tetapi bagi saya apa yang dikatakan oleh Dawkins, memberi kita petunjuk bahwa asal-usul manusia tak hanya berasal dari spesiesnya tetapi lebih jauh dari itu, manusia pernah se-leluhur dengan simpanse, se-leluhur dengan kera, se-leluhur dengan reptil, bahkan se-leluhur dengan ikan.

Dawkins mengatakan “ Silsilah keluarga anda tidak hanya mencakup yang mirip kita seperti simpanse dan monyet, melainkan juga tikus, kerbau, iguana, kangguru, bekicot, bunga dandelion, elang, jamur, paus, wombat dan bakteri. Kita semua bersaudara. Setiap makhlukh hidup. Bukankah itu gagasan yang jauh lebih indah daripada mitos manapun. Dan yang paling indah adalah kita tahu pasti bahwa itu secara harfiah benar”.

Persaudaraan Semesta dan Laodato’ Si

Tanggal 23 Mei 2016 terjadi sebuah pertemuan besar di Vatikan, pertemuan antara dua elit keagamaan, dua agama yang sama-sama mengasalkan dirinya pada Ibrahim, tetapi dalam sejarah begitu rentan untuk saling bentrok. Imam Agung Al-Azhar Syekh Ahamad Al-Thayyib bertandang ke vatikan untuk bertemu dengan Pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Fransiskus. Dan ini merupakan balasan dari kunjungan Paus Fransiskus ke Mesir tiga bulan sebelumnya.

Lalu pertemuan tersebut diakhiri dengan pemberian cinderamata oleh Paus Fransiskus kepada Sang Syekh, berupa medali bergambar “pohon zaitun perdamaian”, dan salinan lengkap buku Laodato Si’ (2015). Apakah pesan yang ingin disampaikan oleh buku Laodato Si’ ?. Dalam artikel ke-3 dan ke-14, tertulis “Melalui ensiklik ini , saya ingin berdialog dengan semua orang mengenai ru,ah kita bersama…Dengan mendesak , saya mengundang adanya dialog baru, tentang cara membangun masa depan planet kita. Kita semua, secara bersama-sama, perlu membicarakannya, karena tantangan lingkungan hidup dan akar kemanusiaannya, nyatanya adalah keprihatinan sekaligus berdampak bagi kita semua”.

Ada banyak nama besar yang dikutip dalam Laodato Si’. Salah satunya adalah seorang mistikus Islam yang bernama Ali Al—Khawwas (Abad ke-9 M), dimana Al-Khawwas pernah berucap “Ada rahasia (sirr) yang lembut di setiap gerakan dan suara dari dunia ini. Pengamat yang peka (muththahali’un) akan dapat menangkap pesan dari tiupan angin, ayunan pohon, aliran air, dengungan lalat, deritan pintu, kicauan burung, petikan dawai, siulan seruling, rintihan orang sakit, dan keluhan orang tertindas……….” . “Kepekaan” inilah yang mungkin, semakin terkikis dan langka dalam diri manusia.

Kebisingan politik, ekonomi dan budaya di sekeliling kita, menumpulkan kemampuan kita dalam “memeras makna” (eksegesis) dan “memberi makna” (eisegesis). Dan sialnya, hal ini ternyata bermuara pada terancamnya eksistensi ecosphere, biosphere dan tentunya humansphere.

Selain mengutip Al-Khawwas, Laodato Si’ juga menyebut nama Santo Fransiskus Asisi. Laodato SI’ mengutip dengan lengkap bait termasyur nan aneh dari Fransiskus Asisi yang dikenal dengan “Gita Sang Surya”. Dan mungkin saya hanya mencuplik beberapa bait di sini. “Terpujilah Engkau , Tuhanku, bersama semua makhlukh-Mu, terutama Tuan Saudara Matahari; dia terang siang hari melalui dia kami Kau beri terang…karena Saudari bulan dan bintang-bintang, di cakrawala Kau pasang mereka, gemerlapan, megah dan indah…karena Saudara Angin, dan karena udara dan kabut, langit yang cerah dan segala cuaca, dengannya Engkau menopang hidup makhlukh ciptaan-Mu…karena Saudari Air; dia besar faedahnya, selalu merendah, berharga dan murni…karena saudara Api, dengannya Engkau menerangi Malam; dia Indah dan cerah ceria, kuat dan Perkasa.

Laodato Si’ mengajak kita untuk melakukan pertobatan. Akan tetapi pertobatan yang dimaksud di sini bukanlah sekedar soal teologis belaka, tetapi yang terpenting bahwa pertobatan seyogyanya adalah sikap pergi ke batas kemanusiaan untuk meninggalkan sang ego. Maka dari itu barangkali kita perlu memperluas cakupan etika kita, dari etika yang sangat antroposentrisme menjadi etika yang ekosentrisme.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply