Oleh: Ilham Muin
(Aktivis dari Tanah Mandar)
“Dimanaki? Saya di Jakarta sekarang.” Itulah bunyi SMS yang saya kirimkan ke Mukhtar Tompo di awal Januari 2017. Anggota DPR RI komisi VII dari fraksi Hanura yang membidangi energi dan mineral.
Mukhtar Tompo adalah pengganti antar waktu yang dilantik menjadi legislator tahun 2016. Ia menggantikan Dewi Yasin Limpo yang bermasalah hukum. Sebelumnya, Mukhtar Tompo adalah anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan periode 2009-2014 dari dapil Jeneponto, Takalar, Gowa.
Tak sampai satu menit, HP saya berdering. Sebuah SMS dari Mukhtar Tompo masuk. “Saya di Jakarta sekarang. Besok ketemu di kantor.”
Keesokannya saya bergegas ke Senayan. Dan segera ketemu Mukhtar Tompo di pelataran gedung Nusantara 1. “Ke ruangan saya saja dulu. Saya lagi ada rapat. Tunggu saya di sana,” ungkap Mukhtar tergesa-gesa. Oleh seorang stafnya saya kemudian diantar ke lantai 16 gedung DPR RI. Ruangan Mukhtar Tompo.
Tak seberapa lama, Mukhtar Tompo segera datang menyusul. Berondongan pertanyaannya muncul. “Kapan datang? Menginap dimana? Kapan pulang? Lama-lama saja di Jakarta! Menginap di rumah saja.”
Ya, Mukhtar memang tidak berubah. Dari dulu ia selalu begitu. Ramah, sederhana, bersahaja dan sangat welcome.
Ia sudah beberapa kali datang ke Majene. Terakhir di akhir tahun 2016 lalu. Ia sempat mengunjungi rencana lokasi pembangunan TP BBM (Tempat Penampungan Bahan Bakar Minyak) di Dusun Lombo’na, Desa Tubo Tengah, Kecamatan Tubo. Dalam kesempatan itu, ia sempat mampir makan ketupat sayur di sebuah warung sederhana dalam kompleks terminal Majene.
Kami pun lantas larut dalam ragam diskusi. Banyak hal. Mulai dari pilkada Jeneponto, Pilkada Sulsel dan kesibukannya kini sebagai Anggota DPR RI. Tak lupa juga sempat tersentil pilkada Sulbar.
Di tengah diskusi, seorang staf masuk ruangan. Rupanya ada wartawan televisi yang ingin minta waktu wawancara. Temanya persoalan Freeport. Segera segala sesuatunya di persiapkan. Saya tetap dalam ruangan menyaksikan Mukhtar Tompo menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan yang berkaitan dengan Freeport Indonesia. Mukhtar Tompo sangat tegas dalam jawabannya. Intinya ia ingin Freeport segera menyelesaikan kewajibannya. Membangun smelter di Indonesia.
Sejarah Freeport
Freport adalah salah satu perusahaan tambang multinasional asal Amerika Serikat. Pada mulanya, disekitar tahun 1950-an, seorang pengelana Belanda menemukan cadangan emas yang sangat besar di Papua. Mendengar kabar tersebut, Freeport berusaha mengelola dan mengusai cadangan emas tersebut.
Di awal tahun 1960-an, Freeport dan si pengelana Belanda mencapai sebuah kesepakatan mengelola tambang.
Gayung bersambut. Di tahun 1965, Soekarno yang anti Amerika lengser dari kursi kepresidenan Indonesia. Penggantinya, Soeharto membuka ruang bagi perusahaan-perusahaan asing menanamkan investasinya di Indonesia. Akhirnya, Freeport pun masuk pada tahun 1967. Dan di tahun 1988 mulai menghasilkan emas dan tembaga.
Freeport Vs DPR
Tepat satu bulan pasca pertemuan saya dengan Mukhtar Tompo, tepatnya 9 Februari 2017, kejadian memalukan terjadi di gedung DPR RI. Saat terjadi rapat antara Komisi VII DPR RI dengan jajaran PT Freeport Indonesia, Presiden direktur Freeport Indonesai mempertontonkan sebuah lakon yang tak seharusnya di lakukan seorang pejabat publik. Saat Mukhtar Tompo ingin minta bersalaman , Bos Freeport Indonesia tersebut menunjuk-nunjuk dada Mukhtar sembari mengucapkan kata-kata yang tak pantas.
Ketersinggungan pimpinan Freeport didasari atas closing statement yang disampaikan Mukhtar Tompo dalam rapat tersebut. Mukhtar menyatakan bahwa jawaban Dirut Freeport terkesan bertele-tele bahkan bias, dari pertanyaan para Anggota Komisi VII.
Anggota Komisi VII ini mengingatkan sejumlah kesimpulan rapat pada tanggal 7 Desember 2016. Beberapa kesimpulan rapat tersebut, antara lain, meminta Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) bersikap tegas terhadap PT Freeport Indonesia terkait realisasi pembangunan smelter.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, PT Freeport memang diwajibkan untuk segera membangun smelter di Indonesia.
Smelter adalah pabrik pengolahan dan pemurnian konsentrat. Sebagai perusahaan pertambangan emas dan tembaga, Freeport di wajibkan untuk pengolah konsentrat emas hasil tambang sebelum di eksport. Sebelumnya, selama puluhan tahun beroperasi di Papua, Freeport melakukan pemurnian emas di luar Indonesia.
Pembangunan smelter diyakini akan memberikan banyak nilai lebih bagi Indonesia dan Rakyat Papua khususnya. Selain akan membuka lapangan kerja baru, Indonesia juga akan mendapatkan penerimaan negara lebih banyak jika pemurnian dilakukan di dalam negeri. Bahkan jumlahnya bisa sangat signifikan.
Hal inilah yang mendorong banyak kalangan memaksa Freeport untuk segera membangun smelter. Jika tidak, ancaman untuk memutus kontrak kerjasama kuat dihembuskan. Perlu diketahui, kontrak Freeport di Papua akan segera berakhir pada tahun 2021. Jika tidak diperpanjang, otomatis Freeport harus angkat kaki dari bumi Indonesia. Meninggalkan semua cadangan emas dan tembaga yang konon terbesar di dunia.
Jika ini terjadi, Freeport bisa dalam masalah besar. Perusahaan yang konon akhir-akhir ini diberitakan bermasalah dengan pundi-pundi penghasilannya bisa semakin terjerembab dalam masalah.
Namun disisi lain, Indonesia bisa meraup banyak manfaat. Mengelola sendiri cadangan emas dan tembaga di Papua adalah jalan ideal untuk mewujudkan cita-cita perjuangan para founding fathers kita. Menuju Indonesia yang lebih makmur dan sejahtera.
Semoga!!!