Oleh: Ermansyah R. Hindi*)
*) Kasubbid. Inovasi dan Penelitian BAPPEDA Kab. Jeneponto/Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto
KHITTAH.CO- Mengapa orang-orang ingin terlibat dalam perjuangan besar atau perlawanan yang tidak sia-sia? Apa alasan banyak orang untuk senang terjung ke arena “permainan berbahaya”? Massa (kritis) suatu saat tidak membutuhkan lagi “teori kritis”, “kesadaran kritis”, atau “teologi pembebasan” yang naif. Massa kritis adalah ekstasi. Tetapi, massa kritis telah datang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya untuk bermain di tengah “ritual kematian”: (i) “nalar”, (ii) “demokrasi”, dan (iii) “keadilan”. Ketiganya datang dari titik tolak, yakni tirani total sebagai produksi kematian.
Apa yang mendorong massa turun lagi (misalnya, Aksi Bela Islam-114, 212 dan 112)? “Ketidakhadiran keadilan” menjadi motif atau dorongan utama munculnya aksi. “Tanda ketidakadilan” (sekalipun masih cenderung subyektif), diantaranya muncul dari sang penista agama ditingkatkan menjadi status tersangka, tetapi tidak ditahan atau tidak dinon-aktifkan sebagai petahana. Dalam praktik, kita (secara relatif umat Islam) sebagai “penanda utama” berlangsungnya ketidakhadiran keadilan. Pengetahuan sampai pada kita, bahwa ternyata terjadi “pembalikan permukaan” sebagai efek dari mobilisasi massa tidak signifikan untuk meraup suara dukungan kemenangan (dalam Pilkada).
Negara sebagai rezim kuasa dan massa kritis sebagai subyek perlawanan. Kuasa-negara sebagai “represif” dan kuasa sebagai “perang” akan menilai setiap massa kritis, seperti “zombi” menginfeksi tubuh dan logika kuasa dengan cara melindungi dirinya dari ancaman penghancuran dan penularan penyakit dari luar. Massa kritis membludak dan menumpah di jalan, diproyeksikan oleh rezim kuasa sebagai kekuatan yang tidak menguntungkan posisinya. Massa kritis tidak membutuhkan ada atau tidak ada “akhir ideologi” dan “akhir hari pembalasan”. Pelepasan energi (emosi) massa akhirnya dilahap oleh media massa, titik dimana kebebasan berpendapat dan berekspresi mendapatkan penyelaurannya. Dari ledakan massa ke ledakan media terjalin kelindang. Bukan hanya massa lebih kuat dibanding semua media, tetapi juga proses bolak-balik, akhirnya media disegel massa yang bersifat mekanis.
Massa kritis identik dengan massa cerdas. Tetapi, massa kritis menyalurkan energi (emosi) menjadi suatu kekuatan pembebasan dari kezaliman. Identifikasi diri dari massa kritis bukanlah pembelaan, tetapi perjuangan strategis dan perjuangan sosial. Hilangnya kesenangan pada “arus” menandai massa tidak lebih dari seonggok daging yang tidak mampu merefleksikan apa-apa. Sebaliknya, massa pandir bisa saja dimanipulasi oleh media massa hingga tertawan oleh energi sosial. Dibalik pikiran dan fantasinya, massa bisa saja dibius oleh informasi dan pesan-pesan diviralkan melalui media massa. Tetapi, massa pandir yang mampu melahap segala sesuatu dan kembali membiaskan energinya.
Massa kritis tidak bermain dalam produksi permainan sejenis konstelasi caostik (kekacaubalauan). Mereka tidak terangsang terhadap setiap tontonan, nilai, konsep, dan agenda yang menggiurkan. Massa kritis bukanlah “mayoritas senyap” dalam struktur dan relasi negara, sekalipun kadangkala senyap lebih berbahaya daripada yang lainnya.
Memang betul, massa kritis tidak berkaitan dengan konsep “kelas”, “relasi sosial”, “status”, dan “institusi”. Massa kritis muncul bukan dari dominasi atas pihak yang lain atau jejaring simbolik tertentu (karena kekuatan simbolik tenggelam dihadapan logika dan bahasa massa kritis). Massa kritis memiliki tanpa atribut, predikat, dan identitas. Paling penting, bahwa massa kritis adalah mereka bergerak tanpa strategi fatal. Bahasa dan logika massa kritis berbeda dengan bahasa dan logika budaya massa atau konsumsi massa, karena semuanya dapat didaur-ulang dalam media massa. Tatkala didaur-ulang, ledakan massa dan maknanya dalam media itulah menjadi hampa dan residual. Apakah media massa berada dalam kendali kuasa dengan cara memanipulasi massa? Sejauh ini, massa kritis tidak tergantung pada media dan pesan-pesannya, tetapi datang dari bahasa dan logikanya sendiri.
Massa atas massa terbentuk jika memiliki kekuatan subversif dari titik tolak itu sendiri. Pada saat bersamaan, hilangnya kekuatan subversif darinya berarti munculnya ilusi dari realitas dan dari massa itu sendiri. Gema massa kritis adalah massa itu sendiri. Sehingga kekuatan massa kritis tidak terletak pada tubuh, melainkan kekuatan energinya sendiri: pikiran bebas dan hasratnya. Mereka tidak dapat ditopengkan dan dikendalikan oleh kekuatan lain, karena massa kritis itu sendiri sebagai sumber munculnya permainan topeng yang dibukanya kedok darinya. Disinilah massa melarikan diri dari realitas. Massa menuntut “keadilan sebagai mistifikasi seiring dengan mistifikasi sepakbola yang dimanipulasi massa melalui kuasa”.
Tuntutan massa kritis membuat rezim kuasa tidak nyaman, tetapi sepakbola membuatnya nyaman. Dimanapun massa mendukung untuk berbicara, mereka mendesak untuk hidup secara sosial, secara elektoral (keterpilihan), secara organisasi, secara seksual dalam partisipasi (seperti politik), dalam festival, dalam pidato bebas, dan lain-lain. Retakan massa terletak dalam skandal melawan komunikasi secara rasional. Mereka memilih praktik, karena tidak ada sesuatu yang ideal untuk difantasikan atau dipikirkan. Massa pada akhirnya tidak bernama dan ledakannya tidak berada dalam sosial. (*)