Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipMuhammadiyahNasionalOpiniTokoh

Inilah Ketua Muhammadiyah di Era Revolusi

×

Inilah Ketua Muhammadiyah di Era Revolusi

Share this article
    Foto: Ki Bagus Hadikusumo

KHITTAH.co- Ki Bagus Hadikusumo, putra kauman Yogyakarta ini lahir 24 November 1890 meninggal dunia pada 4 November 1954 umur 63 tahun dengan nama Hidayat. Beliau adalah putra ketiga dari Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan yang mengurusi masalah agama Islam di Kraton Yogyakarta.  Pendidikan agama Islam didapa dari ayahnya sendiri dan beberapa Kyai di Kauman. Setelah tamat Sekolah Ongko Loro (setingkat SD 3 tahun), Hidayat menjadi santri di Pesantren Wonokromo Yogyakarta. Di Pesantren ini, beliau mendalami ilmu tauhid dan ilmu fiqih.

Santri sekaligus sahabat KHA Dahlan ini, menjadi salah satu penggerak Muhammadiyah. Keterlibatannya dalam pengurusan Muhammadiyah di masa-masa awal, antara lain pernah menjadi ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926) dan Ketua PP Muhammadiyah periode 1942-1953.

Pada masa penjajahan Jepang, Ki Bagus menentang upacara Sei-Kerei, bertentangan dengan ajaran Islam. Pemerintah Jepang akhirnya memberi despensasi khusus bagi Sekolah Muhammadiyah untuk tidak melakukan upacara tersebut.

Ki Bagus memiliki visi kenegarawanan yang kuat. Kecenderungan terhadap nilai-nilai keislaman juga nampak dalam berbagai aktivitas politiknya. Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi penting untuk alasan-alasan ideologi, politis dan intelektual. Suatu ketika, Ki Bagus terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki tentang peradilan agama (Prisesterraden Commissie- komisi dewan imam). Hasil penting dari sidang komisi ini ialah kesepakatan memberlakukan hukum Islam. Tetapi Ki Bagus merasa dikecewakan oleh sikap politik pemerintah klonial yang didukung para ahli hukum adat, mereka mencoret keputusan tentang hukum Islam tersebut. Putusan itu kemudian diganti dengan hukum adat melaui penetapan Ordonansi 1931. Rasa kecewa itu beliau ungkap kembali saat menyampaikan pidato di depan sidang BPUPKI.

Dalam dunia politik, beliau terlibat di Partai Islam Indonesia (PII), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan Masyumi. Aktivitas politik itu mengatarkan beliau menjadi tokoh Muhammadiyah yang ikut berperan dalam penyusunan Pembukaan UU 1945. Sebagai anggota BPUPKI yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, beliau adalah salah seorang dari 15 anggota BPUPKI yang menuntut diterapkannya Islam sebagai dasar negara. Beliau memberikan andil besar dalam mewarnai pembukaan undang-undang tersebut terutama dalam pemberian landasan tentang ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban dan keadilan sebagai dasar negara.

Rumusan dasar negara Pancasila yang menjadi seperti sekarang ini, tak lepas peran Ki Bagus. Rumusan Pancasila pertama dari konsep Piagam Jakarta berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya“. Dalam sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 yang membahas masalah ini, Ki Bagus menyapaikan gagasan yang intinya “Membangun negara di atas ajaran Islam“. Berdasarkan pada alasan sosiao-historis dan pemahamannya terhadap Islam, menurut Ki Bagus, Islam sudah enam abad menjadi agama bangsa Indonesia. Adat istiadat dan hukum Islam sudah berlaku lama di Indonesia.

Pada sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, Ki Bagus bahkan mengusulkan dihapuskannya kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya“, sehingga redaksi sila pertama menjadi: “Ketuhanan dengan melaksanakan syariat Islam.“ Menurut Ki Bagus, syariat Islam harus berlaku secara umum di Indonesia.

Dari sini terjadi perdebatan sengit di antara kedua kubu. Saking sengit dan tegangnya pertemuan iitu, sampai-sampai Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus hadikusumo, Ketua Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Soekarno kemudian hanya mengirim seorang utusan, Teuku Muhammad Hssan untuk turut dalam lobi.

Soekarno saat itu, menjadi Ketua Panitia Sembilan perumus Piagam Jakarta dan anggota BPUPKI menanggapi bahwa hal itu sudah menjadi keputusan mutlak dari hasil kompromi dari ledua belah pihak, yaitu golongan nasionalis dan Islam. Setelah diskusi panjang mengenai batang tubuh Undang-Undang Dasar, Ki Bagus hadikusumo ketiga kalinya minta penjelasan mengenai anak  kalimat “Bagi pemeluk-pemelukya“. Akan tetapi, ketua sidang menjelaskan bahwa maslah ini sudang dihapus panjang lebar pada hari sebelumnya. Sekali lagi ia menyatakan ketidak setujuannya dan tetap pada pendiriannya, yaitu dihapuskannya kata bagi pemeluk-pemeluknya dalam anak kalimat sila “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam.“

Ketika beliau menjadi ketua PP Muhammadiyah, beliau mencermati dan memutuskan kembali  pokok-pokok pikiran KHA. Dahlan. Pokok-pokok pikiran itu menjadi Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Mukadimah menjadi dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh muhammadiyah lainnya. HAMKA,  misalnya terinspirasi dua landasan idil muhammadiyah yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhammadiyah (MKCH).

Ki Bagus menikah dengan Siti fatimah (putri Raden Kaji Suhud) pada usia 20 tahun, dikaruniai enam anak. Salah satu putranya, Djarnawi hadikusumo, juga menjadi tokoh Muhammadiyah, penulis, sastrawan dan menjadi politisi, ketua Parmusi. Setelah Fatmah meninggal, Ki bagus menikah dengan Mursilah, dikaruniai tiga anak.  Beliau kemudian  menikah dengan Siti fatimah setelah istri kedua meniggal. Dari istri ketiga ini dikaruniai lima anak.

Ki Bagus Hadikusumo yang menguasai ilmu-ilmu Islam melalui kelurga dan pesantren itu, ternyata adalah seorang penulis yang produktif. Diantara buku-buku beliau adalah; 1. Islam Dasar Akhlak Pemimpin. 2. Risalah Katresnan Djati (1935) 3. Poestaka Hadi (1936). 4. Poestaka Islam (1940). 5. Poestaka Ichsan (1941). 6. Poestaka Imam (1954).

Sumber: Buku 100 Tokoh Muhammadiyah

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply