Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipNasionalOpiniPolitik dan Hukum

Suara Keadilan

×

Suara Keadilan

Share this article
Sumber : rumahfilsafat.com

Oleh :
Ahlan Mukhtari Soamole*

KHITTAH.co _ Orde baru telah membentuk berbagai pertikaian yang tak ada habisnya pada tahun 1997 sampai 1998. Terjadi demontstrasi secara besar-besaran oleh mahasiswa dan kaum buruh. Dengan mengutarakan satu fakta yang sama yakni kemanakah keadilan itu, di manakah kesejahteraan itu. Konflik atas isu-isu SARA yang terjadi di Ambon itu merupakan hal yang sangat menyesalkan sebab kondisi tersebut, menunjukan bangsa ini belumlah dewasa menjadi bangsa yang bersatu, selalu dihinggapi berbagai keterpurukan berpikir atau dehumanisasi.

Tak dilupakan pula kejadian, pertumpahan darah di Sambas, Kalimantan Barat atas isu suku dan lain sebagainya. Konflik pembunuhan masyarakat terhadap ABRI di Aceh yang mengakibatkan konflik berkepanjangan, ABRI melakukan penyerangan kembali penangkapan dan penyerbuan di masyarakat. Hal itu memang sudah terjadi pada masa dahulu. Akan tetapi yang terpenting di sini ialah bagaimana dapat kita memetik hikmah atas kejadian-kejadian tersebut.

Menurut hemat penulis, secara eksplisit masyarakat pada masa awal-awal orba (orde baru) tetap menyuarakan satu ungkapan yang fundamental yakni keadilan dan kesejahteraan. Fenomena-fenomena kini, mulai lagi muncul di mana bangsa Indonesia akan mengalami keguncangan-keguncangan domestik. Sebab, pelaksanaan negara pada masa pasca reformasi ini belumlah menunjukan balances society antara daerah-daerah (yang berpotensi di wilayah Indonesia) tersebut.

Semisal, Papua sebagai contoh konkrit (keberadaan Papua dengan sumber daya alam yang melimpah mineral resources emas, tembaga, perak dan uranium. Akan tetapi lagi-lagi manfaat yang diperoleh oleh masyarakat belumlah sepenuhnya diterima oleh masyarakat Papua khususnya Suku Amugne dan sekitarnya. Jikalau pembagian hasil yang dilakukan oleh pemerintah itu dengan asumsi menyeluruh dan ekstensif hingga menyentuh masyarakat akar rumput maka, tidaklah akan ada situasi konflik atau bentuk demonstrasi atas goverment maupun corporate. Namun, sebaliknya pemerintah dirudung berbagai tekanan serta perlawanan oleh demonstran, buruh, petani maupun pemerhati-permerhati—intelektual, cendekiawan, ilmuwan bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwasannya bangsa Indonesia kini, menghadapi fenomena faktual yakni krisis multidimensi falsafah kehidupan yang, dapat berujung pada kondisi dan situasi yang destruktif serta dapat terjadi munculnya usaha disintegrasi dalam bentuk perlwanan-perlawanan besar antar negara berkepentingan yang dilakukannya.

Sumber Daya Alam Dan Falsafah Pengelolaannya

Perspektif pengelolaan sumber daya alam (natural resources) tak dapat dilepaskanan dari berbagai bentuk pengajaran terhadap sumber daya manusia (human resources) untuk mengelolah dengan baik. Akan tetapi, pendidikan dalam dunia pertambangan pun mengajarkan sumber daya manusia sebagai mesin yang digerakkan tanpa kesadaran subjektifitas manusia, jika kesadaran itu dilakukan tanpa intervensi berbagai kepentingan maka kesadaran tersebut memberikan sikap yang humanis dan konstruktif.

Kalau pengajaran pendidikan yang melakukan hal-hal yang bersifat dialektis maka para engineer dapat mempertahankan idealisme dan aktualitas tindakan yang afektif dan intensionis. Janganlah sumber daya manusia yang seperti dimaksud oleh Karl marx didalam bukunya Mr. Rudof Mr. Azek, Enggineer Of Happy Land, insyinyur atau engineering ialah sistem kaum buruh yang unggul.

Pengolahan sumberdaya alam (natural resources) baik sumber daya alam hayati maupun pangan haruslah diperuntuhkan sepenuhnya bagi rakyat. Jika pengelolaan itu diberikan kepada asing maka beda pula rencana dan konsep (kata lain, beda pula metode pengelolaan) sebab, secara prinsipil paradigma yang dipakai oleh asing tak lain ialah cara pandang manusia yang berorientasi terhadap, kepentingan ekonomi kapitalisme artinya mereka lebih mengejar laba sebagai bentuk pemerolehan secara besar-besaran.

Jadi kekayaan keanekaragaman kekayaan di laut harus diserahkan kepada pribumi—nelayan—untuk mengelolanya secara baik. Adapun setiap kebijakan atau aturan janganlah digunakan sebagai instrumen yang menyengsarakan mereka. Sesunggahnya, jika hal demikian betul-betul dapat terjadi maka para nelayan yang akan merasakan kesusahan dan dapat mengancam mata pencahariannya. Begitu juga terhadap petani sebagai pengelola kekayaan alam didaratan. Tepatlah, bila produksi pangan tersebut dilakukan oleh petani. Karena proses implementasi itu dirasakan langsung dan tahu akan kondisi-koondisi alamiah di tempatnya tersebut.Secara fundamental, apabila ketiga aspkek tersebut dilakukan dan mendapat dukungan dari berbagai stakeholders maka proses mewujudkan keadilan dan kesejahteraan itu–secara kontingengsi–dapat dilakukan.

Kerapkali kita selalu bertanya kepada diri kita, mengapa kekayaan alam negara ini begitu besar namun sampai saat ini masyarakat kita belumlah dapat memperoleh hasil secara signifikan—mulai dari kalangan elite sampai akar rumput atau sebaliknya sebahagiaan kalangan elite telah memerolehnya—Jelaslah bahwa semua ini, dapat kita berikan terhadap masyrakat sebagai bentuk kepercayaan untuk dikelolahnya secara baik. Hal ini pula telah diamanahkan oleh Bung Karno. Ketika terjadinya peralihan masa kepemimpinan presiden Soekarno kepada presiden Soeharto. Yang pada gilirannya, dengan kewenangan yang dimilikinya dikeluarkanlah UU PMA (Penanaman Modal Asing) UU No 11 Tahun 1967. Akan tetapi, Bung Karno mengatakan biarkanlah pribumi yang mengelolahnya dengan memberikan jangka waktu bagi mereka untuk belajar.

Namun, pada kenyataannya masih saja ada kewenangan intervensi asing atas Indonesia . Apakah ini yang dimaksud oleh August Comte (1798-1857) dikutip dari T.M Soerjanto PoespowardoJo dkk (buku Filsafat Ilmu Pengetahuan, hakikat ilmu pengetahuan kritik terhadap visi positivisme logis serta implikasinya) perkembangan watak manusia melalui tiga hal (1). Teologis, (2). Metafisik, dan (3). Positif ?, pada tataran posisif di mana manusia tidak lagi memerdulikan teologi dan metafisik, meyakini berbagai pengetahuan sebagai konstruksi pengalaman yang, didasari oleh kehendak bebas sebagai aktifitas manusia dan bukan aktifitas yang berkenan dengan metafisika.

Maksud di atas tersebut ialah di mana tidak lagi berhierarki atau berkorespondensi antara moralitas humanistik dengan keputusan yang diambil. Dan nilai-nilai yang disifati sebagai perilaku transendensi dikesampingkan dalam memeroleh berbagai kepentingan. Mungkinkah paradigma kapitalistik yang telah menjalar dalam berkehidupan maupun berintelektual sehingga mengekstensifkan kapitalisme terhadap berbagai aspek metodologi ilmu pengetahuan maupun ekonomi kapitalisme dan politik yang dominatif.

Integrasi Negara dan Wujud Kesejahteraan

Pemahaman pengorganisasian negara dengan baik sangatlah diperlukan. Sebagai warga negara yang terhimpun dalam satu tujuan, akan dikendalikan oleh pemerintah sebagai penentu legitimate kewenangan suatu negara. Akan tetapi, tidak sepenuhnya diberikan kepada negara sebab, kekuatan kekuasaan negara berada di tangan rakyat. Ambraham Lincoln dalam pidatonya tentang rakyat, sebagaimana bunyi pidato tersebut. Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Bila diterjemahkan secara definitif, maksud dari Abraham Linclon pertama kekuasaan negara secara primordial yang ditentukan adalah dari rakyat kedua, pemerintah dipilih dari rakyat, diangkat oleh rakyat dan segala bentuk implementasi kenegaraan dikembalikan kepada rakyat agar dapat diupayakan dalam pengambilan keputusan.

Tak pelak lagi syarat suatu negara memiliki tiga hal komponen yakni (1). Teritorial. (2). Rakyat dan (3). pemerintah. Seperti sudah dijelaskan tadi dari ketiga komponen itu, rakyatlah sebagai subjek penentuan kewenangan formal legitimasi state.

Selama ini masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini ialah wilayah teritorial. Berbagai wilayah suatu daerah tertentu—desa dll—memiliki sumber daya alam yang berpotensi besar dikelola secara produktif bagi pribumi. Dan yang paling sensitif, jika tidak secara baik melaksanakan atau mengurangi masalah ini maka akan dapat terjadi disintegrasi negara. Indonesia sendiri pernah mengalami hal serupa misalnya keluarnya Papua Nugini dari Indonesia (OPM), Maluku Selatan (RMS), dan Timor Leste, di mana Timor Leste kini telah membangun hubungan kenegaraan secara dekat dengan Amerika Serikat.

Jika wilayah Indonesia ini masih tetap bersatu sebagai mana dalam satu substansi perjuangan yang sama maka haruslah menjaga wilayah serta potensi sumber daya alamnya. Yang pengelolaannya diberikan kepada rakyat Indonesia—pribumi—untuk dikelola secara mandiri, progresif dan memiliki moralitas perilaku humanis—reflektif historis.

*)Penulis adalah mahasiswa Teknik Pertambangan Universitas Karya Dharma makassar dan pegiat belajar Filsafat.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply