Oleh: Accang (Aktivis IMM Cabang Gowa/Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)
KHITTAH.CO- Maraknya aksi demonstrasi yang acap kali dilakukan oleh mahasiswa dan juga organisasi masyarakat, pemuda dan agama, memberikan refleksi bahwa adanya ketidakstabilan dalam tatanan normatif dari berbagai bidang yang terkadang telah menjadi kesepakatan namun ternyata dilanggar oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Hal ini sering dilakukan oleh berbagai pihak, baik secara individu ataupun kelompok sebagai upaya untuk menegakkan keadilan dengan cara menghimpun dan menyuarakan aspirasi dari berbagai elemen karakteristik emosional individu yang merasakan adanya ketimpangan sebagai pernyataan kegelisahaan dalam suatu kelompok untuk mempurifikasi sebuah sistem yang ada dalam suatu tatanan lembaga, organisasi dan perusahaan sampai kepada institusi pemerintahan yang ideal.
Upaya demonstrasi memiliki banyak cara dan konsep dalam pelaksanaanya, tergantung kondisi dan metode apa yang tepat digunakan agar lebih efektif menyentuh kesadaran pihak yang tidak memihak kepada mereka. Ada yang memakai dengan konsep teatrikal dengan ekspektasi, pihak yang merasa tidak bertanggung jawab dalam mengemban amanahnya, mampu secara langsung perasaan emosional secara visual aspirasi yang diinginkan oleh masyarakat. Bahkan lebih ekstrimnya lagi, upaya demokrasi yang dilakukan oleh masyarakat maupun mahasiswa berujung kepada aksi menyakiti fisik dengan cara mogok makan, menjahit mulut, hingga yang baru-baru saja terjadi di salah satu daerah di indonesia adalah aksi men-semen kaki secara massal di dalam sebuah wadah, sebagai ekspresi penderitaan buruh atas adanya pengkebirian hak dalam sebuah perusahaan produksi semen.
Tentu upaya demonstrasi seperti ini akan sangat beresiko, apatah lagi ketika aspirasi yang mereka utarakan tidak ada respon sama sekali, maka seorang demonstran bisa rugi dua kali. Di satu sisi kegelisahan tidak kunjung terselesaikan akan menimbulkan dampak psikologis yang berujung kepada sumber daya manusia itu sendiri dan di sisi lain, diri individu yang terlibat dalam aksi yang berlebihan ini akan membahayakan kelangsungan hidupnya dalam mencari kehidupan. Aksi seperti ini lebih bertujuan kepada bentuk penekanan emosional kepada pihak yang dzalim terhadap individu yang merasakan ke dzalimannya dengan harapan lebih membuka kepekaan pihak yang dirasa tidak saling memahami kepada mereka yang tersakiti. Tetapi dewasa ini masyarakat lebih banyak memilih upaya yang lebih akrab disapa aksi “turun ke jalan” dengan kuantitas massa yang relatif banyak, membuat kalimat-kalimat provokatif pada selembar spanduk atau umbul-umbul, ditambah dengan sorak-sorak aspirasi yang dipimpin langsung oleh orator yang pandai beretorika, menambah rasa keyakinan akan sampainya keresahan kepada ia yang tak memiliki jiwa kemanusiaan yang seenaknya mengeksploitasi.
Kebanyakan asumsi para demonstran (Mahasiswa dan Masyarakat) tentang aksi turun ke jalan seperti ini di nilai lebih efektif karena lebih fleksibel untuk menelanjangi kebobrokan secara verbal sebuah sistem yang dipimpin langsung oleh pihak yang pro status quo. Konon katanya, berdemonstrasi turun ke jalan hingga terjadi kemacetan memiliki pengaruh negatif yakni memperlambat laju ekonomi yang secara terang-terangan dinilai hanya lebih menguntungkan pemiliki modal (Kelompok Kapitalis) agar terjadi kemandekan dalam dinamika profitnya. Tak heran pola demonstrasi yang akhir-akhir ini dilakukan oleh demonstran seperti menutup jalan dan membakar ban bahkan kebiasaan buruk yang tak diduga adalah adanya pengrusakan sebuah fasilitas jalan adalah bisa saja berawal dari hasil cerita “konon katanya”. Namun yang jadi pertanyaan ketika hal tersebut benar-benar terjadi, apakah seluruh permasalah yang kompleks apakah lebih tepat diselesaikan dengan pola demonstrasi semacam itu ? Ataukah pola demonstrasi yang acap kali digunakan malah memantik kemarahan dan sentimen masyarakat yang sedang mencari rejeki untuk kelangsungan hidupnya ? Dan malah menimbulkan masalah baru
Negara sebagai suatu tempat yang menghimpun seluruh karakteristik masyarakat yang heterogen seringkali didapati bertolak belakang atas kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah sehingga memicu terciptanya sebuah kesenjangan masyarakat. Masyarakat yang sering disuguhi kabar aksi demonstrasi dimedia cetak dan media elektronik dalam menyelesaikan masalah yang sangat universal tak terasa terlelestarikan menjadi sebuah kebiasaan, dengan berbondong-bondong turun ke jalan sebagai upaya intimidasi terhadap pihak yang dirasa mengecewakan agar kembali kepada hal yang seharusnya diinginkan oleh demonstran sebagai representasi kaum tertindas. Fenomena sosial seperti ini Tanpa sadar sebenarnya sudah terjebak pada patologi berfikir masyarakat yang stagnan dalam menciptakan langkah pemecahan masalah yang inovatif.
Mengutip kata Jalaluddin Rakhmat atau yang akrab disapa “kang jalal” hendaknya permasalahan sosial jangan di selesaikan secara individu begitupun sebaliknya masalah individu jangan di selesaikan secara sosial karena kedua variabel tersebut memiliki karakteristik pemecahan masalah yang berbeda. Berangkat dari argumen tersebut kita bisa menyimpulkan bahwasanya keresahan setiap individu pasti berbeda dan tak mungkin satu suara mampu mewakili kesan kekecewaan yang di alami oleh individu lainnya. Artinya adalah ketika permasalahan yang terjadi bersifat ekslusif hendaknya harus diselesaikan secara eksklusif pula dengan jalan persuasif, bukan dengan bersama-sama memprovokasi para rekan-rekan dan kerabat kerja bahkan masyarakat yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan yang kita rasakan untuk memaksakan adanya penyamaan persepsi yang terjadi atas permasalahan yang ingin kita selesaikan secara pribadi atau kelompok. Hal-hal yang seperti inilah yang terkadang tidak disadari akan mempengaruhi efektivitas demonstrasi karena hanya mengedepankan orientasi massa sehingga kerap memunculkan tindakan anarkisme yang sekadar mencari sensasi dan tujuan utama dari demonstrasi hilang dengan sendirinya. Lagi-lagi muncul pertanyaan, lalu upaya apa yang harus kita lakukan dalam menyelesaikan seluruh permasalahan yang kompleks ? Padahal yang namanya komplesitas permasalahan, tidak mungkin diselesaikan dengan seorang dengan satu ide saja ? Jawaban yang tepat bagi pertanyaan ini adalah, berdemonstrasi melalui literasi. Bersambung….