Oleh : Muh. Asratillah Senge
Fazlurrahman
Fazlurrahman mengajukan sebuah cara pembacaan terhadap teks agama yang dikenal dengan metodologi “double movement”. Metodologi ini terdiri dari dua tahap yaitu yang pertama disebut “tahap etik” Al-Qur’an dan yang kedua disebut dengan “tahap sosiologis”. Pada Tahap pertama ada dua langkah yang perlu dilakukan langkah pertama adalah mengkaji makna spesifik ayat-ayat dalam AlQur’an dengan melalui sinaran konteks sosiohistoris ayat. Dalam Studi Al-Qur’an kita penah mendengar istilah Asbabun- Nuzul yaitu sebab turunnya Al Qur’an, tetapi ini belumlah cukup, kita memerlukan bantuan studi-studi lain semisal sosiologi, sejarah, Arkeologi , Antropologi bahkan politik untuk mengurai benang kusut latar belakang sosiohistoris turunya sebuah ayat. Langkah kedua adalah mengeneralisir atau mengkategorisasi makna spesifik dari ayat-ayat ke dalam tema-tema etik yang sifatnya umum. Dalam studi AlQur’an kita pernah mendengar kata Maqashid Al-Syariah yaitu tujuan atau maksud general dari diturunkannya wahyu.
Setelah tahap etika Al-Qur’an kita melangkah ke tahap sosiologis. Dalam tahap kedua juga terdapat dua langkah yang pertama adalah mengurai, membaca atau menganalisa beberapa kondisi dan problem-problem sosial manusia kontemporer, setelah itu baru kita melangkah pada tahap kedua yaitu dengan cara membenturkan beberapa tema-tema etik umum AlQur’an yang didapatkan pada tahap pertama dengan problem-problem sosial keagamaan. Pada langkah ini kita bisa melihat bagaimana ajaran-ajaran AlQur’an mengalami kontekstualisasi. Jadi dari metodologi “double movement” tadi kita bisa melihat bahwa penafsiran merupakan usaha dialektis mempetemukan antara teks dan konteks.
Dalam bukunya Islam, Fazlurrahman mengatakan bahwa Muhammad SAW datang dengan membawa ajaran moral dengan penekanan dalam dua hal yaitu monoteisme dan keadilan sosial. Antara monoteisme yang di bawa Islam dengan keadilan sosial memiliki hubungan yang organik, artinya keduanya mempersyaratkan satu sama lain. Monoteisme sebagai basis asumsi metafisik yang diekspresikan dalam relasi sosial yang adil. Prinsip monoteisme dan keadilan sosial merupakan pijakan awal kita dalam mendekati Al-Qur’an terlebih lagi saat kita mencoba melihat realitas sosial dengan menggunakan inspirasi dari Al-Qur’an.
Masih dalam buku yang sama Fazlurrahman juga membahas mengenai Sunnah. Pada awalnya Sunnah nabi adalah perilaku nabi atau respon kesejarahan nabi, setelah nabi wafat maka para sahabat sebagai pengikut nabi meneruskan sunnah nabi tapi dengan disertai dengan tafsir pribadi terhadap sunnah nabi sehingga sunnah pada masa ini adalah perilaku nabi plus sahabat. Setelah melewati beberapa generasi terjadilah usaha kompilasi hadits secara besar-besaran. Yang menjadi hal menarik disini adalah adanya pereduksian free market perilaku kegamaan pada masa sahabat menjadi perilaku kegamaan yang harus diperoleh melalui teks-teks hadits yang rigid. Kalau pada awalnya sunnah adalah sesuatu yang non formal maka hadits melahirkan sunnah yang kaku. Sebab belakangan yang dimaksud sunnah oleh para ulama adalah beberapa muatan atau konten yang ada dalam matan hadits. Sebelumnya terjadi perdebatan di antara apakah hukum diambil dari tradisi yang hidup atau sunnah yang ada di madinah dan Irak ataukah diturunkan dari hadits ?, tapi belakangan yang digunakan adalah hadits. Disini terlihat jelas pergeseran wacana keagamaan dari yang sifatnya praktis menjadi wacana keagamaan yang bernuansa pengajaran melalui hadits.
Hamid Abu Zayd
Kemudian Hamid Abu Zayd mengatakan bahwa pada saat Allah menyampaikan wahyunya kepada Rasul Muhammad SAW tidaklah dalam kondisi vakum historis atau vakum sosial. Ada latar belakang sosial yang nyata yang mengelilingi rasul. Ini kita buktikan dari tata urutan turunya ayat-ayat AlQur’an, karakter ayat-ayat makkiyah sangat berbeda dengan ayat-ayat yang turun di madinah, ini dikarenakan adanya perbedaan tantangan zaman atau permasalahan sosial yang diahadapi oleh komunitas muslim. Yang menarik di sini adalah kata wahyu yang sepadan dengan kata risalah yang berarti pesan, ini berarti wahyu mengandaikan keterkaitannya dengan audiens penerima pesan. Wahyu yang diterima oleh Muhammad SAW kemudian dikodifikasi menjadi mushaf, yang kita kenal dengan nama mushaf ustmani. Mushaf inilah yangk kemudian dikomentari aatu ditafsirkan oleh mazhab-mazhab interpreter kemudian, dan hasil dari interpretasi tersebut juga mengalami kodifikasi (ad-tadwin). Tapi yang terjadi teks-teks sekunder yang berupa tafsir para interpreter terhadap teks primer yaitu teks Al-Qur’an, diangkat statusnya menjadi teks primer. Inilah yang menciptakan semacam ortodoksi, saat teks-teks sekunder mengalami mistifikasi dan menyelubungi teks primer, dan menghalangi “yang lain” untuk diakui interpretasinya.
Abu Zayd juga berpendapat bahwa karena Al-Qur’an disampaikan dalam rupa bahasa, sedangkan bahasa merupakan sesuatu yang lahir dari proses-proses sosial budaya, maka Al-Qur’an juga tunduk pada prasyaratan-prasyaratan sosial . Hal ini sangat penting untuk disadari sebab jika tidak yang terjadi adalah semacam fetisisme teks keagamaan apakah itu berupa teks primer atau sekunder. Apa yang dimaksud dengan fetisisme teks kegamaan ? yaitu dimana teks keagamaan beserta tanggapan dan penafsirannya dianggap sesuatu yang mempunyai logika sendiri, abadi dan statis tidak terikat dengan proses-proses sosial dan budaya yang melahirkannya. Dan ini sangat rawan dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan tertentu, sebab kekuasaan tersebut akan memperoleh label sakral. Karena peradaban umat Islam adalah peradaban teks, dimana segala sesuatu termasuk interaksi serta sistem sosial yang terbangun berpusat dan tertuju pada teks. Maka perubahan cara pandang terhadap teks akan membawa dampak pada perubahan interaksi dan struktur sosial.
Ada bebrapa langkah yang direkomendasikan oleh Abu Zayd dalam membaca Teks keagamaan Islam. Langkah pertama adalah menempatkan teks agama pada konteks historisnya, agar bisa menemukan makna awal pada teks. Pada langkah kedua kita mengidentifikasi konteks historis kontemporer dan mendialogkannya dengan makna awal, melalui ini kita bisa melihat kepentingan (ghayah ) dari penafsir. Sebab setiap pembacaan pasti memiliki prasangka dan prasangka adalah harapan-harapan sosial awal sebelum kita berjumpa dengan teks.
Di dalam buku Abu Zayd yang berjudul Mafhum an-Nash Dirasah Fi ‘Ulum Al-Qur’an beliau mengatakan bahwa yang semestinya dilakukan saat ini adalah bagaimana memproduksi kesadaran “ilmiah” terhadap tradisi teks. Yang harus dilakukan adalah berani melontarkan persoalan-persoalan di seputar tradisi atau teks. Karena tradisi keberagamaan kita memiliki sejarah yang sangat panjang dan berisi banyak jawaban-jawaban yang siap pakai, maka untuk bertanya mengenainya membutuhkan energi yang sangat besar. Perlu ada usaha untuk merajut kembali hubungan antara kajian-kajian Al-Qur’an dengan kajian-kajian sastra dan kajian-kajian kritis.
Masih dalam buku yang sama, Abu Zayd kemudian berpendapat bahwa hubungan antara teks (khususnya teks keagamaan) dengan budaya sifatnya dialektis dan kompleks. Untuk mengurai beberapa hubungan yang tumpang tindih dan kompleks antara teks dengan budaya, maka perlunya melakukan analisis kebahasaan khususnya linguistik dalam mendekati teks keagamaan, ini disebabkan teks keagamaan datang kepada kita dengan menggunakan salah satu perangkat budaya yang sangat penting yaitu bahasa. Jika teks merupakan produk budaya, maka begitu pula dengan teks keagamaan, cuman setelah menagalami kodifikasi khusus Al-Qur’an dalam bentuk mushaf Ustmani, maka teks keagamaan mengalami fase kematangan yaitu fase dimana teks berubah menjadi produsen budaya. Jika hal ini ditunjang oleh sistem kuasa-politik tertentu maka teks kegamaan tersebut akan menjadi hegemonik yang menjadi landasan dan acuan bagi teks-teks lain.