Oleh : Bahrum Pena*
Masa depan pendidikan Indonesia, sangat ditentukan oleh perguruan tinggi dan iklim intelektual yang ada didalamnya. potret pendidikan perguruan tinggi saat ini adalah potret pendidikan Indonesia di masa mendatang .Kualitas output seorang mahasiswa, merupakan sumbangsih besar dari regulasi perguruan tinggi, dimana ia mengenyam pahit manisnya pendidikan.
Ketika kembali duduk bersilah, menarik nafas sejenak sembari memikirkan realitas kebermahasiswaan hari ini, seperrtinya kita harus menghela nafas panjang. Bukan apanya, melihat fenomena kampus hari ini, dimana kita meletakkan harapan kepada mereka selaku embrio-embrio intelektual, sepertinya butuh pendewasaan.
Kampus yang di semangat awalnya dijadikan sebagai harapan besar untuk mencetak orang-orang yang kiranya membuat bangsa dan Negara sejahtera, kini mengalami pergeseran iklim. Kampus hari, sepertinya tidak lagi menjadikan proyek pencerdasan sebagai prioritas utama.
Pergruan tinggi hari ini tidak ubahnya seperti pedagang ataukah lebih tepatnya para maniak mekanisme pasar bebas. Etosnya adalah profit-oriented, bukan lagi sebagai ruang penempa mahasiswa untuk berkompeten di bidangnya masing-masing. Dengan lain kata, mahasiswa sering jadi tumbal bisnis kampus.
Kalau kita mencari analogi sederhana terhadap kondisi kampus hari ini, maka saya menganalogikan sistem dan regulasi kampus seperti tukang pijat, yah mungkin terlalu ekstrim dan tidak sopan harus membandingkan kampus – dengan watak akademis, ilmiah, mewah dan poros peradaban katanya- dengan usaha tukang pijat. Tapi apa mau dikata realitasnya memang seperti itu.
Sama seperti tukang pijat, anda punya uang kami meberikan jasa untuk menyegarkan badan anda yang sakit dan lelah, begitu pula dengan regulasi kampus hari ini, anda punya uang bayar SPP, belanja mata kuliah lewat pengisian KRS, yah anda akan diajar dan dilayani. Bedanya bahwa tukang pijat dalam hirarki struktrur sosial, posisinya lebih dibawah dibanding kampus, jadi tidak salah kalau saya mengistilahkan kampus dengan “tukang pijat yang akademis”, agak sedikit nakal memang, tapi itulah realitas yang nampak.
Ikatan antara civitas akademi di kampus adalah sejenis ikatan yang saya istilahkan dengan ikatan kontraktual, sama sekali tidak punya semangat mencerahkan. Mahasiswa hanya dilihat sebagai konsumen dari produk yang kampus tawarkan. Mahasiswa hanya dipandang sebagai ATM berjalan yang membuat profit terus bertambah. Hampir persis dan bahkan sama dengan etos mekanisme pasar bebas (free market), anda punya uang anda dapat barang.
Sebenarnya ini juga yang sedikit banyak memberikan dampak terhadap semakin lebarnya jurang antara orang-orang pinggiran kelas ekonomi rendah dengan orang-orang kaya yang berduit. Orang miskin yang kita harapkan untuk diangkat derajat sosialnya melalui pendidikan agar tidak terjerembab pada kawah gelap kebodohan dan kemiskinan justru terhenti dan tabrak tembok. Jadi semakin kecil harapan untuk membuat bangsa ini berjauh jarak dari kesenjangan, bukan bangkit dari itu tapi kaki kita tertanam rapat-rapat disana.
Bagaimanapun mewahnya fasilitas kampus, prestise akreditasi yang melekat padanya, segudang prestasi yang diraihnya tapi kalau regulasi kampus yang justru jauh dari etos pendidikan, hanya melihat mahasiswanya sebagai ladang profit untuk semakin memperkaya kampus, hanya akan membuat kita mengerutkan dahi dan melampiaskan amarah-amarah kekecewaan.
Jadi untuk para pimpinan yang mengatur siklus kampus dari tahun ketahun, marilah kembali ke khittah pendidikan yaitu memanusiakan manusia, se-manusiawi mungkin. Jadikanlah kampus sebagai poros intelektual, sebagai rahim yang melahirkan orang-orang yang akan berkontribusi memperbaiki keadaan sosial mulai dari keadaan sekitar sampai bangsa. Sistem yang ada dikampus yang mulanya profit oriented harus kita re-orientasikan menjadi social oriented yang lebih memikirkan masa depan pendidikan dibanding saldo pemasukan.
Sudah menjadi fakta bahwa, sarjana-sarjana atau alumni-alumni perguruan tinggi hari ini sudah banyak yang memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negara melalui pikiran dan karyanya. Kembali kepada penekanan saya sedari awal bahwa masa depan kita ditentukan oleh pendidikan, yah pendidikan yang mulai dari sistem dan pelaksanaan yang sesuai dengan etos kemanusiaan, bukan hanya slogan heroik semata dengan membangga-banggakan akreditasi, banyaknya pilihan fakultas dan jurusan tapi jauh melampaui itu.
*) Penulis adalah pegiat literasi di Kota Parepare