Oleh: Fajlurrahman Jurdi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
KHITTAH.co — Kapitalisme tumbuh dan berkembang di setiap episode zaman dan perubahan waktu. Kapitalisme memiliki hasrat memburu keuntungan untuk memperbesar modal dan melebarkan sayap usaha. Maka untuk itu, berlaku hukum besi kapitalisme, yakni “mengurangi modal dan menaikkan pendapatan atau melipatgandakan keuntungan”. Dengan cara ini, eksistensinya menguat dan mereka pada titik tertentu kehilangan kontrol saat memburu keuntungan. Segala cara dapat ditempuh untuk dan demi makin membesarnya keuntungan.
Oleh karena itu, korporasi sebagai perangkat kapitalisme dapat melakukan kejahatan selama perburuan keuntungan berlangsung. Dari sini lahir “corporate crime”, suatu kejahatan maha besar dan dapat menghancurkan perekonomian suatu masyarakat. Mereka bisa menekan lawan usaha dengan cara monopoli, mencuri aset negara, memanipulasi pajak atau malah menunda pembayaran pajak. Tujuannya sekali lagi, hanya untuk dan demi perburuan keuntungan.
Mesti diakui bahwa eksistensi korporasi adalah untuk memacu kecepatan Pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun fakta hukum juga tak dapat dinafikkan, korporasi dapat menjadi “tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan yang tidak tersentuh oleh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana”. Maka untuk itu, sebagai subjek hukum, korporasi dapat dimintai tanggungjawab atas kejahatan yang Ia buat.
Sebagai perkumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum, korporasi memiliki tanggungjawab pidana dan dapat dimintai tanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan.
Untuk memintai pertanggungjawaban korporasi tersebut, hakim dapat memberi penilaian terhadap kesalahan. Jenis kesalahan itu terdiri atas; (1) korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi; (2) korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; (3) korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Untuk memastikan kesalahan atas perbuatan tersebut, maka ada beberapa jenis pertanggungjawaban korporasi.
Pertama, pertanggungjawaban group korporasi. Bila kejahatan dilakukan oleh korporasi dengan melibatkan induk korporasi dan/atau korporasi subsidiari dan/atau korporasi yang mempunyai hubungan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sesuai dengan peran masing-masing.
Kedua, bila terjadi pertanggungjawaban atau peleburan korporasi maka pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi yang dipisahkan dan/atau korporasi yang melakukan pemisahan dan/atau kedua-duanya sesuai dengan peran yang dilakukan.
Ketiga, bila korporasi sedang dalam proses pembubaran, maka pertanggungjawaban pidana tetap dikenakan terhadap korporasi yang akan dibubarkan.
Keempat, korporasi yang telah bubar setelah terjadinya tindak pidana dapat dipidana, akan tetapi terhadap aset milik korporasi yang diduga digunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau merupakan hasil kejahatan, maka penegakan hukumnya dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Atas dasar ini, maka peta jalan menghukum korporasi adalah merupakan cara terbaik untuk menghentikan kejahatan paling buruk dalam skema kejahatan korupsi.
Catatan ini adalah refleksi dari acara “Seminar Publik” Implementasi Perma Nomor 3 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi yang dilaksanakan oleh KPK bekerjasama dengan Pankas Unhas dan Kadin Sulsel tanggal 05 September 2017 di Best Western Hotel Makassar.