Oleh: A. Hendra Dimansa
Di sebuah ruangan yang pengap dan sempit seseorang duduk di pojok ruangan, sembari menenteng sebuah buku yang tampak begitu mesra dia belai lembaran demi lembaran. Seolah tak tampak raut murung dan durja dari balik wajahnya, padahal dia lagi berada di ruang penjara. “Aku rela di penjara asalkan bersama buku-buku, sebab dengan buku Aku merdeka menjelajahi dunia” ungkap Bung Hatta.
Di tengah hiruk-pikuk kesibukan dan keramaian kota metropolitan yang menjadi jantung aktifitas ekonomi, bisnis, politik, entertaiment dan olahraga. Tampak masyarakat metropolitan banyak meluangkan waktu untuk kesibukan bisnis dan berbagai aktifitas lainnya. Kerumunan orang antri menunggu bus, antri menunggu jadwal kereta api dan pesawat serta kapal laut, disela-sela waktu itu pun lebih banyak diisi dengan selfie, sekedar untuk mengabadikan momen (baca: memprasastikan kehadirannya), agar tampak up-date di media social, kadangkala menandai (men-tag) beberapa teman sejawat sembari menunggu-nunggu like atau komen-komen dari warga media sosial. Fenomena semacam ini telah lumrah dijumpai dibeberapa tempat serta kesempatan, dan telah menjadi sebuah habitus yang melanda masyarakat utamanya di negara-negara berkembang.
Kebiasaan selfie ditempat-tempat umum/publik memiliki tempat tersendiri dan tak jarang habitus semacam itu melahirkan kebanggan tersendiri. Tetapi, apabila melirik ke beberapa negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Eropa, dengan mudah terlihat bahwa masyarakat lebih memilih membaca buku, koran dan majalah, apabila mereka berada ditempat-tempat umum dibandingkan sekedar selfie, upload foto maupun status di media sosial. Ke-duanya menunjukkan habitus yang sangat berbeda dalam mengisi waktu luang. Bagi masyarakat di negara berkembang mengisi waktu dengan berselancar di media sosial menjadi salah satu pilihan yang sangat sering dilakukan ketimbang membaca buku, koran dan majalah.
Untuk memahami habitus ini tentu diperlukan upaya guna menstimulus kesadaran dan minat baca masyarakat di negara-negara berkembang. Sebagai contoh yang menarik bangsa Indonesia yang kaya akan cerita-cerita rakyat, mitos dan legenda yang tentunya menjadi objek pembelajaran yang amat kaya bila diolah dan dikembangkan sedemikian rupa. Tetapi, anehnya bangsa Indonesia lebih memilih meluangkan waktunya membahas aktivitas keseharian artis dibandingkan memperbincangkan hal-hal yang bernuansa kebudayaan.
Mungkinkah stigma yang selama ini beredar ditengah-tengah masyarakat bahwa banyak membaca/belajar akan membuat seseorang menjadi gila, benar-benar diamini dan dipercaya begitu saja ? dan cilakanya dijadikan sebagai alibi untuk mencap dan menjadi penghalang minat seseorang untuk gemar membaca. Ataukah karena faktor budaya ?, ini memang agak membingungkan tapi harus segera dicarikan pemecahannya.
Kekayaan-kekayaan tradisi bangsa Indonesia yang amat kaya , selayaknya menjadi modal besar untuk membangun budaya literasi. Kebiasaan masyarakat dengan mensakralkan pengetahuan khususnya dalam khazanah ilmu-ilmu mistik, yang untuk mendapatkannya perlu ritual-ritual tertentu. Pada dasarnya masyarakat sangat menghormati pengetahuan dan hal tersebut diungkapkan dengan penghormatan kepada seseorang yang disebut “pintar” (baca: dukun dan sejenisnya), bukankah ini isyarat kultural bahwa betapa tingginya status secara sosial seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan.
Dari budaya ataupun tradisi yang berkembang di masyarakat pulalah, kita bisa memperoleh hikmah, bahwa berpengetahuan/berilmu bukan terletak pada pencapaian secara legal formal, melainkan terletak pada fungsinya dan kemanfaatannya bagi kehidupan orang banyak, yang selanjutnya oleh masyarakat diberikan pengakuan secara sosial sebagai orang “pintar” (baca: dukun dan sejenisnya). Mungkin begitu menarik menyorot aspek tersebut, sebab dalam budaya dan tradisi masyarakat letak pengetahuan ditunjukkan dengan pengabdian bagi si pemiliknya. Lalu, bandingkan dengan para sarjana yang masih saja menenteng selembar ijazah mencari pekerjaan ketimbang sibuk untuk memfungsikan pengetahuannya demi kemaslahatan banyak orang.
Akan tampak begitu kontras apabila membandingkan habitus masyarakat yang lebih suka selfie ditempat-tempat umum dengan habitus mengisi waktu luang dengan mmmbaca buku. Apalagi dengan melihatnya sebagai bagian dari budaya, lalu pertanyaannya mengapa anak bangsa dimasa lalu seperti Bung Hatta, Bung Karno, Syahrir, Tan Malaka, Haji Agus Salim, Muh. Yamin dan berbagai tokoh-tokoh pergerakan serta politisi memiliki kesadaran untuk senantiasa membaca buku ?. Sehingga tidaklah mengherankan apabila sosok yang tumbuh dengan kesadaran literasi seperti itu mampu membawa bangsa Indonesia menuju kecemerlangan sejarah dengan peristiwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia. Pertanyaan sederhananya mengapa para elit politisi hari ini tidak lagi seperti sosok-sosok politisi dimasa lalu, adakah ini sebuah kemunduran ?.
Untuk melihat kebudayaan suatu bangsa, tentu yang menjadi tolak ukurnya adalah sejauh mana para warganya memiliki budaya literasi. Mungkin tidaklah mengherankan apabila hari ini, elit politik bangsa dirasa begitu hambar dan lesu sebab mereka bukan lagi politisi yang bermodalkan intelektualitas. Sehingga gagasan-gagasan yang ada ibaratkan tumbukan limbah-limbah yang berserakan dan hanya polesan-polesan yang tiap saat akan luntur, ketahanan pikirannya ibarat ketahanan infrastruktur jalan yang hancur tiap pertengahan tahun. Lalu, apa yang diharapkan masyarakat dengan politisi yang tak lagi bermodalkan intelektualitas ? sedangkan yang datang hanya selembar uang kertas bukan lembaran-lembaran ide dan gagasan yang dibutuhkan.
Mungkin ada yang mempertanyakan mengapa kesadaran akan literasi perlu meransuk ke relung-relung pikiran politisi ? untuk memberikan jawaban akan pertanyaan semacam itu, tentu tidak terlepas dari sejarah dan budaya bangsa yang memiliki kultur perubahan yang dimulai dari kalangan atas (baca: elit). Mari lihat catatan perjalanan sejarah bangsa dimulai dari masuknya Islam yang begitu cepat diterima sebagian besar anak bangsa, padahal pada masa itu kerajaan-kerajaan besar masih didominasi para elit yang beragama Hindu/Budha. Tetapi, faktanya Islam mampu diterima dan tersebar secara luas. Faktornya adalah proses penerimaan itu diawali dari para elit hingga turun kepada khalayak umum, walaupun tidak bisa dinafikkan bahwa ada pula yang masuk lewat bawah namun tak semassif dengan menggunakan jalur elit. Tentu dengan berkaca pada peristiwa masa lalu tersebut, setidaknya mampu membawa proses perubahan yang lebih signifikan lagi.
Bisa dibayangkan apabila para politisi itu hanya berpikir tentang proyek jalan, gedung dan beragam pembangunan lainnya, tetapi kesadaran akan literasi tidak mendapat tempat yang lebih luas maka sudah bisa ditebak bahwa arah bangsa tak lebih dari pada tumbukan semen-semen yang bergulat dan bercampur baur dengan batu tersusun ditengah kota yang hanya menua dan lusu menemani keramaian kota. Sehingga hanya dengan literasi ruang-ruang dan bangunan yang menjulang akan berirama serta saling menyapa menghidupkan budaya literasi bangsa. Sebab hanya dengan jalan kesadaran literasi, politik akan bermakna dan memberi arti akan kehidupan dan menghidupi kebudayaan.