Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipLiterasiNasionalOpiniTokoh

Menggembalakan Sejarah

×

Menggembalakan Sejarah

Share this article
Sumber : Internet

Oleh : Muh. Asratillah Senge

 

Khittah.co _ Awalnya adalah firman (logos), mulanya adalah wahyu, saat Yang Maha Lain menyapa hambanya yang bernama Muhammad. Bisikan Yang Transenden tiba begitu saja, saat Nabi sedang mencari jawab, soal segudang pertanyaan dan kerisauan yang menggelayut dalam ruang-ruang pikirannya. Dan ceritapun mulai dari sini.

Cukup banyak yang meragukan, saat Nabi mengklaim bahwa dia telah menerima Wahyu dari Tuhannya. Bukan soal wahyunya, tapi soal sumber wahyunya. Dalam buku Mafhum an-Nash Dirasah fi Ulumul Qur’an (1993), Nash Hamid Abu Zayd dengan mengutip kamus Lisan Al-Arab mengatakan bahwa makna asal dari kata “wahyu” secara kebahasaan adalah “pemberian informasi secara rahasia”.

Nah yang jadi soal, masyarakat Arab Mekkah saat itu, memiliki semacam pemahaman, bahwa “wahyu” adalah sesuatu yang pasti terkait dengan fenomena “puisi dan praktik perdukunan”, sumber wahyu lain dan tak bukan pasti bersumber dari “Jin”. Maka saat Nabi datang mewartakan bahwa dirinya memperoleh wahyu dari Yang Maha Absolut dan sumber segala keberadaan, masyarakat Mekkah pun menolak. Nabi pun dituduh sedang gila, tidak waras ataupun sedang melakukan praktik perdukunan. Sebelum Nabi menerima wahyu dia digelari “al-amin” oleh para elit Mekkah, tapi setelah menerima wahyu, tiba-tiba beliau dipandang sebagai perusuh dan orang yang ab-normal, intinya ada tatanan kekuasaan yang terusik di sini.

Muhammad dalam kadar tertentu, bisa diibaratkan Socrates di tanah Yunani. Socrates dituduh merusak pikiran anak-anak muda, mengguncang keyakinan-keyakinan lama dan dianggap membawa tuhan-tuhan baru. Begitupula dengan Muhammad, dia dianggap tukang nujum yang dapat mengintervensi pikiran orang, menggugat perendahan martabat kemanusiaan melalui penyembahan berhala serta dituduh menghina keyakinan nenek moyang Arab Quraisy saat itu.

Tapi ini bukan hanya soal Agama, tapi juga soal ekonomi politik. Bukan sekedar keyakinan abstrak yang melekat di relung-relung jiwa, tapi juga soal peristiwa konkrit sehari-hari dari manusia. Dalam kisah Muhammad, menjadi Nabi bukan sekedar menjadi pewarta dunia gaib, tetapi yang lebih penting sebagai subjek yang turut serta “menggembalakan” perjalanan sejarah. Maka dari itu yang paling tersinggung, berkecut muka dan menentang misi kenabian Muhammad, bukanlah para pendeta atau elit keagamaan di Mekkah, tapi justru para oligark Mekkah.

Kenapa para oligark sakit hati dengan dakwah Nabi ? tentunya bukan hanya disebabkan karena mereka khawatir akan keberlanjutan agama leluhur mereka. Agama leluhur hanyalah superstruktur dari struktur yang menopangnya yaitu, tatanan sosial-politik-ekonomi yang timpang. Struktur masyarakat timpang yang menghidup-hidupi para oligark Mekkah terancam. Pengutamaan keadilan sosial dan kesetaraan dalam komunitas Nabi, membuat para oligark gelisah, legitimasi mereka menjadi rentan, dan sebagai konsekuensi dari kerentanan itu, satu-satunya cara yang mereka lakukan selanjutnya adalah “permusuhan”.

Dengan bergulirnya waktu, Nabi semakin memepertegas asumsi metafisiknya dalam hal ini monoteisme, dan memperjelas “tujuan akhir” tugas kenabiannya yaitu tegaknya keadilan sosial-ekonomi. Komunitas Nabi semakin mempertegas identitasnya, dan semakin nampak pula sebagai “the significant others” bagi para oligark dan pengikutnya. Maka permusuhanpun semakin gencar, Fazlur Rahman dalam bukunya Islam (1966) menggambarkannya dengan kata-kata “kemarahan menjadi cemoohan,dan cemoohan jadi serapah. ‘Nabi macam apa’ kata mereka , ‘yang berjalan keluar-masuk pasar ! mengapa Tuhan tidak menunjuk orang yang lebih hebat dan lebih sejahtera daripada si Yatim aneh ini ?’ permusuhan semakin panas, disertai penganiayaan tanpa belas kasihan’….”.

Dalam teori oligarki, kekuasaan material adalah bentuk kekuasaan yang menarik dan unik. Kekuasaan material adalah satu-satunya bentuk kekuasaan yang mudah untuk dikonversi menjadi bentuk-bentuk kekuasaan lain. Kekuasaan material dapat dikonversi menjadi kekuatan politik, penguasaan akan lembaga-lembaga keagamaan, dominasi kebudayaan dan akses untuk menentukan ingatan sejarah. Dan Qur’an di awal-awal pe-wahyuannya memang seringkali menukik menghantam pola hidup para oligark ini. “Bermegah-megah telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur, dan janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui” singgung Qur’an yang agung.

Lamanya Nabi di Mekkah tak menampakkan hasil yang signifikan, tapi mengguncang tatanan sosial lama dengan begitu hebat, karena itu Nabi dan kelompoknya dibully,di persekusi bahkan diblokade. Semakin lama, kebebasan dan kemerdekaan Nabi sebagai warga Mekkah terenggut secara perlahan, mereka tak lagi dianggap sebagai manusia sebagaimana manusia secara normal. Sebagai manusia, Nabi pun seringkali merasa kecewa, mungkin dikarenakan beratnya beban sejarah yang diemban “Sungguh , Kami menurunkan padamu suatu perkataan yang berat” (Qs. 73:5) ucap Tuhan kepadanya, tapi itu tak berarti Nabi kehilangan harapan.

Nabi dan sahabat-sahabatnya pun mencari alternatif baru, menggarap strategi baru. Dan benar kata Trotski bahwa dalam hal strategi (termasuk dalam perang) ada dua varibel yang tak pernah berubah yaitu “manusia” dan “geografi”. Akhirnya nabi memutuskan untuk mencari koordinat geografi, yang kira-kira bisa menjadi lahan yang kondusif untuk menyemai dan menumbuh suburkan, benih-benih komunitas iman yang dia bangun dengan susah payah. Akhirnya Nabi hijrah ke Yastrib, yang lalu berubah nama menjadi “Madinah”.

Kapasitas moral dan kepemimpinan Nabi memikat masyarakat Madinah, dan mereka menaruh harap yang besar pada Nabi. Masyarakat madinah dirundung konflik kesukuan yang berkepanjangan dan Nabi dianggap bisa menengahi ini, dan Nabi sedikit banyaknya berhasil melakukannya, memperluas ruang ego orang-orang Arab yang bermental qabilah. Nabi mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Ansharin, menginisiasi masyarakat yang berusaha membuka semua blokade komunikasi, memulai masyarakat yang tak didasari oleh heterophobia (takut terhadap “yang lain”).

Setiba di Madinah, Nabi tak ingin menjadi oligark baru, maka dia pun membuat semacam konsensus bersama, yang dikenal kemudian dengan nama “Piagam Madinah” (Shahifatul Madinah). Dengan disepakatinya “Piagam Madinah”, Madinah mempertegas perbedaannya dengan Mekkah. Di Mekkah nabi dan komunitasnya merasakan defisit akan kemerdekaan, maka di Madinah sang Nabi menyerukan akan kemerdekaan untuk menjalankan agama masing-masing. Di Mekkah Nabi dan sahabatnya menyaksikan ketimpangan yang menjadi sumber konflik sosial, maka di Madinah sang Nabi menekankan kerjasama antara kaum Muslimin dan Yahudi agar bahu membahu membina perdamaian, menegakkan ketertiban umum demi kebaikan bersama (public good).

Di tahun baru Hijriyah ini, eloknya kita menggelorakan etos yang sama. Etos menghormati martabat manusia, etos menegakkan keadilan, etos menyemai nilai-nilai kesetaraan dan etos menjalin persaudaraan di antara yang berbeda.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply