(Catatan Untuk Film G30S/PKI Bag. 1)
Oleh: Ermansyah R. Hindi (Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto)
Kita memulai perbincangan ini dengan menghindari latar belakang mengapa muncul di satu pihak yang mencoba untuk membuat film berdasarkan kecenderungan milenial, dimana ada rangkaian sebelumnya terjadi upaya untuk menjelaskan seterang-terangnya bahwa mereka bukan lagi sebagai pelaku, melainkan korban dihadapan peristiwa sejarah tragis. Ditambah lagi rangkaian simbol-simbol sangat berbahaya tiba-tiba membangkitkan ingatan kolektif yang membuat kita bertanya-tanya sekaligus membuat strategi untuk melawannya di tengah gemuruh ruang publik terutama melalui media massa.
Di pihak lain, ada upaya sungguh-sungguh untuk memutar kembali “film bersejarah” dengan harapan supaya mengingatkan generasi muda, bahwa ada bahaya besar yang sedang mengintai bahkan dianggap musuh sudah di depan mata. Lengah sedikit saja, kita hancur, mungkin begitulah dalam benak kita. Kita juga disuguhi dalam pergerakan citra dengan berbagai pandangan atau pemikiran yang cenderung kontroversial mengenai partai yang sangat berandil dalam pembentukan sejarah kelam bangsa kita.
Satu diantaranya, jika film tersebut dimodifikasi sedemikian rupa sesuai dengan selera dan kesenangan sendiri akan terjadi pengaburan sejarah sampai pada suatu pernyataan, tatkala partai politik terlarang tersebut tinggal membuat kita untuk menziarahi kembali kuburan sejarahnya dan tidak bangkit lagi secara institusional. Dimana kuburannya dan siapa yang terkubur? Alasan penolakan atas peristiwa tragis yang dipadatkan melalui film sebagai citra akibat ketidakmampuan kita untuk membebaskan pikiran dari lingkaran setan kepenuhan komunikasi: tidak terpikirkan dari pikiran.
Kembali pada tema di atas, kita mencoba menyusun suatu kerangka logis mengenai pentingnya melihat sebuah relasi antara pikiran dan sinema secara sederhana dengan sedikit melibatkan satu film yang tidak memiliki kisah komedi, malahan sebaliknya terdapat “aura kengerian”. Pertama-tama pikiran dibuat tentang sinema dimulai dari ide sederhana, yaitu sinema (film) sebagai arsip seni industrial yang bergerak sendiri, pergerakan otomatis, yang segera menggerakkan citra yang ada. Jenis gerakan ini bukan lagi bergantung pada tubuh yang bergerak atau obyek yang mengadakannya, bukan semangat yang membesarkannya. Ada citra yang bergerak sendiri didalam dirinya sendiri. Karena itu, dalam hal ini, ia bukan sesuatu yang bersifat kiasan atau abstrak. Dapat dikatakan, bahwa hal ini telah tergiring sebagai suatu masalah dengan semua citra artistik. Sinema merupakan “reproduksi ingatan” sebanyak sesuatu yang tidak terpikirkan dari pikiran secara otomatis.
Namun demikian, citra yang bergambar tidak bergerak dalam dirinya sendiri sehingga pikiran itulah yang harus membuatnya bergerak. Selain itu, citra dramatis atau koreografis tetap berkaitan dengan tubuh yang bergerak. Ia hanya ada tatkala pergerakan citra secara otomatis dimana esensi artistiknya dari citra yang merealisasikannya: memproduksi sebuah kejutan pada pikiran, sistem secara langsung memberi getaran komunikasi pada lapisan luar otak, sentuhan gugup dan otak. Karena citra sinematografis membuat pergerakan sendiri, ia membuat sesuatu dari seni yang membatasi terhadap tuntutan lainnya.
Citra sinematografis membawa bersama apa-apa yang esensial dalam seni yang lain. Ia mewariskannya, yaitu mengatur pergerakannya dari citra yang lain; ia mengubahnya hanya kedalam kemungkinan apa-apa yang potensial. Kita melihat, bahwa pergerakan otomatis menanjak pada orang yang bergerak kedalam benda-benda yang tidak nampak secara otomatis, yang memberinya reaksi mengubah pergerakan citra dengan pikiran di dalam sinema. Pergerakan benda-benda yang tidak nampak secara otomatis menghubungkannya secara timbal-balik dari pikiran dan sinema sampai membuatnya menunda citra hantu dan nyata.
Karena itu, justeru paling nyata datang dari hantu yang tidak terpikirkan dari pikiran secara otomatis sejauh sinema dengan pergerakan citra yang dibuatnya. Seperti didalam filsafat klasik, pergerakan secara otomatis yang mangatasi mental bukan lagi rancangan, melainkan sirkuit bergerak ke dalam pergerakan citra, di dalam kemungkinan yang abstrak atau logis atas pikiran deduktif secara baku dari satu dengan lainnya. Ia membagi kekuatan dari suatu daya berpikir dan termasuk berpikir di bawah kejutan.
Hal ini bukanlah jaminan menjadi kemungkinan terjadi terhadap kita yang membuat kita memiliki kemampuan berpikir. Kemampuan atau kekuatan pikiran, dan ia bukanlah kemungkinan logis yang sederhana, tetapi kemampuan sinema berbicara pada kita menerobos relung-relung pikiran. Martin Heidegger dan Gilles Deleuze memiliki kecenderungan pada pandangan tentang kemungkinan jalinan pikiran dan apa-apa yang terjadi diluar. Sinema menjadi pikiran itu sendiri, begitupun juga sebaliknya. Sinema bersama saya dengan pergerakan citra, anda tidak dapat melarikan diri dari kejutan, tempat dimana dibangkitkan pikiran anda. Jadi, pergerakan seseorang secara otomatis berlangsung dalam pergerakan kolektif dan subyektif secara otomatis menuju “seni massa”.
Keseleuruhan hanya dapat dipikirkan, karena ia merupakan representasi waktu yang langsung terjadi dari pergerakan. Ia bukanlah secara analitis seperti efek logis, tetapi secara sintesis sebagai efek dinamis dari citra tentang ‘keseluruhan lapisan luar otak’. Selanjutnya, ia menyandarkan pada montase, sekalipun berikutnya dari citra: ia bukanlah jumlah, tetapi ‘produk’, kesatuan dari tatanan yang lebih tinggi. Keseluruhan adalah totalitas yang hadir sendiri dengan menentang dan mengatasi bagian-bagiannya sendiri. Ia dibangun layaknya sebuah spiral besar sesuai dengan hukum dialektika. Keseluruhan dari bagian-bagian adalah konsep. Inilah mengapa sinema mendapat julukan sebagai ‘sinema yang hidup dalam diri kita’ dan montase adalah ‘montase-pikiran’. Memang, montase tidaklah ditemukan di dalam cogito-Cartesian; montase ada di dalam proses intelektual¾pikiran dirinya sendiri. Montase-pikiran yang berada dibawah kejutan, pikiran yang terkejut. Apakah ia merupakan sebuah visual atau suara, citra telah harmonis yang menemani citra yang diprsangkakan.
Montase-pikiran menggumuli jalannya sendiri ke dalam hubungan suprasensori. Inilah gelombang kejutan atau getaran gelisah melampaui materi-otak dan di luar benda-benda sinema yang nampak. Dapat dikatakan, bahwa kita menilai benda-benda di dalam montase-pikiran bukan lagi: ‘Saya melihat’, ‘Saya dengar’, melainkan ‘Saya berhasrat’, atau ‘produksi energi yang menyeluruh’. Montase-pikiran meletakkan suatu tindakan begitu harmoni pada lapisan luar otak (cortex) yang memberi tanjakan pada pikiran. ‘Saya pikir sinematografis’: keseluruhan sebagai subyek. Jadi, keseluruhan juga mengandung kekerasan yang mengejutkan di dalam bentuk perlawanan dan pikiran dari keseluruhan di dalam bentuk mengatasi perlawanan, atau transformasi perlawanan. ‘
Dari kejutan dua faktor konsep yang lahir’: pikiran yang bergerak secara otomatis dan konsep itu sendiri, sinema dan citra dengan pergerakannya secara otomatis. Citra sinematografi harus memiliki efek kejutan pada pikiran, dan daya pikiran untuk berpikir dirinya sendiri sebanyak keseluruhan pikiran. Inilah juga definisi dari sublim. Tetapi, ada kesempatan kedua yang lenyap dari konsep yang mengharukan, atau pergerakan kembali dari pikiran ke citra. Kekerasan yang tidak terpikirkan secara otomatis adalah masalah ‘kepenuhan emosi’ atau ‘gairah’ kembali dengan proses intelektual. Bukan hanya kesempatan kedua terpisah dari yang pertama, tetapi kita tidak dapat mengatakan yang mana pertama. Kita akhirnya tidak menyesal untuk mengatakan, yang pertama adalah apakah montase atau pergerakan citra?