Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Abdul Mu’ti Ungkap Kepentingan Muhammadiyah terkait Pemilu

×

Abdul Mu’ti Ungkap Kepentingan Muhammadiyah terkait Pemilu

Share this article
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti

KHITTAH.CO, Jakarta- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengungkapkan kepentingan Persyarikatan terkait Pemilu 2024, yaitu segala rangkaiannya berlangsung dengan berkualitas.

“Kepentingan Muhammadiyah untuk mengurangi money politic dan mengurangi polarisasi, serta adanya promosi dan tanggung jawab partai politik untuk mencalonkan kader-kader terbaiknya,” ujar dia.

Sekum PP Muhammadiyah menyampaikan hal itu dalam Doorstop Media Afiliasi
Muhammadiyah pada Senin malam, 8 Agustus 2024 via zoom.

Mu’ti juga menekankan bahwa Muhammadiyah terus mendorong reformasi sistem pemilu. Ia kembali mengatakan, sistem proporsional terbuka yang diterapkan kini sarat dengan masalah.

“Sistem proporsional terbuka telah terbukti melahirkan oligarki yang sudah sangat mendarah daging, sangat berurat, dan berakar kuat,” ungkap Mu’ti.

Ia juga menyebut kualitas legislator yang dihasilkan oleh sistem proporsional terbuka tidak ideal.

Itu karena sistem liberal yang diterapkan menentukan kekuatan dan keterpilihan hanya berdasarkan jumlah suara.

Mu’ti mengaku menyadari bahwa sikap Muhammadiyah itu memang menghadirkan perdebatan panjang.

Banyak pihak yang menganggap bahwa sistem proporsional terbuka itu paling demokratis. “Karena memastikan tidak ada suara pemilih yang terbuang percuma,”kata dia.

Namun, lanjut Sekum, selain memperkuat dominasi oligarki, sistem tersebut juga melahirkan praktik politik yang curang, culas, dan kanibal.

“Ini mungkin 3C, curang, culas, dan cannibal. Kenapa? Karena kita melihat vote
buying
menjadi sesuatu yang bahkan menurut saya, sudah sangat membudaya,”
kata dia.

“Sehingga seseorang yang tetap ingin menjadi caleg, bisa pindah dari
satu partai ke partai lainnya. Dan, transfer ini bukan transfer politik yang
cuma-cuma, tapi seperti transfernya para pemain sepak bola, yang pindah
dari satu klub ke klub lain, tentu saja dengan nilai transfer dalam nominal
tertentu,” lanjut Mu’ti.

Sekum menambahkan, untuk mencapai target suara terbanyak, membeli suara
(vote buying) menjadi jalan keluar yang ditempuh.

“Ungkapan peyoratif NPWP, nomor piro wani piro itu sudah jadi rahasia umum,
sehingga kalau mau terpilih, memang harus hitung-hitungan, sehingga memang
akan selalu dimenangkan oleh pemilik kapital,” ujar dia.

Ia juga menyebut, stigma terkait praktik politik saat ini bahwa pemilu tidak lagi
menekankan kapabilitas dan integritas, tapi hanya soal isi tas. “Ini problem yang
sangat serius,” tegas Mu’ti.

Terkait kanibalisme politik, berdasarkan informasi yang ia terima, persaingan
intrapartai lebih keras dibanding dengan caleg lain di luar partai.

“Kadang-kadang, mohon maaf, ada yang mensinyalir, kanibalisme politik itu
terjadi di tingkat penyelenggara pemilu. Misalnya di TPS atau di KPU. Dan itu
memang sudah banyak yang disampaikan oleh banyak pihak,” kata dia.

Lanjut Mu’ti, hal tersebutlah yang menjadi alasan Muhammadiyah mendorong
evaluasi sistem pemilu proporsional terbuka yang amat liberal.

Tawaran Alternatif

Sebagai alternatif, Muhammadiyah menawarkan sistem pemilu proporsional
tertutup atau sistem terbuka terbatas.

Dalam sistem tertutup, pemilih hanya memilih gambar partai, sementara
calegnya sudah ditentukan oleh melalui mekanisme internal masing-masing.

“Tentu saja siapa yang jadi akan mengikuti nomor urut dan memang akan
ada persoalan. Misalnya, nomor urut yang kira-kira tidak akan terpilih itu,
akan tidak semangat,” kata dia.

Kata Mu’ti, sistem itu menjadi salah satu alternatif, karena dengan itu, parpol
punya otoritas yang lebih kuat untuk mencalonkan kadernya sebagai caleg.

“Dan kemungkinan kader-kader itu untuk terpilih lebih tinggi karena disusun
mengikuti nomor urut dan prioritas,” kata dia.

Ia mengaku menyadari kritikan atas sistem tersebut. Kritikan itu, ujar Mu’ti,
dengan penyusunan seperti itu, money politic memang bisa terjadi di tingkat
elite politik, bukan di tataran publik.

“Katanya, justru itu akan memperkuat oligarki pemodal dengan elite politik.
Tentu saja, semua sistem itu ada kelemahannya,” kata dia.

“Dengan sistem tertutup, kemungkinan seseorang untuk menjadi caleg kutu loncat
itu sangat kecil. Dari sisi biaya juga sangat murah karena cukup mencetak satu kartu
suara,” kata dia.

Tidak hanya itu, para caleg juga tidak banyak memproduksi polusi visual dengan baliho.
“Karena kalau nomornya nomor sepatu, ya, dia tidak akan ngotot, tidak banyak mencetak baliho di mana-mana.

Mu’ti juga mengungkapkan tidak setuju dengan persepsi bahwa sistem tertutup bagai membeli kucing dalam karung.

Hal itu karena para caleg akan menjadi calon sementara, sebelum menjadi calon tetap.
“Para calon itu akan diperkenalkan kepada publik sehingga publik tentu akan mengenal
para calon itu,” kata dia.

Sementara itu, untuk sistem terbuka terbatas yang pernah diterapkan pada Pemilu 2004, Mu’ti menyebut ada peluang bagi semua caleg meski tidak di nomor urut teratas, jika memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP).

Sistem terbuka terbatas juga masih memberikan otoritas kepada partai untuk mendelegasikan kadernya yang bernomor urut teratas, tapi kader dengan nomor urut bawah juga masih memiliki peluang.

“Ini tentu saja menjadi pilihan sistem politik yang bagi Muhammadiyah, ini merupakan suatu pertanggungjawaban untuk menjadikan pemilu itu sebagai pesta demokrasi yang berkualitas, pesta demokrasi yang jauh dari dari money politic, keculasan, kecurangan, dan kanibalisme,” tutup dia.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply