Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Agama Dan Konsumerisme (Bagian 1)

×

Agama Dan Konsumerisme (Bagian 1)

Share this article

images-12

Oleh : Hamzah Fanshuri*

…Para konsumer kini mencari sesuatu yang personal
dan menyenangkan pada objek-objek yang mereka beli.
Akibatnya, objek harus bisa dimuati kualitas sensual;
selain dapat dimengerti ia juga harus dapat ‘dirasakan’.
( Francois Burkhardt )

Awal

Sebuah dentum diskursus sedang didedahkan. Ada gempita, sepertinya, menyongsong nalar diskursus tersebut. Postmodernisme; sebuah risalah filosofis yang tak terpisahkan secara sosiologis dengan hadirnya the consumer society (masyarakat konsumtif), ruang identifikasi yang imajiner tentang diri. The consumer society bukan sekedar dipahami sebagai kehidupan yang mengakumulasi benda dan atau barang material an sich, melainkan halusinasi tentang citra diri dan makna simbolik, yang menyelinap dibalik benda-benda konsumsi tersebut.

Kepemilikan atas sebuah barang dan benda tertentu, hadir bersama imajinasi bahwa hal itu merupakan identitas hidup dalam lapis sosial tertentu, bukan sekedar fashion style. Maka ketika seorang ibu mengajak anak-anaknya menikmati makan siang di restoran cepat saji Mc. Donald atau Kentucky Friedchicken, ketika seorang ibu memilih berbelanja sayur di mall bukan di pasar tradisional, sesungguhnya ia sedang melakukan ‘identifikasi’ citra dirinya dan melakukan konstruksi atas ‘mimpi sosial.’ Seperti yang dinubuatkan oleh Den De Lillo, seorang penulis Amerika, “it is not to buy, it is to dream.” Dan kemudian kita di sini, disuguhi etalase untuk mengkonsumsi merk dagang global; Mall dan hypermart.

Stimuli yang mendorong secara eksesif kehadiran budaya konsumeristik, adalah sebentuk simulacra dalam permainan tanda; iklan. Periklanan menjadi penting dalam menjual gaya hidup yang hedonistik, dan pembentukan image yang kapitalistik. Dan kemudian terbentuklah sebuah perilaku hidup tanpa pretensi makna.

Melalui iklan, masyarakat didikte dalam pola konsumsinya. Ideologi iklan memberi efek yang sangat dahsyat melampaui ideologi politik atau dogma-dogma agama sekalipun, dalam membangun kesadaran massa. Lewat iklan, peta hunian sosial misalnya, kini tak lagi bisa hanya dibagi ke dalam geopolitik negara, melainkan harus ditimbang melalui imajinasi masyarakat berdasarkan peta new life style (gaya hidup baru), seperti hadirnya real estate, kondominium, resident, mall dan hypermart.

Semua ruang-ruang tersebut terhubung menjadi simpul dan sekaligus kaca benggala bagi sejumlah besar orang yang hendak melakukan identifikasi ‘jati diri’ sebagai bagian dan atau anggota budaya dari konsumerisme kontemporer (the contemporary culture of consumption).

Dan barang-barang semiotik agama yang menjadi penanda kesalehan selama ini, pun akhirnya menderita pergeseran makna fungsional dalam level yang cukup menyedihkan dihempas budaya konsumerisme global tersebut. Seorang calon hajja misalnya, merasa perlu membeli tenun ikat berharga jutaan, yang dirancang oleh desainer ternama, untuk dipakainya dalam “tour” hajinya nanti. Yang sejak awal, busana mahal itu sesungguhnya tak memiliki korelasi yang utuh dengan moral sosial ibadah haji itu sendiri, tak memiliki keterkaitan kuat dengan religiusitas yang tulus, melainkan hanya pada nominal kapital.

Dan Karena itu pula tidaklah mengherankan, ketika dalam kesadaran kesalehan semiotik yang mahal itu, seorang muslimah merasa lebih soleh dan beriman jika meributkan model jilbab, termasuk panjang lebarnya, ketimbang meributkan gaji buruh perempuan yang rendah. Atau bicara berpanjang-panjang dalam atmosfer yang diliputi keprihatinan dan kesungguhan soal perlu adanya fiqh (perspektif yurisprudensial islam) tentang buruh migrant perempuan.

Dan lewat media, Agama lalu tampil dengan wajah genit, dikemas dalam suguhan iklan yang menarik, bersanding tanpa kikuk dengan sebuah produk barang kapitalis yang menghisap kesadaran umat. kehadiran agama bersama sebuah produk, menjadikan cita rasa iklan lebih lezat bagi konsumen. Sebab selain janji akan mutu produknya sendiri, barang material tersebut juga disertai cita rasa agama.

Maka menjadi pertanyaan kemudian, tulis Moeslim Abdurrahman ;
“…Apakah Agama masih bisa bersaing dengan iklan untuk mengatakan bahwa hidup yang bermakna ialah hidup yang memberi makna buat orang lain…..sehingga secara moral Agama, orang merasa bersalah kalau ia melakukan konsumsi dengan rakus, sementara disekitarnya orang hidup dalam keterbatasan yang luar biasa…”

Bersambung pada bagian 2………..

*Penulis adalah aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL