Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Agama, Pancasila dan Identitas Indonesia : Budaya Berkemajuan (Bag.2)

×

Agama, Pancasila dan Identitas Indonesia : Budaya Berkemajuan (Bag.2)

Share this article

Oleh :
Franz Magnis-Suseno

II. Agama yang mendorong kemajuan

Dalam sejarah umat manusia, dan pada hampir semua agama, kita melihat sesuatu yang khas. Di satu pihak agama menawarkan keselamatan, cintakasih, belaskasihan, pengampunan, perhatian pada mereka yang menderita, dan siapa yang meresapi roh agama-agama itu akan mengembangkan suatu budi yang luhur. Agama dapat mengangkat manusia ke suatu tingkat kemanusiaan yang paling tinggi.

Tetapi sejak ribuan tahun kita juga melihat kebalikan. Agama menjadi sumber kepicikan, eksklusivisme, kebencian kepada mereka yang di luar. Atas nama agama orang ditahan, disiksa, dihukum mati, orang dibungkamkan, dicegah beribadat. Agama mudah dapat memecahbelahkan suatu masyarakat.

Di zaman sekarang kita lebih sadar akan kemungkinan agama malah menjadi wahana sikap-sikap yang jahat dan tidak manusiawi. Kita melihat bahwa agama bisa menjadi ancaman terhadap perdamaian dan saling penerimaan dalam suatu masyarakat. Tetapi kita juga melihat, sebaliknya, bahwa agama dapat memotivasi orang untuk menjadi baik hati dan sabara, membantu mereka yang dalam kesulitan, mampu membangun jembatan komunikasi antar komunitas agama yang berbeda.
Tantangan

Dewasa ini, juga di Indonesia, agama-agama ditantang dari empat sudut:
1. Dari kecenderungan dalam masyarakat untuk semakin tidak toleran. Intoleransi merupakan sikap yang bermukim di hati manusia, barangkali setiap manusia, bersama dengan sekian sikap jelek lain seperti suka iri hati, cepat tersinggung, suka benci, dendam kesumat dlsb. Kecendrungan ini diperkuat karena perjuangan hidup sehari-hari semakin kompetitif dan keras. Situasi semacam itu tidak mendukung sikap toleran.

2. Adanya kemiskinan dan golongan-golongan yang menderita. D. l. k., kenyataan bahwa keadilan sosial semakin jauh. Itu menantang agama untuk membuktikan diri betul-betul mempunyai hati bagi mereka yang perlu bantuan.

3. Tantangan ketiga adalah budaya konsumeristik-kapitalistik borjuis di mana orang semakin hahya berfokus pada kemajuannya sendiri (dan keluarganya) supaya dapat menikmati dunia glamour yang dipromosikan oleh kapitalisme internasional. Agama, cinta pada negara, perhatian pada mereka yang miskin dan ketinggalan terlupa dalam napsu untuk selalu mengkonsumsi lebih banyak lagi.

4. Tantangan keempat adalah kebalikannya: ekstremisme dan radikalisme keagamaan yang membuat keagamaan tidak lagi mampu menghayati nilai-nilai kemanusiaan, budaya dan kebangsaan, yang membuat orang menjadi keras dan bersedia melakukan kekerasan, dikuasai oleh arogansi dan kebencian. Pola keagamaan radikalis itu dapat atraktif bahwa orang muda yang merasa muak dengan suatu masyarakat yang dilihat sebagai korup.

Tantangan-tantangan ini cenderung membuat agama sesuatu yang negatif dalam kehidupan bangsa.
Keagamaan yang mendorong kemajuan positif

Berhadapan dengan tantangan-tantangan itu mereka yang bersemangat keagamaan positif ditantang untuk menunjukkan agama sebagai unsur yang positif, yang memajukan, yang menyemangati, tetapi bukan dengan arogansi dan kebencian eksklusif, melainkan dengan mempersatukan, dengan mendukung cita-cita bersama, dengan saling menerima dan menyalakan suatu sinergi antara orang-orang dari agama-agama dan orientasi agamis yang berbeda. Agama harus dirasakan oleh masyarakat sebagai aset positif.

Harapan ini kiranya tidak dapat diungkapkan lebih baik daripada dalam rumusan agama Islam: Agama masa depan hanya akan memainkan peranan positif, dan hanya akan diterima dalam suatu dunia yang mau tak mau semakin sekuler – berhadapan dengan kaum ekstremis – kalau agama membuktikan diri menjadi rahmatan lili alamin: rahmat bagi seluruh alam.

Tentu saja, masyarakat kita agamis. Tetapi kalau agama betul-betul mau mempunyai masa depan, dan tidak mau menjadi wahana ekstremisme yang sendiri sudah merupakan suatu penyangkalan terhadap hakekat agama, agama harus muncul secara positif. Agama harus inklusif dalam arti, agama tidak menganggap mereka di luar agama (atau di luar aliran keagamaannya) sebagai musuh yang perlu diperangi, melainkan sebagai saudara yang diajak ikut dalam perjuangan demi masyarakat yang lebih baik.

Itu bukan relativisme, bukan model “semua agama sama saja”. Relativisme juga menyangkal misi agama. Tetapi keterbukaan. Agama harus dapat dirasakan sebagai rahmat bagi semua, tetapi hal itu tidak cukup kalau dipermaklumkan, melainkan agama memang harus dirasakan oleh semua, jadi juga oleh mereka yang di luarnya, sebagai rahmat. Salah satu implikasi adalah bahwa tidak boleh orang harus merasa takut karena keyakinan religiusnya.

Agama-agama sendiri harus belajar menjadi toleran. Lagi-lagi bukan dalam arti bahwa mereka tidak boleh meyakini diri. Melainkan dalam arti bahwa mereka mampu menghormati dan bahkan melindungi mereka yang kepercayaan atau ajarannya atau alirannya berbeda – meski tidak disetujui. Toleransi berarti bersedia menerima apa yang sebenarnya tidak disetujui.
Keagamaan di Indonesia

Tidak banyak orang Katolik tahu bahwa K. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, bersahabatan dengan Romo van Lith yang mendirikan kweekschool di Muntilan. Yang teramat perlu memang komunikasi. Meskipun dalam 20 tahun terakhir ada macam-macam konflik bernada agama serta terlalu banyak kasus intoleransi, akan tetapi hubungan antara, misalnya, orang-orang Katolik dan Muhammadiyan, juga Nadlatul Ulama, menjadi jauh lebih baik. Itu suatu kemajuan yang besar.

Yang di Indonesia mestinya diusahakan bersama-sama oleh agama-agama adalah mengharaman terhadap kekerasan. Terlalu banyak kekerasan masih dalam masyarakat – bukan hanya dalam kaitan dengan agama. Kita harus ke luar dari budaya kekerasan. Kemanusiaan yang adil dan beradab menuntut itu. Kalau kita ada konflik, maka hanya ada dua cara pemerahan yang benar. Yang pertama adalah musyawarah (yang harus dipelajari kembali), dan baru, kalau musyawarah tidak berhasil, diambil jalan hukum. Dan dengan keputusan hukum perkara harus selesai dan negara wajib memastikan bahwa putusan itu jadi dilaksanakan.

Yang juga kunci adalah agar agama-agama mendukung tegas-tegas demokrasi kita. Demokrasi kita barangkali masih perlu perbaikan konstitusional, tetapi ketetapan-ketetapan inti yang dimasukkan ke dalam UUD 1945 sebagai amendemen oleh MPR di bawah kepemimpinan Dr. Amien Rais (kedaulatan di tangan rakyat, pemilihan presiden dan wakil rakyat, pembatasan masa jabatan presiden, hak-hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi dll.) dipertahankan sebagai tonggak-tonggak kehidupan bersama yang demokratis (di sini dapat dicatat sesuatu yang di luar negeri tak pernah diperhatikan, bahwa di Indonesia demokrasi justru selalu diperjuangan oleh para politisi Muslim: di tahun 50-an oleh Masyumi dan PSI bersama dengan Partai Katolik dan Parkindo, dan sesudah jatuhnya resim Orde Baru Republik selama beberapa tahun di bawah pimpinan orang dengan identitas Islam kuat: B. Y. Habibie, Amien Rais, Gus Dur).

Kiranya tidak dapat diragukan bahwa agama di Indonesia dapat memberikan sumbangan amat penting dalam rangka pembentukan karakter serta budaya bangsa yang maju, kompeten dan bermartabat.

* Sumber : Tulisan ini pernah dipersentasekan di Konvensional Nasional Indonesia Berkemajuan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta pada 26 Mei 2016

Baca juga : “Agama, Pancasila dan Identitas Indonesia: Budaya Berkemajuan (Bag.1)”,  https://khittah.co/agama-pancasila-dan-identitas-indonesia-budaya-berkemajuan-bagian-1/4992/

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply