KHITTAH.CO, OPINI – Dalam perspektif sejarah, 33 tahun sebelum Indonesia menakzimkan kemerdekaan, di Kauman Yogyakarta telah berdiri organisasi Islam yang dikenal dengan sebutan Muhammadiyah. Persyarikatan ini didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 H. Tujuannya sangat sederhana, memurnikan ajaran Islam yang banyak dipengaruhi oleh hal mistik seperti bercampur baurnya ajaran Islam dengan alasan kebiasaan di daerah tertentu dengan dalih adaptasi.
Seiring dengan berjalannya waktu, dari masa ke masa Muhammadiyah berkembang begitu cepat di kalangan masyarakat. Awalnya hanya dikenal di Jogja, sekarang telah tersebar di seluruh penjuru Nusantara maupun dunia. Ada ratusan bahkan ribuan tokoh yang tercipta, pula amal usaha yang mengiringinya.
Amal Usaha Muhammadiyah yang disingkat AUM merupakan salah satu usaha yang dibangun oleh persyarikatan untuk mencapai maksud dan tujuan Muhammadiyah, menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Terlepas dari amal usaha Muhammadiyah di bidang Dakwah, agama Islam, sosial, politik dan kesehatan, penulis lebih cenderung menelisik eksistensi AUM di bidang pendidikan.
Mengutip pernyataan Ayahanda Haedar Nashir selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah dengan lembaga pendidikan mampu bertahan selama satu abad lebih dan masih diikhtiarkan untuk mampu bertahan. Hal ini menunjukkan ada sesuatu yang hidup dalam Muhammadiyah, ada kekuatan yang terus bergelora sampai dapat hidup selama satu abad ini dan insyaallah hingga seterusnya.
Sayangnya, dibeberapa tempat hari ini marak dijumpai amal usaha yang secara konstitusi adalah milik Muhammadiyah yang harus dikelola sebagaimana mestinya, itu banyak dijamah oleh orang-orang yang sama sekali tidak paham dengan ideologi dan kepribadian Muhammadiyah. Sehingga dalam mekanisme pengelolaannya, amal usaha ramai diintervensi oleh orang-orang yang tidak lahir dari rahim Muhammadiyah. Baik di sekolah maupun perguruan tinggi milik persyarikatan.
Banyak ditemui tenaga pengajar ataupun pimpinan yang memiliki ideologi yang berbeda, hanya bermodalkan Kartu Tanda Anggota lalu seolah mengklaim sebagai milik pribadi dan golongannya. Sangat eksentrik, hanya sebatas mengikuti Baitul Arqam lalu bergabung dan membungkam. Maka tak heran jika hari ini banyak kader muda pelanjut Muhammadiyah yang lahir dari pengkaderan ortom merasa asing di rumahnya sendiri.
Amal usaha disulap menjadi ladang yang basah, semboyan menghidupi persyarikatan tak lagi diprioritaskan. Yang ada, semakin banyak yang berlomba mencari hidup di Muhammadiyah dengan menghalalkan berbagai macam cara. Anehnya, tidak jarang ditemui pelaksanaan pengkaderan ortom di sekolah maupun di perguruan tinggi diintervensi bahkan dilarang. Lantas siapa yang harus disalahkan? Banyak kader yang dibuang oleh orang pendatang. Sungguh malang.
Tentu hal yang demikian perlu ditanggapi dan direspon dengan serius sesuai aturan main organisasi. Sebab kita semua menginginkan amal usaha senantiasa hadir sebagai spirit dan kepribadian gerakan yang memberi manfaat bagi semua kalangan.
AUM perlu dirawat, dipelihara dan ditumbuh-kembangkan sesuai koridor persyarikatan. Bukan malah disia-siakan apalagi menjadi ajang rebutan dan konflik. Mereka yang diberi amanat untuk memimpin dan mengelola amal usaha haruslah terpercaya, kader tulen Muhammadiyah yang profesional dan menjalankan amanat di atas ketentuan dan prinsip persyarikatan.