Oleh: Salahuddin (Dosen Pemikiran Islam UIN Alauddin Makassar)
KHITTAH.CO — Sesungguhnya ketika kita bicara akal dan hati, kita bicara epistemologi atau alat/sumber pengetahuan. Dalam Islam ada tiga sumber atau alat untuk meraup pengetahuan, yaitu indera, akal, dan hati.
Akal kita terbatas meski harus kita akui sangat susah mengukur dan mengetahui batas kekuatannya. Ibarat meniup balon, kita tidak tahu sampai batas/kadar berapa balon itu akan meletus. Di dalam Misykat al-Anwar, Al-Ghazali meski mengakui bahwa akal itu terbatas, ia juga mengatakan bahwa akal memiliki kemampuan yang sangat luar biasa, bahkan akal bisa menembus arasy sekalipun.” Akan tetapi, kata Ibn Khaldun, “Ibarat timbangan, akal itu sempurna untuk menimbang emas dan perak, tapi untuk menimbang gunung? Akal pasti tidak mampu.”
Untuk sekedar menyebut contoh, akal tidak berdaya sama sekali ketika dihadapkan kepada hal-hal yang sifatnya eksistensial, perasaan, dan lain-lain. Bagi akal, menunggu satu jam itu sama saja dengan orang yang lagi memadu kasih satu jam. Padahal dalam pandangan hati, itu beda sekali. Akal itu cetek ketika dihadapkan kepada orang yang lagi jatuh cinta.
Tapi apa pun yang terpikirkan oleh kita, pasti juga ada jarak dengan kita. Begitulah cara kerja akal. Beda dengan hati. Ia tidak membuat jarak sebagaimana kerja akal, tapi ia menyatukan kita dengan obyeknya.
Maulana Rumi membedakan antara pengetahuan akal (atau yang disebutnya dengan ilmu tubuh) dan pengetahuan hati (ilmu jiwa), “Setiap ilmu yang dipelajari di dunia ini melalui belajar dan percobaan adalah ilmu tentang tubuh. Ilmu yang diperoleh dengan melintasi perbatasan kematian adalah ilmu tentang jiwa. Mengetahui ilmu tentang “Akulah Allah” adalah ilmu tentang tubuh, tetapi menjadi “Akulah Allah” adalah ilmu tentang jiwa. Melihat cahaya lampu dan api adalah ilmu tentang tubuh, terbakar dalam api dan nyala lampu itu adalah ilmu tentang jiwa. Segala yang dialami adalah ilmu tentang jiwa, segala yang berdasarkan pengetahuan adalah ilmu tubuh.”
Ketika kita menggunakan akal dalam memahami Tuhan maka itu artinya kita dengan Tuhan itu berjarak. Karena sifat akal itu memang berjarak dengan obyeknya. Ini bukan berarti akal tidak bisa menemukan atau mengetahui Tuhan. Para filosof Muslim dan Mutakallim sepakat bahwa akal kita bisa mengetahui adanya Tuhan.
Akan tetapi yang menjadi persoalan kemudian, adalah apakah akal kita mampu mencapainya, dalam arti mendekatinya? Nampaknya kalau persoalannya adalah mendekati, ini sudah bukan lagi wilayah akal, tapi sudah memasuki wilayah hati atau intuisi.
Dalam epistemologi Islam, perolehan pengetahuan lewat hati atau intuisi, tidak lagi menyisakan jarak dengan obyeknya, tapi sudah menyatu dengan obyeknya. Makanya di tahap ini ada istilah menyatu dengan Tuhan. Sesungguhnya yang dimaksud adalah menyatu dengan-Nya dalam rasa.
Di sinilah rasa juga harus dikendalikan. Sebab rasa yang tidak terkendali justru lebih berbahaya dari nafsu yang tidak terkendali. Dengan rasa yang tidak terkendali, orang bisa saja mengaku diri menjadi Tuhan.
Yang terakhir disebut ini adalah beda antara tarekat dan tasawuf falsafi. Dalam tarekat, ucapa syatahat itu sangat dijaga, jangan sampai kebablasan. Sementara dalam tasawuf falsafi, hal itu dibiarkan dan bisa dijelaskan.
Wallahu a’lam