KHITTAH.CO, MAKASSAR – Menyikapi peningkatan kasus kekerasan di kalangan siswa, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Negeri Makassar, dalam kolaborasi dengan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi, mengadakan Pelatihan School Wellbeing. Pelatihan ini diharapkan dapat menjadi langkah efektif untuk menekan perilaku kekerasan di kalangan siswa.
Pelatihan ini berlangsung di SMP Unismuh Makassar pada tanggal 18 Juni 2023 dan dihadiri oleh 60 kepala sekolah dan guru dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah se-Kota Makassar.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Dr. Pantja Nurwahidin, membuka acara ini. Narasumber dari UNM yakni Dr. Basti Tetteng, S.Psi., M.Si, Eva Meizara Puspita Dewi, S.Psi, M.Si. Psikolog, serta Nurfajriyanti Rasyid, S.Psi., M.Si., Psikolog.
Basti Tetteng menegaskan bahwa kekerasan siswa di lingkungan pendidikan masih menjadi problem besar dan membutuhkan penanganan serius. Faktor-faktor yang mendorong perilaku ini meliputi kepribadian Neurotisisme siswa, paparan kekerasan di lingkungan sosial, pengasuhan yang permisif dan otoriter, hingga rendahnya school wellbeing.
Pendekatan school wellbeing, kata Basti, mencakup serangkaian aspek penting. Ia menekankan pentingnya kondisi sekolah yang baik, yang melibatkan lingkungan belajar yang aman dan nyaman, termasuk tingkat kebisingan yang rendah, ventilasi yang baik, suhu yang ideal, kurikulum yang tidak membebani siswa, jumlah siswa dalam kelas yang tidak padat, dan sebagainya.
Basti juga menjelaskan bagaimana hubungan sosial yang sehat dan hangat antara siswa dan guru, serta antar siswa, mempengaruhi kesejahteraan di sekolah. Kerjasama antara lingkungan sekolah dan rumah juga perlu ditingkatkan untuk menciptakan lingkungan yang harmonis dan mendukung perkembangan siswa.
“Setiap siswa harus merasa dihargai dan memiliki peluang yang sama untuk mewujudkan potensi dirinya. Ini mencakup aspek seperti penghormatan, perlakuan yang setara, dan pendorong untuk siswa mengembangkan potensi diri,” ungkap Ketua Prodi S2 Psikologi UNM itu.
Terakhir, katanya, kesehatan fisik dan mental siswa juga menjadi perhatian utama. Sekolah harus memastikan bahwa tidak ada gangguan kesehatan yang berarti yang bisa menghambat proses belajar siswa.
Dengan fokus pada empat aspek school wellbeing ini, sekolah dapat menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi proses belajar mengajar.
Langkah-langkah yang diambil dalam pelatihan ini meliputi evaluasi awal terhadap perilaku kekerasan dan tingkat kesejahteraan sekolah, intervensi untuk meningkatkan kesejahteraan sekolah, dan evaluasi berkelanjutan untuk memastikan efektivitas intervensi tersebut. Penekanan pada kesejahteraan sekolah ini diharapkan dapat menjadi titik tolak dalam penanganan perilaku kekerasan di lingkungan pendidikan di Indonesia.
“Pendekatan school wellbeing dapat menjadi upaya strategis untuk meredam perilaku kekerasan siswa,” ujar Basti Tetteng. Model ini sudah banyak diterapkan di berbagai negara, termasuk Finlandia, dan telah terbukti efektif.
Pelatihan ini memberikan pemahaman tentang bagaimana menerapkan model school wellbeing melalui beberapa tahap. Dimulai dari evaluasi kecenderungan perilaku kekerasan dan kesejahteraan psikologis siswa di sekolah, dilanjutkan dengan intervensi bagi sekolah yang memiliki tingkat kekerasan dan kesejahteraan psikologis yang rendah.
Pelatihan ini diharapkan dapat membantu sekolah menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif untuk proses belajar-mengajar. Selain itu, diharapkan pula dapat menjadi langkah awal dalam upaya penanganan perilaku kekerasan di lingkungan pendidikan di Indonesia.