Oleh: Hadisaputra *)
Suatu sore, kami kedatangan dua orang tamu dari Jepang. Lebih tepatnya, teman adik iparku yang juga sempat berkunjung ke negeri Sakura beberapa tahun lalu. Mereka adalah Izumi dan Kaoru. Mereka baru pulang dari Toraja. Selebihnya, mereka sempat singgah di Parepare, Barru, lalu ke Makassar. Di kota ini, mereka hanya tertarik mengunjungi pasar-pasar tradisonal. Sesuatu yang susah didapatkan lagi di negeri mereka. Satu lagi, di Makassar mereka lebih senang berjalan kaki, beberapa kali ditawarkan tumpangan mobil ataupun motor, mereka tak tertarik. “Terlalu banyak hal menarik yang terlewatkan, jika tak berjalan kaki,” kurang lebih itu pendapat mereka.
Sore tak terasa berakhir. Senja tiba, azan magrib pun berkumandang. Ketika saya ingin pamit ke masjid, Izumi juga menyatakan niat ingin ikut bersamaku. Awalnya saya ingin menolak, mungkin dengan semacam keyakinan konservatif, bahwa itu hanya tempat untuk orang Islam. Lagipula, akan sangat menyita perhatian jamaah, jika membawa “pengamat” masuk ke dalam masjid. Saya cukup kaget ketika Izumi ternyata mengeluarkan kopiah dari tasnya, dan meminta dipinjami sarung.
Awalnya saya mengira, ia adalah seorang mualaf. Ternyata tidak. Ia baru belajar mengikuti ritual salat, ketika berada di Parepare. Disana ia sempat ikut salat berjamaah Subuh, Zuhur, hingga Ashar. Di Parepare-lah ia membeli kopiah. Karena tak ingin mengecewakannya, saya pun bersedia mengajaknya ke masjid. Ketika tiba di masjid, saya ingin mengajarinya berwudu. Ternyata ia telah hapal prosesi tersebut. Hanya satu yang masih keliru, ia mencuci kaki kiri terlebih dahulu, baru yang kanan. Di masjid, ia tak mengundang perhatian, sebab pakaiannya cukup meyakinkan, menggunakan kopiah dan sarung. Kontras dengan saya, yang hanya mengenakan celana panjang tanpa kopiah.
Karena ia salat di sampingku, jadilah konsentrasiku sedikit terpecah. Saya cukup penasaran, bagaimana ia menjalankan praktik ritual salat tersebut. Ia cukup cekatan untuk tak membuat orang lain curiga, bahwa ia masih belajar salat. Mulai dari gerakan takbir, bersedekap, rukuk, sujud, ia lakukan secara benar. Saya memang masih menemukan beberapa kekeliruan. Misalnya, duduk tasyahud awal dan akhir yang masih sama. Ketika salam pun, ia hanya memutar kepala ke arah kanan, tanpa membalasnya ke kiri. Sesudah salat, ia pun dengan khusu’, menundukkan kepala sembari berdoa dengan mengangkat kedua tangan, mengikuti apa yang dilakukan sang imam.
Setelah keluar dari masjid, saya tak sabar bertanya, “Izumi, what is your religion?”. Pertanyaanku sangat “Indonesiawi”, di negeri ini pertanyaan itu begitu penting, sampai jawabannya pun harus tertera dalam Kartu Tanda Penduduk. Dengan sedikit ragu ia menjawab, “Hmm, I don’t know. But my family is Buddhism”. Ia menambahkan, meski keluarganya beragama Budha, namun ia tak pernah diajak mengunjungi tempat ibadah. Ia sering melihat berbagai tempat ibadah sejumlah agama, seperti kuil, gereja, dan lain-lain. Namun ia tak pernah menyambanginya.
“Lalu kenapa anda tertarik mengunjungi masjid?” tanyaku. Ia sekali lagi bingung, namun menjawab bahwa ketika di Parepare, ia menginap dekat dari masjid. Awalnya ia mengamati, dan mendengarkan suara yang keluar dari menara masjid. Ia pun heran, hatinya tergerak untuk melangkahkan kaki masuk kesana. Ia tak hanya mengamati, namun turut bergabung dengan jamaah, dan mengikuti gerakan mereka. Selesai mengikuti ritual tersebut, ia merasakan kedamaian dalam jiwanya.
“Saya merasa seperti baru saja selesai Yoga,” pungkasnya. Ia mengakui, meski tak sering, beberapa kali ia pernah ikut latihan Yoga, dan merasakan kedamaian seperti yang dirasakannya ketika meninggalkan masjid. Sebelumnya, ia jarang menjumpai orang Islam, atau bahkan sama sekali tidak tertarik mengamati atau mempelajari Islam. “Setelah pulang dari sini, saya akan coba belajar Islam,” tekadnya.
Apa yang dilakukan Izumi, juga pernah dilakukan Prof. Karel A. Steenbrink ketika meneliti tentang pesantren. Dalam pengantar buku “Mengindonesiakan Islam” karya Mujiburrahman (2008), Steenbrink mengisahkan ketika sedang melakukan penelitian, ia ikut bergabung dengan para santri dalam ritus salat berjamaah. Waktu itu ia beralasan, ingin merasakan suasana kebatinan orang yang merasakan ritual tersebut. Argumen serupa terungkap dalam pengantar “The Tao of Physics” karya Fritjof Capra, bahwa untuk memahami agama, sama halnya dalam mempelajari sains, kita mesti mengikuti ‘prosedur ilmiah’. Untuk merasakan sentuhan spiritualitas suatu agama, kita mesti mengikuti rangkaian ritual agama tersebut. Izumi, bukan peneliti seperti Steenbrink. Namun, nampaknya ia bisa menikmati eksotisme spiritualitas dalam ritual salat, dengan mencoba menjalaninya.
Sesekali panggilan sebagai “sang juru selamat” muncul di benakku. Apakah aku mesti mulai memberondongnya dengan keindahan Islam yang kuketahui? Apakah aku mesti memberi iming-iming, bahwa jika kau menganut Islam, engkau akan berada di jalan keselamatan, sebab inilah agama yang paling paripurna. Tapi, suara batinku yang lain berseloroh, “hati-hati menggambarkan Islam terlalu indah. Ia bisa kecewa. Di luar sana, terlalu banyak perilaku umat Islam yang berbeda dengan normatifitas yang diajarkan dalam kitab suci.”
Saya teringat Wilson, seorang ilmuwan sekular dalam “Against Religion, Why We should Try to Live without it”. Ia berkata, “Kalau agama itu benar, namun tidak mampu mempengaruhi para pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar namun tidak mempengaruhi watak pemeluknya?”
Suara batinku yang lain muncul lagi, “kalau begitu, rekomendasikan saja buku The Tao of Islam, karya Sachiko Murata. Buku itu tepat untuknya, apalagi mungkin ia sudah cukup akrab dengan Taoisme. Izumi pun nampaknya lebih cocok belajar tentang Sufisme Islam. Atau, ajak Izumi membaca biografi Nabi Muhammad yang ditulis Karen Amstrong.”
Tapi itu urung juga kulakukan, mungkin Izumi lebih tertarik pada produk “New Age” dengan doktrin, “Spirituality Yes, Organized Religion No.” Mungkin ia tidak tertarik memahami Islam sebagai agama, tapi ia tertarik dengan ekstase spiritualitas yang ditawarkan Islam melalui ritualnya. Ah, Izumi, belajar sendirilah tentang Islam. Sebab, aku pun masih belajar.
*) Hadisaputra adalah Peminat Kajian Antropologi Agama