Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Apa Itu Dialektika dan Apa Asasnya

×

Apa Itu Dialektika dan Apa Asasnya

Share this article

Oleh: Mansurni Abadi*

 

Seringkan di dunia akademik kita suka bertemu istilah berpikirlah secara dialektif tetapi jarang pun ada yang paham itu dialektika. Pada dasarnya, dialektika adalah satu cara pandang atas sesuatu dalam keadaan geraknya dan bukan dalam keadaan diamnya. Dialektika adalah metode penalaran yang bertujuan untuk memahami hal-hal secara konkret dalam semua gerakan, perubahan, dan interkoneksi mereka, dengan sisi-sisi yang berlawanan dan saling bertentangan dalam kesatuan.

Proposisi dasar dialektika adalah bahwa segala hal selalu ada dalam proses perubahan yang dinamik, yang seringkali prosesnya tidak terlihat dan tidak bergerak dalam garis lurus. Engels mendefinisikan dialektika sebagai “ilmu tentang hukum-hukum umum tentang gerak dan perkembangan alam, masyarakat manusia dan pemikiran.”

Sederhananya, Dialektika, secara umum, adalah bentuk argumentasi yang mencapai kesimpulan dengan mengungkap ketidakkonsistenan dalam premis awal, biasanya melalui dialog. Niatnya, paling tidak, untuk menunjukkan tidak memadainya asumsi-asumsi  tertentu terutama soal gagasan yang kita terima begitu saja.

Ada jenis dialektika yang bertujuan untuk mencapai lebih dari sekadar hanya menjelaskan ketidakkonsistenan, yang disebut dialektika Hegelian. Dialektika ini secara khusus, ia menyajikan ide-ide yang bertentangan, seperti definisi yang diusulkan untuk istilah tertentu, dan mulai menunjukkan bahwa ketegangan yang melekat di antara mereka sebenarnya menghasilkan ide-ide yang lebih baik, lebih halus; kemudian mensintesis perbaikan-perbaikan itu dan memungkinkan kita untuk melangkah lebih dekat ke kenyataan yang bisa menggerakkan perubahan.

Kebenaran “Mutlak,” dalam istilah Hegel, harus  mencakup semua yang kita temukan melalui dialektika yang cukup dengan mengumpulkan kebenaran parsial yang secara bertahap kita temukan.

Seni berdialektika harus dimulai dari sikap mendengarkan yang diagnostic. Jadi tak hanya dengar sahaja tetapi ada nalar kritis bermain disitu, sehingga kita bisa merangkai dialektika yang terjadi menjadi sebuah sintesis baharu yang berbeza.

Namun Tidak semua orang memiliki waktu yang cukup untuk mendengar, padahal  mendengarkan lawan bicara adalah syarat wajib untuk berdiskusi dengan metode dialektika logika. Sebab dalam metode dialektika logika, kita diharuskan untuk mengerti dan memahami struktur konsep lawan bicara, dan menganalisa struktur konsep lawan bicara berdasarkan struktur konsepnya sendiri; tanpa mencampurbaurkannya dengan struktur konsep kita sendiri, sehingga dibutuhkan empati yang besar untuk mendengarkan.

Sebelum kita membahas, mendiskusikan, atau memperdebatkan struktur konsep orang lain, maka kita wajib untuk mengerti dan memahami struktur konsep lawan bicara terlebih dahulu. Untuk mengerti dan memahami struktur konsep lawan bicara, dibutuhkan empati yang besar untuk mendengarkan penuturan dari lawan bicara atas struktur konsepnya sendiri.

Metode berpikir dialektis sudah ada sejak lama, sebelum Marx dan Engels mengembangkannya secara ilmiah sebagai alat untuk memahami evolusi masyarakat manusia. Para filsuf Yunani dengan cemerlang mengantisipasi perkembangan dialektika di kemudian hari sebagai ilmu-ilmu ilmiah.

Tetapi mereka sendiri tidak dapat membawa antisipasi ini kepada kesimpulan logisnya karena rendahnya pengembangan alat-alat produksi, dan kurangnya informasi yang memadai tentang cara kerja terperinci dari alam semesta. Ide-ide mereka memberikan gambaran umum yang kurang lebih benar, tetapi mereka sering lebih pada sifat spekulatif yang diilhami daripada teori yang dikerjakan secara ilmiah.

Pada awal 500 SM, Heraclitus mengajukan gagasan bahwa “segala sesuatu ada dan tidak ada, karena semuanya berubah, terus berubah, terus-menerus muncul dan berlalu”. Dan selanjutnya, “segala hal mengalir dan tak satu pun yang tinggal diam”. Pernyataan ini sudah mengandung konsepsi dasar dialektika bahwa segala sesuatu di alam berada dalam keadaan perubahan yang konstan, dan bahwa perubahan ini terungkap melalui serangkaian kontradiksi.

Bisa kita lihat lagi juga dalam sejarah, dialektika ini ada karena setiap manusia melakukan kegiatan berpikir karena sememang pun  proses berpikir diawali dengan “thaunmazein” (keheranan) yang mengarahkan kepada manusia pada pertanyaan yang membawanya pada suatu proses berpikir. Namun proses berpikir yang mengarah kepada pengetahuan terkadang pula jatuh kepada sebuah “sesat berpikir” sehingga di perlukanlah metode berpikir dialektik.

 

Hukum-hukum dialektika telah diungkapkan secara rinci oleh Hegel, walaupun, dalam tulisannya, hukum-hukum itu muncul dalam bentuk yang idealis dan mistis. Marx dan Engels-lah yang pertama kali memberi basis yang ilmiah, yang materialis, terhadap dialektika. “Hegel menulis sebelum Darwin dan sebelum Marx,” tulis Trotsky.

Berkat impuls maha dahsyat yang disuntikkan kepada pemikiran manusia oleh Revolusi Prancis, Hegel mengantisipasi pergerakan umum ilmu sains. Tapi karena itu hanya sekedar antisipasi, sekalipun Hegel adalah seorang jenius, dialektika tetap mendapat watak idealis di tangannya. Hegel bekerja di bawah bayang-bayang ideologi sebagai realitas puncaknya. Marx menunjukkan bahwa pergerakan dari bayang-bayang ideologi ini tidak mencerminkan apapun selain pergerakan dari benda-benda material.”

Dalam bukunya, Capital, Marx menuliskan bahwa “Metode dialektika saya bukan hanya berbeda dengan dialektikanya Hegel, tetapi persis kebalikannya. Bagi Hegel, proses kehidupan dari otak manusia, yaitu proses berpikir, yang di bawah panji “Ide” bahkan diubahnya menjadi satu subjek yang independen, adalah inti hakikat dari dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah sekedar bentuk “Ide” yang eksternal dan fenomenal. Bagi saya, sebaliknya, ide bukanlah apa-apa melainkan dunia nyata yang tercermin dalam pikiran manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran.”

Di lain sisi, kita akan melihat metode berpikir lain, yang bertentangan dengan dialektika, yang kita sebut sebagai “logika formal”. Logika formal didasarkan pada apa yang dikenal sebagai ‘hukum identitas’, yang menyatakan bahwa ‘A’ sama dengan ‘A’ – yaitu bahwa benda-benda adalah seperti itu apa adanya, dan bahwa benda itu berposisi pada hubungan yang tertentu (pasti) satu sama lain. Ada hukum-hukum turunan lain yang didasarkan pada hukum identitas; yaitu misalnya, jika ‘A’ sama dengan ‘A’, maka ‘A’ tidak mungkin sama dengan ‘B’ atau ‘C’.

Mengenai hubungan antara dialektika dan logika formal, Trotsky, dalam bukunya “ABC of Materialist Dialectics” menuliskan dialektika sebagai “ilmu tentang bentuk pemikiran kita, sejauh itu tidak terbatas pada masalah kehidupan sehari-hari tetapi mencoba untuk sampai pada pemahaman tentang proses yang lebih rumit dan berlarut-larut.”

Trotsky membandingkan dialektika dan logika formal (metafisika) dengan matematika yang lebih tinggi dan lebih rendah. Dengan kata lain, Trotsky memandang bahwa logika formal tetap memiliki kebenaran yang sahih, namun kebenaran dari logika formal sangatlah terbatas. Pada saat-saat tertentu, logika formal tidak bisa didasarkan sebagai metode berpikir karena keterbatasannya. Di saat inilah dialektika mengambil alih.

Mari kita gunakan perumpamaan yang digunakan oleh Trotsky untuk melihat kelemahan logika formal ini: satu ons gula pasir tidak akan tepat sama dengan satu ons gula pasir lainnya. Adalah hal yang baik jika Anda menggunakan patokan takaran seperti itu untuk membeli gula pasir di toko, tetapi jika Anda lihat secara jauh lebih teliti, maka akan kelihatan bahwa takaran itu tidak sepenuhnya tepat sama (‘A’ bisa jadi non ‘A’).

Jadi, kita perlu memiliki suatu bentuk pemahaman, suatu bentuk logika, yang menjelaskan kenyataan bahwa benda-benda, kehidupan, dan masyarakat, berada dalam keadaan pergerakan dan perubahan yang konstan. Dan bentuk logika itu, tentu saja adalah: dialektika. Akan tetapi, di sisi lain, adalah salah jika kita berpikir bahwa, dialektika menyatakan bahwa proses di alam semesta adalah setara (genap) dan perlahan (gradual). Hukum-hukum dialektika—dan perlu dicatat: konsep-konsep ini kedengaran lebih rumit daripada kenyataan sesungguhnya—hukum-hukum dialektika menjelaskan cara dimana proses-proses perubahan dalam realitas terjadi.

 

* Mahasiswa Institute Kajian Entik UKM dan Kader IMM Malaysia

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply