Oleh: Ian Hidayat*
KHITTAH. CO – Sore hari pada bulan Ramadan, saya dan seorang kawan terjebak macet di kawasan sekitaran Universitas Hasanuddin. Sore itu, penduduk Makassar tumpah ruah di jalanan. Saya berasumsi, penyebabnya adalah memburu waktu berbuka puasa. Sebagian besar mereka terjebak macet adalah pegawai kantoran yang pulang pada sore hari. Mereka biasanya terburu-buru pulang ke rumah untuk buka puasa bersama keluarga.
Saya bersama kawan mengendarai motor dengan tujuan ke Jl. Pettarani, merasa perlu untuk menepi sejenak. Kami berpikir untuk mendapatkan waktu berbuka puasa tidak di tengah jalan yang penuh kemacetan itu. Pilihannya, adalah sebuah took buku Subaltren yang letaknya berada di tengah kota Makassar, tidak jauh dari PLTU Tello.
Beruntungnya, di sana sedang berjalan diskusi rutin yang diadakan selama bulan Ramadan sembari menunggu waktu berbuka puasa. Selain diskusi keilmuan, ada satu hal yang menarik di tempat tersebut. Yaitu, buka puasa bersama. Sehingga, saya bersama teman tidak perlu merogoh kantong untuk mendapatkan menu berbuka puasa. Sebab itu, saya menyukai kebiasaan orang orang di bulan Ramadaan.
Budaya Ramadan
Ada kebiasaan menarik yang selalu terjadi di bulan Ramadan ini, umat Islam akan berlomba meningkatkan ibadah. Dalam ibadah spiritual, mereka akan semangat melaksanakan ibadah di masjid sebagaimana anjuran Muhammad Saw. Umat Islam juga secara rutin selama sebulan penuh melaksanakan puasa.
Dalam ibadah sosial, umat Islam senang membagikan makanan dan minuman untuk orang berpuasa. Baik itu di jalanan sampai di hotel mewah. Juga menjadi lebih senang bersedekah dan membagikan hartanya, hal tersebut terbukti dengan banyaknya video-video yang berseliweran di media media.
Kita bisa memperdebatkan, apakah agama adalah bagian dari budaya ataukah agama adalah variabel yang berdiri sendiri. Meskipun demikian, fenomena yang terjadi di bulan Ramadan secara tidak sengaja menjadi budaya tersendiri, khususnya pada masyarakat di Indonesia.
Apa yang Berusaha Diraih?
Secara tidak sengaja, bulan Ramadhan telah memengaruhi berbagai kalangan di Indonesia, termasuk pemeluk agama dan kepercayaan di luar Islam. Hal tersbeut menjadi momentum manusia untuk menunjukkan kebaikan yang dapat mereka lakukan. Sebagai bagian dari spirit sosial.
Fenomena tersebut akan mengantarkan kita pada pertanyaan, apa yang berusaha manusia menangkan?
Muhammadiyah, sebagai organisasi memiliki ide yang dikembangkan dengan tujuan tertentu. Tujuannya adalah mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Ide tersebut lahir dari pemikiran Ahmad Dahlan sebagai pencetus gerakan Muhammadiyah, ide tersebut didasari pada gerakan al-Maun. Hari ini, kita mengenalnya dengan Teologi al-Maun.
Secara garis besar, ide ini tidak jauh dari Islam sebagai Teologi Pembebasan yang Ditulis oleh Asghar Ali Engineer. Asghar Ali menilai, al-Quran sebagai dasar ajaran teologi Islam mendorong nilai kesamaan antar manusia tanpa memandang status sosial.
Hal itu pula yang dibawa dalam Teologi al-Maun, didasari pada Q.S. al-Maun yang mendorong umat Islam untuk membantu yatim piatu dan orang miskin. Mereka inilah yang menjadi kelompok manusia yang rentan mendapatkan intimidasi karena status sosial. Maka dari itu, Ahmad Dahlan berpikir sebagian orang memiliki tugas untuk mengangkat derajat sesama sebagai jalan menuju keadilan.
Jika ditelaah dalam gerakan Muhammadiyah, organisasi ini mengedapankan pembangunan infrastruktur seperti rumah sakit, panti asuhan, ataupun sekolah. Hal ini tentunya mendorong agar setiap orang mendapat akses pendidikan maupun kesehatan yang layak. Pada dasarnya, kemenangan Islam adalah masyarakat yang adil tanpa diskriminasi sosial.
Ramadhan sebagai Momentum Meraih Kemenagan
Melihat fenomena yang selalu terjadi pada bulan Ramadan, puasa dan berbagi makanan ataupun harta menjadi kebudayan yang ada di masyarakat Indonesia.
Puasa sebagai ibadah spiritual adalah penghambaan yang sifatnya individu, mengikat satu manusia saja sebagai individu yang percaya terhadap Tuhan. Esensinya adalah menahan, menahan lapar, menahan tidak bersetubuh, dan berbagai sifat kebinatangan manusia.
Yang lain, berbagi, baik melalui sedekah maupun zakat menjadi sebuah ibadah sosial. Kepentingannya adalah agar tidak ada jurang pemisah antara kaya dan fakir miskin. Saya sendiri merasa terbantu dengan fenomena yang terjadi di bulan Ramadan. Sebab, saya tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk aktivitas sehari-hari.
Ramadan bisa kita sebut sebagai sebuah upaya simulasi masyarakat adil makmur walau jangka waktunya hanya sebulan. Pada waktu tersebut, kesetaraan terbentuk baik secara sengaja maupun tidak.
Apakah Kita Layak Merayakan Kemenangan
Kemenangan umat manusia seyogyanya bukan keberhasilan menguasai alam semesta. Kemenangan Islam juga bukan islamisasi terhadap seluruh lapisan manusia. Kemenangan itu pada dasarnya terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana yang digaungkan dalam Q.S. al-Maun.
Dari awal, gerakan Muhammad Saw adalah penghapusan budak dan akses merata kepada setiap manusia, bahkan semesta. Sejarah kenabian juga menceritakan sejarah pembebasan melawan kezaliman seperti kisah Ibrahim melawan Namrud atau kisah Musa dan Harun melawan Fir’aun.
Kisah-kisah yang ada sebagai contoh meluruskan normalisasi terhadap kekuasaan yang rakus, kekuasaan yang menguasai sumber daya dengan mengorbankan makhluk lain. Sejarah Muhammadiyah juga sebagai upaya pembatasan terhadap kerajaan yang menggunakan hegemoni lewat agama dan doktrin spiritual. Bahkan upaya pembatasan eksploitasi yang dilakukan oleh kolonial di Nusantara silam. Kisah kisah tersebut melalui puasa, bukan sekadar menahan lapar dan haus, tapi tindakan bunuh diri sosial.
Dalam kajian sosialisme, bunuh diri sosial adalah bentuk pemisahan diri dari eksploitasi pasar dan ketimpangan sosial. Ibrahim yang dimusuhi raja Namrud dan kaumnya, bahkan pernah dibakar. Kisah Musa yang dikejar pasukan Fir;aun hingga ke laut mati. Muhammad dan pengikutnya yang dimusuhi oleh Kafir Quraish. Hingga kisah Ahmad Dahlan yang lahir dalam keluarga ulama yang dimuliakan oleh Kesultanan Yogya, namun dimusih dan hidup miskin. Mereka mengalami puasa atau alienasi dalam perjalanan hidupnya.
Masa yang akan datang, Muhammadiyah maupun masyarakat Islam tidak merayakan kemenangan dengan pandangan spiritual dan doktrin saja. Tapi, ukurannya adalah keadilan dan kesetaraan sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut.
Sumber gambar: kemenag.go.id
*Kader Muhammadiyah/Pengabdi Bantuan Hukum YLBHI-LBH Makassar