KHITTAH.CO, Tana Toraja- Daerah ini biasa disebut Tator. Tana Toraja adalah kabupaten di Sulawesi Selatan dengan penduduk mayoritas non-Islam. Fakta ini menjadi tantangan bagi Persyarikatan.
Sejarahnya, Muhammadiyah masuk ke Tator, diperkirakan sekira 1935. Saat itu, pedagang yang juga anggota Muhammadiyah Palopo bernama S. Machmud dan Abdul Gani (Wa’na atau Wa’Ganing) memang datang untuk mengembangkan Persyarikatan di daerah pegunungan ini.
Hal ini terungkap dalam buku “Menapak Jejak Menata Langkah Sejarah dan Biografi Ketua-Ketua Muhammadiyah Sulawesi Selatan (2015)” karya Mustari Bosra dkk.
Saat itu, masyarakat Tana Toraja sudah menganut Kristen, selain kepercayaan tradisional, Alu Todolo. Tidak dapat ditampik, Muhammadiyah Makale kala itu kesulitan berdakwah.
Hebatnya, meski dinding tinggi menghadang, Muhammadiyah Makale tetap dapat mengembangkan gerakan.
Buktinya, pada 1936, Madrasah Muhammadiyah di Rantepao dapat berdiri, meski pada 1937 dipindahkan ke Makale.
Prinsip Dakwah Muhammadiyah Toraja
Gerak dakwah itu juga masih terlihat hingga kini. Meski harus diakui, tidak semudah daerah lain, memang. Hal ini terungkap saat Tim Khittah bertandang ke Makale, Selasa, 10 Januari 2023.
Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tana Toraja menyambut kami dengan hangat. Mereka adalah ketua Zainal Muttaqin, sekretaris Rhony, dan wakil ketua Muhammad Sabir.
Saat ditanyai perihal tantangan dakwahnya, Kiai Zaenal, begitu sapaan Ketua PDM Tana Toraja, mengungkapkan pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah di daerah minoritas itu.
“Muhammadiyah itu organisasi dakwah, gerakan Islam yang bersumber pada Quran dan Sunah. Semua gerakannya itu diarahkan untuk mengamalkan Islam dan mengembangkan Islam. Tapi, tetap mengontekstualisasikan atau membumikan Islam,” ungkap dia.
Karena itu, sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah Toraja tidak hanya berdakwah lisan. Mereka mengaku tidak hanya menyampaikan, apalagi sekadar melarang-larang.
“Tapi, kami harus bil khair, karena kita berada di daerah minoritas. Kita harus menampilkan Islam itu dengan menarik, bukan menakut-nakuti. Saya sepakat dengan Pak Haedar Nashir, ber-Islam itu harus istikamah, tapi lapang, mengedepankan kasih sayang, persaudaraan, kebersamaan,” kata dia.
Karena itulah, pihaknya mengedepankan prinsip tadayyun. Ia menjelaskan, tadayyun adalah kesadaran atas perbedaan yang ada di selingkung.
“Dakwah di Tana Toraja, banyak orang yang mengatakan, besar tantangannya, tapi sesungguhnya, orang Toraja itu welcome saja dengan kita,” kata Zainal.
Ia mengungkapkan, orang Toraja sesungguhnya bersikap terbuka atas paham apa pun yang datang. “Hanya saja, mereka tentu kuat dengan keyakinan mereka. Meskipun banyak juga orang Toraja yang tertarik untuk masuk Islam,” kata dia.
Ia menambahkan, masyarakat Toraja mengenal konsep Tongkonan. Kiai Zainal menjelaskan, Tongkonan merupakan lembaga adat Toraja yang melekatkan tradisi-tradisi masyarakat.
Tongkonan juga dijadikan sebagai wadah mediasi jika terjadi benturan-benturan di tengah masyarakat Toraja.
“Tongkonan ini sudah ada sebelum agama ada, diwariskan hingga kini. Dalam tongkonan itu, orang Toraja menyilakan beragama apa pun, tapi, dalam keluarga, semua harus tetap menyatu,” kata Zainal.
Bahkan, ia mengaku, dirinya biasa berceramah dalam Tongkonan, karena di dalam keluarga tersebut ada beragama Islam.
Ia mengaku seringkali berceramah takziah dan diikuti oleh mayoritas non-Islam. “Mereka diam menyimak, mendengarkan. Tapi, apakah mereka tertarik masuk Islam? Setidaknya mereka jadi tahu bagaimana sebenarnya itu Islam. Ini strategi dakwah juga,” ujar Kiai Zainal.
Meski demikian umat Islam di Toraja tetap tidak mencampur-adukkan agama (tasabuh). “Ketika mereka Natalan, orang Islam juga diundang, hadir juga, tapi kalau ibadah, tidak ikut. Bahkan, ketika kita bangun masjid, ada panitianya yang Kristen. Mereka bantu pasir, semen,” ungkap Zainal.
Strategi Dakwah
Ketua PDM menyebut ke-Islaman orang Toraja diwarnai oleh Muhammadiyah. Ini terbukti, masjid raya Toraja adalah masjid Muhammadiyah. Zainal juga didapuk sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Terkait eksistensi di tengah masyarakat, Muhammadiyah Tator juga tergolong aktif turun tangan dengan Lazismu-nya. Masyarakat Toraja sudah tidak asing dengan aksi sosial Muhammadiyah, melalui Lazismu.
Demikian pula MDMC. Saat bencana melanda Mamuju dan Masamba, Pusat Dakwah Muhammadiyah (PUSDAM) Tator menjadi tempat transit dan penampungan relawan juga logistik.
“Alhamdulillah. Dalam aksi kemanusiaan, Muhammadiyah di Tana Toraja selalu terdepan. Silakan tanya. Jadi, kami mendakwahkan Muhammadiyah bukan untuk sekadar supaya mereka masuk Islam,” kata dia.
Pimpinan Muhammadiyah Tana Toraja menyadari betul bahwa pihaknya seharusnya tidak hanya berdakwah, tapi juga mencari peluang dakwah. “Kami sadar betul, Muhammadiyah itu gerakan tajdid, yang kami lakukan di sini itu,” tegas dia.
Hal yang tidak kalah penting, kata Kiai Zainal adalah menyinergikan dakwah dengan kearifan lokal. Demikian pula dengan melihat potensi untuk berdakwah efektif.
Upaya untuk Tetap Eksis
Muhammadiyah Tana Toraja memiliki lima pimpinan cabang. Zainal mengungkapkan, pengajian yang dihadiri pimpinan cabang dimanfaatkan sebagai wadah konsolidasi organisasi dan ideologi.
“Di sini ada pengajian pimpinan, pengajian gabungan yang melibatkan semua, di tingkat cabang juga begitu. Misalnya di Cabang Mangkendek. Itu yang paling aktif pengajian,” kata dia.
“Pengajian kami tetap jalan. Bahkan itu ruh. Karena di situlah ta’liful qulub. Karena sering bertemu. Nggak bisa kalau tidak ketemu. Kalau sudah ketemu hati, barang yang tidak baik menjadi bagus,” tegas dia.
Bahkan, dilaporkan, Muhammadiyah Tana Toraja telah membentuk Korps Mubalig yang lahir dari Pelatihan Mubalig Muhammadiyah yang pernah dihelat beberapa tahun lalu.
Untuk kaderisasi, Muhammadiyah Tana Toraja tetap melakukan baitul arqam, termasuk bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
Termasuk kepala sekolah dan madrasah semua amal usaha bidang pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah.
Hal yang patut disyukuri, angkatan muda Muhammadiyah di Tana Toraja tergolong aktif. Terbukti, dalam periode ini, Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Tana Toraja berhasil terbentuk, bahkan sudah dua periode.
Masa depan Muhammadiyah Tana Toraja berada di pundak angkatan muda Muhammadiyah. Pasalnya, kini, kader sangat minim.
Karena itulah, Majelis Tarjih dan Tajdid digabung dengan Majelis Tablig di Tana Toraja. Tidak hanya itu, Majelis Pembina Kader (MPK) juga digabung dengan LPCR.
Demikian pula, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan yang digabung dengan Majelis Pemberdayaan Masyarakat.
Majelis Wakaf dan Kehartabendaan digabung dengan Majelis Lingkungan Hidup. Terakhir, Majelis Hukum dan HAM digabung dengan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP).
Zainal tidak menampik, meski telah ditempuh penggabungan majelis/lembaga, namun pengurusnya masih banyak yang tidak aktif.
“Kita salah pilih figur. Terkadang kan kita pilih figur karena dianggap ketokohannya, sehingga tidak berpikir, mereka itu ada waktunya gak? Itu yang jadi hambatan kita. Apalagi kalau mereka tidak dari awal di Muhammadiyah, misal dari IPM, IMM, beda hasilnya,” kata dia.
Tapi, ia mengaku, pihaknya terus mengajak mereka, melakukan persuasi. “Itulah kenapa kami terus mengadakan rapat. Kami terus mengundang mereka,” ungkap Zainal.
Sejak Zainal Muttaqin memimpin Muhammadiyah Toraja, ia mengaku lebih mengedepankan kebersamaan. Prinsipnya, keberhasilan adalah keberhasilan bersama, kegagalan pun demikian.
“Prinsip kami, hasil musyawarah yang salah masih lebih baik daripada kebenaran yang dilakukan sendiri. Semua kami di sini ditangani dengan gotong royong, bersama-sama,” tegas dia.
“Sehingga, ada yang bilang, kenapa PDM ini rapat terus, rapat terus. Ini karena memang seperti yang saya katakan tadi itu. PDM kan juga tugasnya monitoring, mengoordinir,” kata Zainal.
Meski demikian, satu hal yang andalan dari PDM Tana Toraja. Terkait kemandirian ekonomi, Muhammadiyah Tana Toraja mendirikan Toko Sinar 12. Tidak hanya itu, PDM Tator juga memproduksi kopi kemasan dengan brand KopiMu.