Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Bantaeng Religius sebagai Ruang Strategis Literasi Zakat Menuju Masyarakat Sejahtera

×

Bantaeng Religius sebagai Ruang Strategis Literasi Zakat Menuju Masyarakat Sejahtera

Share this article

 

Penulis Calon
Penulis sebagai Calon Komisioner/Pimpinan BAZNAS Kabupaten Bantaeng Periode 2025-2030 sedang menikmati buku “Moderasi Islam Indonesia” karya Azyumardi Azra, CBE.

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Saya ingin mengawali tulisan ini dari sesuatu yang mungkin bisa dipandang terlalu jauh dari wilayah Butta Toa, Kabupaten Bantaeng. Makna “terlalu jauh”-nya pun bisa dilihat dari beberapa perspektif. Namun, ini bisa menjadi penegasan awal bahwa yang akan kita bahas memang sangat penting dalam kehidupan ini, apalagi jika dilihat dan dipahami dalam perspektif teologis, tanpa kecuali kohesivitas sosial-kebangsaan.

Awal dari tulisan ini bahwa ketika kita membaca karya Francis Fukuyama (2004) dan Samuel P. Huntington (2012), kita akan menemukan satu fakta sejarah kolosal dunia bahwa pada dasarnya di dunia ini pernah terjadi benturan keras antarperadaban/ideologi untuk masing-masing ingin berebut pengaruh dan kekuasaan di belahan dunia yang ada untuk wilayah yang sangat luas. Namun, merujuk pada Fukuyama akhirnya kapitalisme dan demokrasi liberal memenangkannya. Inilah yang memantik lahirnya kesimpulan ”The end of history”.

Saya memahaminya secara sederhana bahwa benturan keras antarperadaban/ideologi yang saling berebut wilayah kekuasaan dan pengaruh dari belahan dunia yang ada—yang secara ideologis bisa dilihat sebagai sesuatu yang memiliki kutub ekstrem adalah antara kapitalisme-demokrasi liberal dan sosialisme-komunisme. Dari keduanya, saya melihat secara sederhana dan masing-masing satu bagian saja yang menjadi pembeda karena pembahasan ini pun hanya sebagai pintu masuk untuk sebuah penegasan pada tema yang sebenarnya untuk konteks tulisan ini terlalu jauh.

Saya melihat ketika dua kutub esktrem tersebut dalam perspektif ideologis yang telah menimbulkan benturan peradaban di dunia, ada satu hal yang bisa menjadi solusi dan sebagai jalan tengah untuk menutupi masing-masing kekurangannya yang dipandang sangat ektrem itu. Dalam kapitalisme-demokrasi liberal, kita bisa menemukan satu ciri utama yang ekstrem yaitu pemujaan terhadap kepentingan individual tanpa batas. Sedangkan di dalam sosialisme-komunisme, kita bisa menemukan satu ciri ekstrem yaitu orientasi sosialis yang dalam konteks ini saya memaknainya menimbulkan ketidakadilan individual—sederhananya, berapa pun perbedaan pendapatan/penghasilan, maka negara akan mengatur untuk menikmati makanan dan minuman dengan jenis dan porsi yang sama.

Dua gambaran ciri di atas, itu, tentu saja sangat ektrem dan merupakan kekurangan yang harus ditutupi agar terjadi keseimbangan dan keadilan dalam kehidupan. Membaca dan menemukan kedua titik pembeda dan ciri ekstrem tersebut di atas, saya berkesimpulan bahwa dari titik inilah Islam (baca: nilai dan ajaran Islam) bisa menjadi solusi. Solusinya itu ternyata ada dalam perintah, ajaran, nilai, dan kewajiban berzakat. Artinya, Islam tetap menjunjung keadilan secara individual, tetap memberikan kebebasan berusaha kepada setiap personal umat Islam pada khususnya dan manusia pada umumnya, tetapi pada saat yang sama, Islam memerintahkan untuk berzakat.

Berzakat adalah kata kunci yang saya pandang sehingga Islam menjadi titik tengah dan solusi terbaik dari kedua benturan yang memiliki kutub ekstrem di atas. Sekali lagi, saya tegaskan zakat. Sebab, saya tidak menawarkan Islamisme dalam makna seperti pandangan Bassam Tibi yang secara ideologis Islam sebagai jalan politik-kekuasaan atau bermimpi menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Bukan ini maksud saya. Sebab, kami sebagai kader Muhammadiyah sudah memandang Negara Pancasila sebagai dar al-ahdi wa al-syahadah.

Saya menyadari bahwa—sebagaimana penegasan Ahmad Norma Permata—agama itu memiliki mekanisme institusionalisasi, secara sederhana bisa dipahami bahwa agama bisa menjadi jalan untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Meskipun demikian, saya kembali menegaskan bahwa tentu saja tidak ada mimpi dalam konteks Indonesia untuk menjadikannya sebagai negara Islam—apalagi peta sosiologis Indonesia itu majemuk dalam banyak hal. Jika ingin ajaran dan nilai Islam terasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, saya ingin cukup mengamalkan strategi Buya Ahmad Syafii Maarif yaitu “politik garam” (tidak terlihat tetapi terasa) bukan “politik gincu” (terlihat tetapi tidak terasa). Memaksimalkan zakat, bisa menjadi kristalisasi dari politik-garam tersebut, tanpa perlu mendirikan negara Islam.

Mengulas tentang zakat ada sejumlah ayat dalam al-Qur’an yang bisa menjadi basis teologis yang menegaskan arti penting, manfaat, sampai pada fungsi dari zakat. Basis teologis itu bisa dilihat dan dibaca di antaranya: QS Al-Baqarah ayat 43 dan 267; QS. At-Taubah ayat 5, 11, 34, 60, 103, dan 104; QS. Az-Zariyat ayat 19; QS. Al-Hadid ayat 7; QS. Al-Bayyinah ayat 5; dan tentu saja masih ada sejumlah ayat lainnya. Namun, dari beberapa ayat ini saja, kita bisa memahami bahwa zakat itu membersihkan, menyucikan, bahkan doa dari seorang amil zakat bisa memantik ketentraman jiwa bagi muzaki.

Dari beberapa ayat di atas pun, kita bisa menemukan bahwa ada delapan asnaf, mustahik yang berhak menerima zakat yang bersumber dari harta seorang muslim atau badan usaha yang telah memenuhi syarat tertentu, sehingga oleh Allah mewajibkan untuk sebagian diberikan kepada orang lain yang sesuai dengan persyaratan tertentu pula berdasarkan syariat Islam. Di antara ayat di atas pun, apa yang dikenal hari ini sebagai zakat profesi, itu sudah sangat terang benderang. Jadi bukan hanya zakat emas yang telah cukup nisab dan haulnya. Gambaran jelasnya pun bisa dibaca dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Membaca Renstra BAZNAS RI 2020-2025, saya pun memahami bahwa zakat masuk menjadi salah satu pilar penting dalam rencana strategis pembangunan ekonomi Islam di Indonesia yang ditetapkan pada Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI). Berdasarkan ini, dalam isu strategis pengelolaan zakat di Indonesia ditegaskan bahwa pengelolaan zakat tidak lagi diartikan sebagai bentuk pelayanan terhadap kewajiban zakat, namun lebih dari itu, pengelolaan zakat di Indonesia diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat muslim di Indonesia.

Dari beberapa penegasan di atas, saya sebagai satu dari sembilan—sebelumnya ada sepuluh nama yang dinyatakan masuk sepuluh besar, tetapi pemilik nama di urutan/peringkat tujuh, meninggal dunia—calon Komisioner/Pimpinan BAZNAS Kabupaten Bantaeng Periode 2025-2030 untuk memaksimalkan fungsi dan manfaat zakat termasuk pengelolaannya ketika ditakdirkan menjadi bagian dari satu di antara lima pimpinan/komisioner yang akan dilantik, akan mendorong atau mengusung visi yang jelas, strategis, dan terarah. Visi ini dalam pandangan Rhenald Kasali terkait konsep perubahan, kemajuan, dan kesuksesan disebutnya sebagai to see—suatu cita ideal yang sejak dini harus dilihat di alam mental untuk bisa dicapai.

Saya akan mendorong atau mengusung visi “Bantaeng Religius sebagai Ruang Strategis Literasi Zakat Menuju Masyarakat Sejahtera”. Visi ini tentu saja melewati proses perenungan dan pemikiran mendalam dengan memperhatikan berbagai nilai dan aspek yang melekat dalam kelembagaan BAZNAS, tanpa kecuali BAZNAS Kabupaten Bantaeng sebagai lembaga pemerintah nonstruktural.

Sederhananya bahwa visi ini lair dari titik temu antara: Visi Bupati-Wakil Bupati Kabupaten Bantaeng “Bantaeng Bangkit, Maju, dan Religius”; secara defacto pun, saya melihat bahwa masyarakat Bantaeng adalah masyarakat religius yang salah satu indikatornya bahwa jamaah haji antrian terlama se-Indonesia itu adalah Kabupaten Bantaeng; berikutnya Renstra BAZNAS RI 2020-2025 begitupun salah satu misi BAZNAS RI menegaskan poin [pentingnya] “Literasi zakat”.

“Bantaeng religius” dan “Literasi zakat” adalah dua hal penting yang harus saling menguatkan. Literasi zakat ibarat benih yang akan ditanamkan membutuhkan lahan subur atau ruang strategis untuk bertumbuh, berkembang, dan membuahkan hasil. Tanpa lahan yang subur atau ruang strategis, literasi zakat tidak akan bisa digerakkan secara maksimal. Kabupaten Bantaeng, baik dalam perspektif visi maupun secara defacto adalah masyarakat religius. Ini tentu saja bisa menjadi lahan subur atau ruang strategis untuk menaburkan dan menanamkan bibit utama yang dalam istilah saya disebut “Literasi zakat”. Tanpa literasi zakat, di dalam lahan subur atau ruang strategis religiusitas masyarakat Kabupaten Bantaeng, tidak mampu memberikan jaminan dan kepastian bahwa zakat dan semangat berzakat pun akan tumbuh subur dalam diri baik secara personal setiap umat Islam maupun masyarakat Islam Bantaeng.

Kita bisa melihat sedikit “kepincangan” ketika masyarakat yang disebut religious kecenderungannya hanya pada kesalehan pribadi dan mengabaikan atau kurang tampak kesalehan sosialnya. Zakat atau berzakat adalah ibadah yang wajib pula—setelah memenuhi syarat berdasarkan syariat Islam—yang berpotensi besar bukan hanya memantik kesalehan pribadi tetapi sekaligus menumbuhkan kesalehan sosial. Bahkan, sekaligus akan membangun kohesivitas sosial-kebangsaan yang mempererat sila ketiga “Persatuan Indonesia” dan mengurangi rasa ketidakadilan, kecemburuan, dan kedengkian.

Literasi zakat bisa menjadi langkah strategis dan utama untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat calon muzaki sehingga realisasi (pengumpulan) zakat yang selama ini masih jauh dari persentase potensi zakat yang ada, begitupun sumber zakat yang jenisnya bukan hanya dalam bentuk zakat profesi/penghasilan dari yang berstatus ASN, tetapi banyak sumber lain, itu bisa ditingkatkan. Sama halnya potensi zakat di Kabupaten Bantaeng, jika para calon muzaki telah memiliki pemahaman dan kesadaran yang tinggi, maka bisa dipastikan ke depan, pengumpulan zakat realisasinya bisa meningkat lebih besar daripada sebelumnya. Menumbuhkan pemahaman dan kesadaran, tentu saja kata kuncinya adalah literasi zakat.

Relevan dengan visi yang akan saya usung ini, di hadapan pewawancara pada saat wawancara tingkat panitia seleksi (pansel), saya menegaskan pula bahwa Visi Bupati-Wakil Bupati Kabupaten Bantaeng yang salah satu diksinya adalah “religius” dalam hal ini “Bantaeng religius” maka sejatinya indikator keberhasilan visi ini atau “Bantaeng religious” harus diperankan pula atau di antaranya berada dalam tanggung jawab BAZNAS Kabupaten Bantaeng melalui program dan kegiatan yang dirumuskan dan diimplementasikannya. Tentu saja, relasi BAZNAS Kabupaten Bantaeng sebagai lembaga pemerintah nonstruktural dan Pemerintah Kabupaten Bantaeng sendiri harus berada dalam bingkai sinergis, kolaboratif, konstruktif, dan produktif.

BAZNAS harus mampu membangun kolaborasi yang masif dengan berbagai pihak dan lembaga. Sama halnya untuk memaksimalkan literasi zakat, selain memaksimalkan berbagai platform media sosial, BAZNAS Kabupaten Bantaeng pun harus membangun kolaborasi yang masif dengan para penyuluh agama, mubalig, dai, ormas keagamaan untuk memaksimalkan literasi zakat agar pemahaman dan kesadaran masyarakat semakin tinggi terkait urgensi, signifikansi, dan implikasi besar dari zakat.

Yang menarik untuk memaksimalkan ruang kolaborasi lintas sektor antara BAZNAS Kabupaten Bantaeng khususnya dengan berbagai pihak dan lembaga yang ada di Kabupaten Bantaeng, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem bisa menjadi pijakan bersama. Apalagi dalam inpres ini pun, dua di antara tiga strategi kebijakan yang didorong di dalamnya, BAZNAS tanpa kecuali BAZNAS Kabupaten Bantaeng bisa mengambil peran: (1) Pengurangan beban pengeluaran masyarakat; dan (2) Peningkatan pendapatan masyarakat.

BAZNAS pun baik dilihat dari definisi, tujuan, dan fungsinya—yang bisa dibaca dari UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat—bisa sejalan dari instruksi presiden tersebut di atas. Sebab, BAZNAS di dalamnya bukan hanya dalam bentuk distribusi zakat konsumtif tetapi bisa melakukan pemberdayaan masyarakat sebagai kristalisasi dari makna pendayagunaan zakat.

BAZNAS Kabupaten Bantaeng melalui kolaborasi lintas sector bisa pula dalam bentuk konkret mendukung dan mengambil peran penting untuk mewujudkan Asta Cita Presiden-Wakil Presiden Prabowo-Gibran yang telah diturunkan dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem dengan salah satunya saja untuk distribusi zakat bagi mustahik untuk fakir dan miskin merujuk pada Data Terpadu Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) dengan melihat data pada desil 1 dan desil 2. Sehingga apa yang menjadi harapan Pemerintahan Prabowo-Gibran yang juga menjadi tanggung jawab Bupati-Wakil Bupati pula di Kabupaten tentang target graduasi khususnya kemiskinan ekstrem dan miskin bisa semakin dimaksimalkan termasuk yang diperankan oleh BAZNAS, termasuk dalam hal ini oleh BAZNAS Kabupaten Bantaeng.

Ini hanya catatan sederhana dan singkat, sehingga visi yang seharusnya dijabarkan dalam bentuk misi dan program belum tergambarkan secara terstruktur dan sistematis dalam tulisan ini. Meskipun sebenarnya, jika sahabat pembaca membaca tuntas dan mendalaminya agar ditemukan beberapa poin yang bakal akan menjadi misi dan akan digambarkan sebagai program yang konkret nantinya.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi” dengan ribuan koleksi buku, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, Redaktur Opini Khittah.co (Media online milik PW. Muhammadiyah Sulawesi Selatan).

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply