Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

BAZNAS Ruang Kolaborasi Strategis Membangun Kohesivitas Sosial dan Kesejahteraan Masyarakat

×

BAZNAS Ruang Kolaborasi Strategis Membangun Kohesivitas Sosial dan Kesejahteraan Masyarakat

Share this article
Wawancara oleh BAZNAS RI
Penulis yang lolos sepuluh besar sedang mengikuti wawancara oleh Komisioner BAZNAS RI (tengah) didampingi dari BAZNAS RI (Kiri, Perempuan) dan Komisioner BAZNAS Sulsel (Kanan)

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Dalam buku Fikih Zakat Indonesia (2015) Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin dan kawan-kawan (penulis lainnya) menegaskan bahwa “Zakat, satu-satunya ibadah dalam Islam yang disebut dalam ayat Al-Qur’an ada petugasnya, yakni amil. Hal ini, kita bisa lihat dan pahami bersama dari QS. At-Taubah [9] ayat 60.

Didin Hafidhuddin, dkk (2015) mengungkap bahwa “Penegasan amil dalam konteks zakat di dalam Al-Qur’an diungkapkan sebagai bentuk jamak (plural), yaitu “amilin”, artinya amil itu bukan orang per orang yang bekerja sendiri, tanpa keterkaitan satu sama lain. Tetapi, amilin harus dilihat dan dipahami sebagai kumpulan orang dan kolektivitas yamg memiliki legalitas, terikat dalam institusi dan sistem, serta wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada pemerintah dan masyarakat”.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat—yang  telah mencabut undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999—yang salah satu poin substansialnya sebagai dasar hukum pendirian BAZNAS, BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota, tentu saja merupakan bagian penguatan, kristalisasi, dan wujud nyata dari perspektif hukum positif terkait atau yang relevan dengan pandangan KH. Didin Hafidhuddin, dkk di atas.

Islam yang dalam salah satu tujuan syariatnya adalah mengupayakan dan memelihara kesejahteraan hidup manusia lahir dan batin di dunia dan di akhirat, menurut KH. Didin Hafidhuddin, dkk, ada banyak ayat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw yang berbicara masalah kesejahteraan hidup manusia dikaitkan dengan perintah syariah, misalnya perintah untuk mencari rezeki yang halal, tentu saja termasuk perintah menunaikan zakat. BAZNAS dalam pandangan saya berdasarkan sejumlah dalil dan perspektif yang saya pahami memperkuat upaya dan langkah memelihara kesejahteraan hidup manusia lahir dan batin di dunia dan akhirat.

Zakat bagi seorang muzaki (seorang muslim atau badan usaha yang karena syarat tertentu berdasarkan syariat Islam diwajibkan oleh Allah untuk mengeluarkan sebagian hartanya) tentu saja tidak hanya dipandang sebagai upaya memenuhi atau menggugurkan kewajiban. Ada sejumlah manfaat, baik yang bersifat teologis-transendental, bersifat psikologis, sosial, dan ekonomi dalam makna kemakmuran dan kesejahteraan.

Zakat pun oleh sejumlah ulama menilai bahwa dalam perspektif kemanusiaan, zakat mengandung hikmah dan peran besar bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia dan penguatan solidaritas sosial secara menyeluruh. Sebagaimana yang saya tegaskan di dalam tulisan saya sebelumnya, Bantaeng Religius sebagai Ruang Strategis Literasi Zakat Menuju Masyarakat Sejahtera, zakat menjadi salah satu pilar penting dalam rencana strategis pembangunan ekonomi Islam di Indonesia yang ditetapkan pada Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI). Dan berdasarkan ini, dalam isu strategis pengelolaan zakat di Indonesia (dalam dokumen Renstra BAZNAS RI 2020-2025) ditegaskan bahwa pengelolaan zakat tidak lagi diartikan sebagai bentuk pelayanan terhadap kewajiban zakat, namun lebih dari itu, pengelolaan zakat di Indonesia diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat muslim di Indonesia.

Dalam rumusan Keputusan Musyawarah Nasional XXXI Tarjih Muhammadiyah tentang Fikih Zakat Kontemporer pun pada bagian “Pentingnya Reformasi Manajemen Zakat” ditegaskan bahwa “Zakat sebagai sumber dana sosial di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar baik dari sisi jumlah dana maupun dampak sosial ekonomi. Umat Islam yang jumlahnya sangat besar merupakan potensi sumber pendanaan yang belum tergarap secara maksimal. Sedangkan tingginya angka kemiskinan yang mencapai 25,4 juta orang atau sebesar 9,41% merupakan sasaran utama pentasarufan zakat”.

Beberapa poin penegasan di atas termasuk ada dua dari sembilan misi yang telah dirumuskan dan ditetapkan oleh BAZNAS RI yang memperkuat kesimpulan saya bahwa BAZNAS bisa menjadi ruang kolaborasi strategis membangun kohesivitas sosial dan kesejahteraan masyarakat, itu memiliki pijakan yang jelas. Dua dari sembilan misi BAZNAS RI yang saya maksud adalah: (1) Membangun kemitraan antara muzaki dan mustahik dengan semangat tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan; dan (2) Meningkatkan sinergi dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan terkait untuk pembangunan zakat nasional. Keduanya ini pun merupakan turunan dari visi BAZNAS RI—yang relevan pula dengan substansi tema yang saya dorong melalui tulisan ini—“Menjadi lembaga utama menyejahterakan umat”.

BAZNAS tentu saja termasuk BAZNAS Kabupaten Bantaeng berdasarkan undang-undang pengelolaan zakat sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas adalah lembaga pemerintah nonstruktural yang diberikan wewenang dalam pengelolaan zakat. Selain BAZNAS dengan dasar regulasi yang sama dan merupakan OPZ (baca: organisasi pengelola zakat) ada pula LAZ (baca: Lembaga amil zakat) yang dibentuk oleh masyarakat yang telah mendapat izin dari BAZNAS setelah memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan dalam undang-undang zakat.

Lima sila dalam Pancasila dan dua di antaranya harus bergerak sinergi yaitu sila ketiga “Persatuan Indonesia” dan sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kedua sila ini dipandang harus saling menguatkan dan sinergi ibarat makhluk hidup harus mengalami simbiosis mutualisme. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dipandang akan gagal jika tidak dilandasi dengan persatuan Indonesia atau rasa persatuan Indonesia dalam makna substansial dan mendalam. Begitupun sebaliknya, persatuan Indonesia akan mustahil terus tampak dan terasa utuh tanpa adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau singkatnya “rasa keadilan”.

Dalam kajian Pancasila, dimaknai secara progresif bahwa inilah alasan sehingga sila keempat yang secara substansial menggambarkan kehidupan demokrasi harus diapit oleh sila ketiga dan sila kelima. Jika satu di antaranya, sila ketiga atau sila kelima—tanpa mengabaikan sila pertama dan kedua—mengalami kepincangan, kelumpuhan, dan kebutaan tentu saja sila keempat tidak bisa berjalan dengan baik dan utuh.

Relevan dengan gambaran atau perspektif beberapa sila dalam Pancasila yang diulas di atas, dalam konteks tulisan ini ketika menegaskan tentang “Kohesivitas sosial” dan “Kesejahteraan masyarakat” yang diawali melalui kolaborasi tanpa syarat yang kaku dan berorientasi kepentingan sepihak, tentu saja maknanya bisa dipandang selaras bahwa keduanya harus dilihat sebagai dua sisi mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Dan, BAZNAS, tanpa kecuali BAZNAS Kabupaten Bantaeng bisa menjadi ruang strategis untuk mewujudkannya.

BAZNAS yang menjalankan fungsi pengelolaan zakat tentu saja harus mampu melakukan sejumlah kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian/pengendalian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Ini bertujuan, selain untuk meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat, juga bertujuan untuk meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Poin ini bisa dilihat dalam Pasal 1 ayat (1),Pasal 3 ayat (1) dan (2), dan Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, dan c  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Gambaran fungsi dan tujuan di atas, sekaligus di antaranya bisa bermakna sebagai definisi dari “Pengelolaan zakat” tentu saja membutuhkan keterlibatan banyak pihak apalagi dalam upaya memaksimalkan pengumpulan yang selanjutnya berimplikasi positif terhadap optimalisasi distribusi dan pendayagunaan zakat. Keterlibatan banyak pihak yang dimaksud tentunya harus dipandang sebagai kolaborasi yang memiliki basis nilai luhur dan teologis yang utuh dan kukuh dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia: gotong royong dan ta’awun.

Kolaborasi akan berjalan kuat dan strategis ketika memiliki orientasi yang jelas dan merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan bukan hanya secara personal dan sepihak tetapi secara kolektif, sosial, masyarakat, dan bangsa. Apalagi ketika itu bukan hanya berorientasi duniawi, tetapi juga akhirat. Kohesivitas sosial dan kesejahteraan masyarakat adalah dua orientasi yang bisa dipandang akan menguatkan kolaborasi apalagi keduanya ini memang adalah merupakan potensi yang akan tumbuh di balik pengelolaan zakat yang optimal dan berjalan sesuai syariat Islam.

Wawancara BAZNAS RI
Penulis mengikuti wawancara

Orientasi terhadap kohesivitas sosial dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi spirit kolaborasi dalam kelembagaan BAZNAS itu bisa dipandang sebagai sumber cahaya, sumber energi dalam perspektif hukum heliotropic yang membuat organisasi atau institusi (baca: BAZNAS,tanpa kecuali BAZNAS Kabupaten Bantaeng) akan semakin berkembang. Dan, keduanya pun bisa bekerja dan bergerak ibarat energi fusi yang bersumber dari dua sumber energi positif yang dahsyat kemudian menyatu, tentu saja akan menghasilkan pula energi dahsyat yang akan menggerakkan secara maksimal kolaborasi yang ada termasuk BAZNAS itu sendiri.

Manusia tanpa kecuali umat Islam yang bukan hanya sebagai makhluk individual tetapi juga sebagai makhluk sosial yang dalam upaya mencapai tujuan-tujuan dan harapan-harapannya di balik keterbatasan potensi yang dimilikinya tentu saja membutuhkan bantuan orang lain. Atas dasar ini, kolaborasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya termasuk yang berstatus sebagai muzaki dan mustahik tentu saja sangat dibutuhkan. Kolaborasi itu akan langgeng dan menciptakan rasa keadilan dan bergerak tanpa batas waktu dan ruang, ketika sudah terciptakan ikatan sosial, kerekatan kehidupan bersama, yang dimaknai dari kohesivitas sosial. Apalagi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, ketika “Persatuan Indonesia” dipandang penting maka kohesivitas sosial bisa menjadi dasar, basis nilai yang kuat dan utuh.

Penyusun Fikih Zakat Kontemporer dari Tim Tarjih Muhammadiyah memandang bahwa Agama Islam itu adalah Risalah rahmat bagi seluruh alam, rahmatan (rahmah) li al-‘alamin. Rahmah menurut mereka adalah riqqah taqtadi al-ihsan ila al-marhum, perasaan lembut (cinta) yang mendorong untuk memberikan kebaikan nyata kepada yang dikasihi. Dan, kebaikan nyata di sini adalah hidup yang baik yang dalam QS. al-Nahl [16] ayat 97 disebut hayah tayyibah.

Sedangkan menurut tim Tarjih Muhammadiyah sebagai tim penyusun Fikih Zakat Kontemporer menjelaskan tiga criteria hidup baik, yaitu: (1) lahum ajruhum ‘inda rabbihim (sejahtera sesejahtera-sejahteranya/al-rafahiyyah kulluha); (2) walaa kahufun ‘alaihim (damai sedamai-damainya/al-salam kulluha); dan (3) walaa hum yahzanuun (bahagia sebahagia-bahagianya/al sa’adah kulluha) di dunia dan diakhirat.

Tiga criteria hidup baik di atas, yang potensinya bisa pula ditumbuhkan dengan memaksimalkan BAZNAS sebagai lembaga yang berwenang mengelola zakat tentu saja bukan hanya menguatkan kolaborasi tetapi dampak atau implikasi positif darinya, yaitu kohesivitas sosial dan kesejahteraan masyarakat bisa semakin tumbuh dan memancarkan energi dahsyat, yang ibarat salju bergelinding, semakin bergelinding (baca: bergerak) semakin membesar, dan tentu saja dalam konteks ini semakin terasa manfaatnya.

Kolaborasi strategis ini yang akan bermuara pada kohesivitas sosial dan kesejahteraan masyarakat bukan hanya lahir atau terpantik dari makna prosedur, teknis, dan SOP yang bernama kolaborasi itu, tetapi di dalamnya pun ada dimensi teologis-transendental dan psikologis yang menjadi faktor atau penyebab utamanya. Saya menemukan ini, dari penegasan QS. At-Taubah [9] ayat 103, yang beberapa poin substansial di dalamnya ditegaskan zakat itu membersihkan, menyucikan, bahkan amil dan mustahik melalui doanya yang ditegaskan oleh Allah bisa menumbuhkan ketentraman jiwa bagi muzaki. Jiwa-jiwa tentram, tentu saja menumbuhkan rasa kasih saya, kebersamaan, kepedulian dengan dampak lanjutannya bisa (minimal) berupa kohesivitas sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Adapun bentuk kolaborasi yang dilakukan sebagaimana bisa dibaca bentuk penegasan dan gambaran singkatnya di misi BAZNAS RI—yang telah saya sebutkan di atas—untuk konteks Kabupaten Bantaeng, tentu saja BAZNAS Kabupaten Bantaeng bisa memaksimalkan pembentukan UPZ di 67 Desa/Kelurahan yang bisa membantu melakukan pemetaan potensi dan pengumpulan zakat. Kolaborasi dengan pemerintah kabupaten sendiri dengan berbagai perangkatnya tentu saja sudah harga mati. pelibatan jajaran FORKOPIMDA, kolaborasi lintas ormas, para penyuluh agama, dai, dan mubalig, serta lembaga pendidikan negeri dan swasta, termasuk perguruan tinggi adalah langkah-langkah yang akan bermuara pada kohesivitas sosial dan kesejahteraan masyarakat. Optimalisasi kolaborasi ini pun, bisa disuarakan dan/atau dikampanyekan dan memaksimalkan teknologi digital seperti berbagai platform media sosial.

Ini sedikit catatan, tentu saja masih banyak cakupan yang bisa digali dan diulas untuk dipahami, tetapi mungkin bisa diungkapkan pada tulisan-tulisan berikutnya.

 

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi” dengan ribuan koleksi buku, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, Redaktur Opini Khittah.co (Media online milik PW. Muhammadiyah Sulawesi Selatan).

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply