Oleh: Daniel Mohammad Rosyid*
Internet telah mengurangi peran sekolah dan pandemi ini menguranginya lebih jauh. Ini sejatinya baik bagi pendidikan yang selama ini dikerdilkan oleh persekolahan. Selama 50 tahun terakhir lebih, persekolahan massal paksa telah menjadi instrumen teknokratik untuk mengerdilkan pendidikan menjadi sekedar pencetak buruh yang cukup trampil menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk bekerja bagi kepentingan pemilik modal.
Pengerdilan pendidikan menjadi persekolahan paksa massal itu harus segera diakhiri. Sir Ken Robinson bahkan mengatakan bahwa persekolahan adalah lembaga yang paling bertanggungjawab atas krisis SDM selama paling tidak setengah abad terakhir ini. Obsesi persekolahan pada penyeragaman luas melalui standard (oleh otoritas disebut mutu), pemberhalaan sains dan matematika, telah menelantarkan banyak potensi warga belajar, gagal memberi pengalaman belajar yang bermakna, dan menelantarkan potensi agromaritim serta mendorong urbanisasi besar-besaran.
Internet dan pandemi memberi pelajaran bahwa warga muda harus tetap belajar walaupun tidak di sekolah. Bahkan belajar di rumah, dan di masyarakat bisa memberi pengalaman belajar yang jauh lebih kaya, menarik dan menantang bagi warga muda itu. Neurosains sudah mengatakan bahwa kelas adalah tempat terburuk untuk belajar, terutama bagi laki-laki. Ruang terbuka, alam sekitar dan masyarakat memberi pengalaman 3D sebagai stimulan besar dalam belajar sebagai proses memaknai pengalaman.
Melalui teknologi, belajar bisa dirancang lebih customized sesuai bakat, minat, aspirasi dan kebutuhan belajar murid yang beragam. Di sini peran guru berubah bukan sekedar sekrup sekolah yang disibukkan oleh tugas-tugas administrasi yang rumit, dan memakan waktu namun tidak berpengaruh pada kinerja belajar murid. Kinerja belajar murid sering tidak ditentukan oleh kelengkapan sarana belajar di sekolah, atau kurikulum, tapi lebih ditentukan oleh kesiapan murid dan guru.
Jikapun pendidikan harus dilihat sebagai jasa, maka pendidikan dihasilkan oleh sebuah proses prosumsi di mana kehadiran murid adalah keniscayaan. Gedung megah, dan banyak profesor hanya menjadi gudang dan satpam jika tidak ada satu muridpun yang hadir. Banyak sekolah telah menjadi sekedar tempat guru mengajar, tapi bukan tempat murid belajar karena banyak guru gagal untuk membantu murid memaknai pengalaman mereka di luar sekolah.
Berguru bagi murid memerlukan kadar interaksi yang berbeda dengan sekedar bersekolah. Berguru juga membebaskan murid dari formalisme persekolahan yang semakin birokratik dan mahal. Banyak waktu di sekolah yang terbuang oleh berbagai birokrasi dan tetek bengek sekolah. Guru perlu cukup waktu untuk memastikan bahwa interaksinya dengan murid lebih intens, impromptu, agar relevan secara personal, spasial dan temporal. Proses belajar murid menjadi lebih inside-out, and demand-driven. Kemajuan belajar setiap murid berlangsung sesuai kemampuannya masing-masing on daily basis, tidak dibanding-bandingkan dengan murid lainnya untuk memenuhi standard.
Semua spektrum bakat dan minat warga belajar di beri tempat yang sama : bukan hanya Science, Technology, Engineering and Mathematics (STEM), tapi juga bahasa, sejarah, seni, dan olah raga. Kompetensi akademik dan vokasi saling melengkapi. Tidak semua warga harus kuliah untuk berhasil dalam hidup. Jika keluarga dan masyarakat bersinergi untuk memberi teladan adab dan akhlaq, warga muda akan mandiri, bertanggungjawab, sehat dan produktif pada usia 18 tahun.
Dengan melibatkan keluarga dan masyarakat, kesempatan belajar justru lebih luas, lebih murah, sekaligus memberi pengalaman belajar lebih kaya dari pada seharian di sekolah bertahun-tahun. Sekolah adalah lingkungan buatan yang memberikan pengalaman belajar terbatas karena kurang beragam, aman dan nyaman. Kini yang lebih penting adalah belajar dan berguru. Bersekolah hanya melengkapi.
* Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Sumber ilustrasi: CNN Indonesia