Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Mencermati kehidupan hari ini, kita akan menemukan realitas bahwa manusia kini dijangkiti oleh satu virus “tidak sabar”. Ketika makna sabar diperluas—sebagaimana dilakukan oleh Arvan Pradiansyah, dengan menawarkan 7 makna sabar—bukan sekadar “mengurut dada”, maka realitas tersebut semakin terlihat dan dirasakan sebagai satu fenomena yang memprihatinkan.
Jika makna sabar dikontekstualisasikan, berbeda dengan konteks yang dihadapi oleh Nabi Ayyub as, maka banyak hal yang terjadi dan bermuara pada lembah keburukan berawal dari sikap dan perilaku yang dimaknai tidak sabar. Kita menemukan hari ini masih banyak orang-orang yang tidak sabar. Post truth, hoax, tingkat korupsi yang tinggi, politik oligarki, bahkan pada persoalan perselingkuhan dan pelakor pada dasarnya merefleksikan dan bermula pada sikap dan perilaku tidak sabar.
Minimal dari dassr pemikiran ini, urgensi kesabaran harus di internalisasi (dipahami dan diresaspi secara mendalam) bahkan dieksternalisasi (diimplementasikan) dalam realitas empirik, bukan hanya lingkup personalitas namun dalam ruang sosial sampai mencakup lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara. Mata air keteladanan untuk menemukan sosok teladan yang luar biasa ada pada diri Nabi Ayyub.
Nabi Ayyub sebagai mata air keteladanan dalam hal kesabaran telah diabadikan dalam Al-Qur’an melalui QS. Shaad [38]: 44, “Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Allah)”. Nabi Ayyub, pada satu fase kehidupannya, selain sebagai utusan Tuhan juga memiliki kelimpahan ekonomi. Eko Prasetyo menegaskan kehidupan Ayyub ini, “mirip dengan tabiat kelas menengah masa kini: menyukai ibadah, memenuhi diri dengan simbol agama dan gemar mengucapkan semua kata yang ber-idiom agama”.
Untuk mentransmisikan nilai kesabaran dan kisah keteladanan Ayyub, saya banyak terinspirasi dari buku Eko Prasetyo, Kitab Pembebasan: Tafsir Progresif atas Kisah-Kisah dalam Qur’an (2013), pada sub judul “Ayyub, Kesabaran yang Militan” (hlm. 93-100). Dan buku Arvan Pradiansya, The 7 Laws of Happiness: Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia (2010). Melalui kedua buku ini, saya melakukan perjumpaan imajiner dengan kedua penulis buku tersebut, mengkaji, mengelaborasi lebih dalam tentang kesabaran.
Nabi Ayyub dalam fase kehidupannya, menghadapi cobaan demi cobaan yang sangat berat, dan oleh Eko ini adalah misi iblis yang tidak mengenal kata final. Bermula, kemapanan ekonomi Ayyub meluncur jatuh dalam lembah kemiskinan. Setelah cobaan kemiskinan, anak-anak Ayyub yang dicintainya terbunuh. Cobaan berikutnya, Ayyub dikenai penyakit yang mengerikan, bahkan istrinya pun tidak betah lagi menemaninya, karena baunya yang sangat menyengat.
Cobaan maha berat yang dihadapi oleh Ayyub, tidak mampu membuat dirinya terjerumus dalam keputusasaan, sebaliknya iblis semakin frustasi melihat keimanan nabi Ayyub yang tetap kokoh. Sikap dan perilaku Ayyub ini, sebagaimana eko meminjam dari Che Guevara menyebutnya “kesabaran yang militan”.
Eko mengulas lebih dalam tentang perspektif “kesabaran yang militan”-nya Guevara yaitu, “level kesabaran yang membuat seseorang mampu menahan semua bentuk tekanan. Bukan hanya mampu menahan melainkan juga yakin atas tindakannya. Karenanya kesabaran bisa berubah menjadi keberanian”.
Dari buku Arvan, kita akan memahami bahwa sabar bagian daripada intrapersonal relation. Sabar adalah kunci segala-galanya, kunci kesuksesan, kunci kebahagiaan serta inti dan esensi menikmati hidup. Al-Qur’an pun menegaskan satu urgensi kesabaran melalui QS. Al-Baqarah [2]: 153, “…sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Ada hal menarik yang ditawarkan oleh Arvan terkait tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 153 tersebut, yang menafsirkan secara berbeda. Menurutnya, “yang terjadi bukanlah orang perlu mengembangkan sikap sabar terlebih dahulu baru kemudian Tuhan bersedia untuk berada bersama-samanya, (tetapi) seseorang justru harus mengakses kekuatan Tuhan terlebih dahulu agar ia dapat bersabar”. Arvan pun menegaskan bahwa konsep ini penting, karena bersabar itu sebenarnya bertentangan dengan kecenderungan sebagai manusia.
Membaca ulasan menarik kisah keteladanan Ayyub dari Eko yang mengedepankan tafsir progresif dan lintas perspektif keilmuan, saya menemukan bahwa pandangan Arvan yang menawarkan tafsir berbeda di atas, itu termanifestasi dengan baik dalam diri nabi Ayyub. Meskipun antara Eko dan Arvan tidak saling merujuk referensi atas karya mereka masing-masing, namun saya menemukan perspektif Arvan menemukan pijakan teoritiknya dari ulasan menarik Eko mengenai kesabaran Ayyub: Ayyub telah mengakses kekuatan Allah terlebih dahulu, sehingga dirinya memiliki “kesabaran yang militan”.
Dengan kesabaran Ayyub, sebagaimana ditegaskan oleh Eko, dirinya mampu mematahkan mitos iblis yang selalu yakin “realitas ekonomi akan menundukkan kesadaran”, yang sebagaimana Eko meminjam perspektif dan istilah dari Karl Marx dinamai “kesadaran material”. Ayyub telah mengakses dimensi keimanan yang kokoh sehingga dirinya lolos dari godaan kemiskinan. Begitu pun godaan-godaan lainnya.
Ayyub—dan kita pun seharusnya mampu mengakses—rasa cinta akan keimanan. Eko menegaskan: Pertama, Keimanan bisa melumat apapun. Iman yang bersimpuh dengan semangat cinta akan mampu meremuk segala bentuk ujian; Kedua, di balik keimanan itu ada harapan dan sikap optimis. Nabi Ayyub sadar bahwa tidak ada ujian di luar batas kemampuan manusia. Allah mustahil untuk memberi ujian tanpa jalan keluar.
Ketiga, Ayyub menunjukkan kepada kita semua bahwa manusia bukan hewan buruan yang bisa diringkas dengan tubuh yang segar, sehat dan kuat. Taring keberanian manusia bukan terletak pada kebugaran dan keindahan tubuhnya; Keempat, Ayyub pun seakan mematahkan mitos modernitas yang selalu membawa tubuh dalam polesan bahkan dasar identitas. Ayyub meletakkan tubuh hanya bagian luar yang tak pernah mampu menundukkan keyakinan; Dan kelima, dari Ayyub kita akan memahami bahwa ada sesuatu yang selalu menjadi kekuatan unggul manusia, yaitu: kebaikan, keimanan dan tidak mudah untuk menyerah.
Agar fungsional kesabaran mampu menemukan ruang kontekstualisasinya terutama dalam kehidupan kekinian, maka kita pun harus memahami dengan baik tujuh makna sabar yang ditawarkan oleh Arvan. Pertama, sabar berarti menunda respon anda. Dalam pemahaman saya, orang-orang sabar dalam menghadapi godaan selain dengan menyadari godaan tersebut, termasuk berupaya untuk menunda respon. Bentuk sabar dengan menunda respon, yakin saja, post truth (yang ditandai dengan menggunakan hoax untuk menyalakan emosi dan sentimen publik) dan hoax, tidak akan pernah terjadi. Sama halnya dengan korupsi.
Kedua, sabar berarti menyatukan badan dan pikiran di satu tempat. Kita bisa menikmati hidup, ketika kita mampu menyatukan badan dan pikiran dalam satu tempat. Sama halnya shalat akan semakin khusyuk ketika pada saat shalat badan dan pikiran berada dalam satu tempat. Dari makna kedua sabar ini, Arvan pun menegaskan bahwa idealnya manusia itu adalah human being, sehingga di mana pun berada akan hadir sepenuh jiwa. Bukan hanya menjadi human doing (gila kerja) dan human having (hidup hanya mengumpulkan harta benda).
Ketiga, sabar menunjukkan kata kerja aktif bukan pasif. Sabar bukan berarti tidak berbuat apa-apa, pasif atau diam. Sabar adalah menuntut optimalisasi ikhtiar. Ini relevan dengan yang dijelaskan oleh Guevara (dalam Eko) bahwa “kesabaran bisa berubah menjadi keberanian”. Dari hal ini pula dipahami bahwa sabar adalah “perjalanan awal” sedangkan pasrah adalah “perjalanan penutup”.
Keempat, Sabar berarti melakukan satu hal di satu waktu. Dalam konteks kehidupan hari ini, yang ditunjang dengan revolusi perkembangan teknologi digital dan diperkuat oleh paradigma speed is power, sehingga kehidupan bagaikan “dunia yang dilipat” maupun “dunia yang berlari”, orang-orang identik dengan multi tasking. Melakukan pekerjaan lebih dari satu jenis dalam satu waktu.
Makna keempat kesabaran ini, untuk konteks kehidupan yang disebut pula mengedepankan paradigma faster, cheaper, and matter ini terasa sulit dilakukan. Namun kita perlu menyadari sebagaimana konsep Zen (dalam Arvan) yang disebutnya mindfulness. “Mindfulness adalah sebuah konsep terpenting dalam Zen yang intinya mencurahkan perhatian sepenuhnya pada apa pun yang sedang kita lakukan, menyelami perasaan tersebut dan meresapinya dalam-dalam”. Hal ini bisa berkorelasi positif sebagai human being.
Kelima, sabar adalah menikmati proses tanpa terganggu pada hasil akhirnya. Jika kesabaran jenis kelima ini mampu termanifestasikan dalam kehidupan, maka saya yakin kehidupan ini penuh dan dekat dengan kebahagiaan, serta jauh dari kekecewaan dan perselisihan. Dan bagi yang mampu melakukannya, jiwanya akan senantiasa diselimuti rasa syukur, karena sudah pasti proses yang dilakukan akan senantiasa memberikan kenikmatan dan rasa senang. Arvan pun menegaskan “menikmati proses sebenarnya adalah esensi dan hakikat kehidupan itu sendiri”. Secara psikologis kita bisa mengonfirmasi pada diri masing-masing, satu contoh saja, mengapa kita seringkali senang menonton sebuah film yang sama secara berulang-ulang, padahal kita sudah mengetahui alur ceritanya? Karena kita menikmati prosesnya.
Keenam, sabar berarti menyesuaikan tempo kita dengan tempo orang lain. Dalam lingkup dunia kerja, sepertinya kesabaran ini yang seringkali sulit dilakukan oleh yang berstatus sebagai pimpinan. Tidak sedikit pimpinan atau manager dalam perusahaan tertentu, yang ingin kemampuan berpikir, kecepatan kerja yang dimilikinya untuk diikuti oleh bawahannya. Begitu pun ada orang tua yang seringkali tidak mampu menyesuaikan diri, semua keinginannya harus segera mampu dilakukan oleh anak-anaknya, dan tidak sedikit orang tua mengedepankan sikap memaksa bahkan mengancam.
Ketujuh, sabar berarti hidup selaras dengan hukum alam. Salah satu hukum alam yang harus disadari bahwa hakikat kehidupan ini adalah berproses. Hal ini terbukti dengan, alam semesta ini diciptakan dalam waktu 6 hari. Padahal jika Allah berkehendak, bisa dalam sekejap mata, alam ini langsung tercipta. Dari makna sabar keempat ini, relevan pula dengan pemaknaan kesabaran itu sendiri bahwa proses mendapatkan kesabaran agar Allah bersama dengan orang-orang sabar, tidak bisa dimaknai bersifat instan. Terlebih dahulu kita harus mampu mengakses kekuatan Allah, melalui berbagai ikhtiar agar kesabaran yang menjadi kunci utama—sebagaimana perspektif Arvan—kebahagiaan bisa berfungsi secara fungsional.
Selain itu makna sabar yang ketujuh ini, bisa pula menjadi modal teologis dan psikologis untuk mencegah tindakan korupsi, bahwa untuk menjadi kaya, memiliki harta yang melimpah tidak bisa dengan cara instan apatah lagi dengan cara mengorupsi kekayaan dan uang negara. Korupsi selain bertentangan dengan makna sabar yang ketujuh ini, termasuk jauh dari makna human being, tetapi lebih dekat dari human having (menjadi manusia hanya pengumpul harta).
* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.