Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Beriman dengan Hijau

×

Beriman dengan Hijau

Share this article

Oleh: Mansurni Abadi*

Tulisan ini bukan hendak mengajak anda menjadi ahli parti tertentu yang identik dengan warna hijau, tetapi mendorong kecaknaan kita pada persekitaran yang hijau sebagai tanggung jawab orang beriman. Tak kisahlah agama anda apa, kita memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk merawat alam sekitar ini dengan lebih bijak. Kalau kata Kerismas, dalam novelnya bertajuk “Saudara Besar dari Kuala Lumpur” itu menuliskan kalau  agama harus menjadi asas bagi kemajuan bangsa, dan bagi sahaya  ekologi harus termasuk kedalam kemajuan itu sendiri.

Memahami kemajuan jangan terjebak pada pencapaian ekonomi yang sekejap yang eksplotatif oleh kerana itu kita pun patut menempatkan logika ekologi yang selalu memikirkan hari ini dan esok.

Kita juga harus lepas dari retorik menempatkan terma  hijau pada ideologi pembangunan sekarang yang kita sebutan sebagai kapitalisme hijau, kerana telah banyak kajian mengatakan jika kedua terma ini bercanggah. Untuk mencapai pemikiran seperti ini butuh dorongan spiritual dalam ehwal ini tentu sahaja agama memainkan peran yang amat sangat penting.

Apatahlagi, kalau kita masih meyakini agama yang kita anut tak kisahlah agama apapun itu sebagai solusi untuk memperbaiki dunia.  Oleh kerana itu, beriman jangan hanya dimaknakan pada yang spiritual ke atas sahaja tetapi spiritual kepada sesama manusia mahupun ciptaannya.

Menagamakan ekologi

Pertemuan antara agama dan ekologi kemudian membentuk eko-teologi, satu bidang kajian yang menghubungkaitkan antara ajaran agama dan ekologi.

Ada satu buku yang menarik tentang ini dari Anne Marie Dalton dan Hendry C. Simmons bertajuk “Ecotheology and the Practice of Hope”, kesimpulan dari buku yang berkonteks Kristian ini menerangkan tentang kekuatan teks kitab suci harus dapat dimaknai melampaui hanya sebatas ingin mencari sebanyak-banyaknya pengikut tetapi menjawab permasalahan sosial termasuk ekologi didalamnya.

Konsep daripada ekologi sendiri secara pengetahuan sebetulnya jauh dari spiritual, kalau menurut Anne dan Hendry kerana konsep dari ekologi dibangun pada akhir abadn ke 19 dengan pandangan Newtonian, yang memfokuskan pada orientasi dunia material.  Bagi Anne dan Dalton, itulah kenapa pengkajian pada bidang ekologi secara Am-nya memandang manusia hanyalah organisme biologis yang menjadi bahagian dari ekosistem biologi yang lebih besar

Tiga fungsi eko-teologi

Selama mendalami Antropologi dan Sosiologi, beberapa kali saya diajak berkunjung ke desa-desa adat. Kunjungan saya yang hanya menemani para peneliti yang mayoritas bule dan pakle  itu di satu sisi selain mengisi medsos, saya juga membuka membuka cakrawala tentang pertalian antara ekologi, agama, dan pengetahuan budaya lokal yang kemudian mendorong saya menerokai bidang eko-teologi.

Seperti pada awal tahun 2019 Saya berkunjung ke desa Adat Panglipuran, di wilayah Bangli, Bali awal tahun 2019 yang dinobatkan sebagai desa terbersih di dunia itu.  Dalam budaya Bali misalnya ada ajaran tentang Tri Hita Karana tentang trisula hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan manusia dengan manusia.

Dan ketika saya berkunjung  ke desa adat di Thailand Utara dan beberapa desa di pantai timur Malaysia, saya pun mendapati adanya kesadaran untuk mempertahankan ekosistem ekologis yang bukan saja bersumber dari budaya tapi juga spirit agama.

Buat saya eko-teologi tidak hanya membuka diskursus akademik tetapi juga menambah khazanah strategi untuk menyelamatkan lingkungan. Bagi aku Eko-teologi dapat difungsikan untuk menyemai harapan membaiki ekologis, menyahkan kebiadan ekologi kerana agama selalu menekankan pada pembaikan akhlak manusia, dan meenguatkan perjuangan ekologis.

 

* Mahasiswa Institute Kajian Etnik UKM dan Kader IMM Malaysia.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply