Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Berselancar di Atas Badai Kehidupan

×

Berselancar di Atas Badai Kehidupan

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari apa yang dimaknai sebagai “badai”, baik di darat, udara maupun di laut. Secara harfiah dan substansial term “badai” memiliki hubungan dengan “angin”, atau minimal ikut mempengaruhi. Merujuk pada judul tulisan ini, saya yakin pembaca secara psikologis, persepsi dan imajinasinya akan tertuju pada badai yang terjadi di laut.

Dalam kondisi tertentu dan alami, pada hakikatnya kita tidak bisa menghentikan badai. Selain itu secara manusiawi akan diselimuti dengan “kekhawatiran” dan “ketakutan” serta pada saat yang sama akan mengalami kebuntuan untuk menemukan solusi.

Selain menjalani kehidupan secara umum, manusia secara personal atau diri kita dalam perjalanan menggapai cita-cita atau harapan, seringkali berhadapan dengan apa yang dimaknai sebagai “badai”. Dan tidak sedikit di antaranya yang langsung menyerah dan bahkan pasrah untuk segera tergilas atau terseret di dalamnya.

Imajinasi dan apa yang dimaknai sebagai badai adalah ketika dalam perjalanan atau perjuangan menggapai cita-cita atau harapan, selangkah lagi akan sampai pada titik finish, namun suatu rintangan hadir menghentikan langkah. Dan sebuah persepsi serta merta akan tertuju pada diri baik secara internal (dari dalam diri sendiri) maupun eksternal (dari orang lain yang menyaksikan, mengetahui dan merasakan) akan berakhir pada satu kondisi psikologis dan sosial bahkan akan menjadi realitas empirik bahwa dirinya telah “gagal”.

Di antara orang-orang yang menghadapi badai sampai titik “gagal”, ada pula orang-orang yang masih mampu berselancar di atas badai. Mirip dengan film Soul Surfer yang berkisah tentang masa remaja peselancar Bethany Hamilton atas serangan ikan Hiu dan terpaksa merelakan kehilangan satu lengannya, dan pergumulan hidupnya setelah peristiwa itu. Dan dalam perjalanan berikutnya Hamilton masih mampu membuktikan dirinya sebagai peselancar yang terbaik.

Secara sederhana hal ini bisa diinterpretasi dalam sebuah slogan atau prinsip hidup “Mungkin kita tidak bisa menghentikan badai, tetapi Insya Allah kita bisa berselancar di atas badai”. Baik sebagai prinsip maupun modal psikologis dalam mengarungi kehidupan, khususnya menggapai cita-cita, bukanlah persoalan satu hari dan bukan persoalan skill dan intelektualitas semata.

Saya yakin, di antara pembaca sangat mengharapkan sebuah kemampuan yang dimaknai “Berselancar di atas badai”. Sebagaimana telah saya jelaskan, hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mendapatkan, memiliki dan mengimplementasikannya dalam kehidupan empirik. Dibutuhkan proses yang lama, pergumulan dan pergulatan pengalaman dan teori, kekhusyufan ibadah dan do’a dalam dimensi teologis dan transedental, serta proses internalisasi nilai dan inner journey ke dalam diri.

Saya—dan mungkin di antara pembaca—pernah mengalami apa yang dimaknai dengan “badai”. Namun dengan modal intelektualitas, psikologis, sosial, teologis, dan ideologis saya berselancar di atasnya. Semua modal ini bukanlah modal yang bisa diinternalisasi dan dimiliki dalam durasi waktu “satu hari”. Dibutuhkan proses yang cukup panjang karena dibaliknya terjadi pula proses akumulasi.

Semua modal yang disebutkan di atas, tidak berdiri sendiri, tidak bekerja secara linear dan monodisiplin. Apatah lagi hanya menggunakan pendekatan paradigma mekanistik ala Cartesian-Newtonian. Dan termasuk jauh dari kerangka berpikir Galileo yang mengabaikan kehadiran nilai, etika, kualitas, kesadaran dan jiwa.

Sebelum memulai perjalanan bahkan jauh sebelum memulai langkah pertama—meskipun sebenarnya dalam padangan konsep diri saya sudah merupakan langkah pertama pula—secara imajinatif telah diletakkan cahaya impian itu di ujung ruang dan waktu. Setiap hari, hal tersebut ditatap di alam mental dengan menggunakan “mata batin”. Serupa dengan konsep visualisasi dalam teori psikologi dan konsepsi “ihsan” dalam Islam. Ini pun relevan dengan perspektif “to see” Rhenald Kasali.

Terkait cara pandang psikologis “memulai sebelum langkah pertama”, dalam kearifan Bugis-Makassar hal itu pun sering disampaikan dan diajarkan oleh para orang tua kita/kami. “Cini memangmi kalennu ambattu ri tampak eroka nubattui ampa assuluko battu riballanu”, kurang lebih seperti ini pesannya yang dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan “Lihatlah diri kita sudah tiba sampai di tempat tujuan sebelum langkah pertama keluar dari rumah dimulai”.

Secara psikologis—bahkan dalam pandangan saya termasuk secara teologis—pesan kearifan di atas memiliki urgensi dan implikasi yang besar dalam perjalanan atau perjuangan menggapai cita-cita, impian atau harapan. Jika merujuk pada teori Quantum Learning Bobby Deporter & Mike Hernacki, berdasarkan reinterpretasi saya, hal ini mampu memengaruhi suasana hati dan selanjutnya membangkitkan kedahsyatan otak sebagai modal intelektualitas.

Berikutnya, apa yang saya gambarkan di atas sebagai modal psikologis dan sekaligus teologis memberikan pengaruh secara empiris dan operasionalistik untuk melakukan dan memiliki upaya maksimal dalam mempersiapkan modal intelektualitas dan skill yang dibutuhkan dalam sebuah upaya mencapai impian.

Sebagai contoh sederhana, ketika saya mempersiapkan diri menghadapi tes CAT dalam seleksi anggota KPU Kabupaten Bantaeng periode 2018-2023, saya mengawali dengan modal psikologis dan teologis di atas dan memberikan sentuhan emosional mendalam pada saat menghapal berbagai regulasi seperti Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Pemilu dan berbagai regulasi lainnya. Alhamdulillah, saya sukses menghapal dari pasal ke pasal berbagai regulasi yang ada.

Hampir setiap waktu, tidak lebih dari dua jam sekali dan setiap hari, enam sampai tujuh tahun sebelum masa pendaftaran dimulai, saya telah melihat diri saya di alam mental, sebagai “Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng”. Ini adalah deskripsi nyata dari imajinasi yang merupakan refleksi dari konsepsi “visualisasi”, “ihsan”, “to see”, dan “kearifan Bugis-Makassar” yang telah saya jelaskan di atas.

Gambaran di atas, adalah modal sebelum “badai” tiba. Selanjutnya modal yang sangat dibutuhkan setelah badai itu datang atau minimal ketika rintangan-rintangan kecil sudah mulai dibentangkan untuk menghalangi langkah kita sangat penting untuk direfleksikan. Namun modal yang dibutuhkan pun, sekali lagi itu tidak tunggal, berbagai hal perlu diintegrasikan dan dielaborasi menjadi satu kekuatan.

Setiap diri harus mempunyai benteng pertahanan. Dalam konsep diri hasil rumusan dan istilah saya sendiri, minimal ada dua benteng yang harus dimiliki. Pertama, benteng—yang saya istilahkan sendiri—“Psiko-Materialistik-Pragmatik”. Benteng ini mendasari aspek mentalitas dengan persiapan, modal, dan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat material, pragmatik, nyata, duniawi, skill dan kecerdasan intelektual.

Benteng pertama ini tetap penting, karena dalam dimensi keduniawian menggapai cita-cita atau impian seringkali melewati perangkat mekanisme prosedural dan mekanistik. Dan sudah bisa dipastikan dalam hal ini, mengedepankan perspektif sunnatullah, alami, rasional, logis, dan objektif. Bukan sesuatu yang harus mengedepankan keajaiban, apatah lagi mukjizat.

Ilustrasi sederhananya, dalam sebuah pendaftaran (untuk proses mencapai harapan) membutuh dokumen-dokumen, ini harus bahkan wajib ada. Selain itu sebagai tahapan dalam seleksi  melewati tes CAT (sebagai contoh), ini harus dihadapi dengan skill dan modal intelektualitas, bukan menunggu mukjizat, meskipun bisa saja terjadi. Sama halnya ketika di salah satu Kabupaten, ada incumbent gagal melewati tahapan seleksi pertama, tes CAT.

Benteng pertama ini, harus disadari seringkali bobol. Sama halnya ketika saya menghadapi “keraguan” orang lain bahwa tidak mungkin saya lolos dalam tahapan seleksi sebagai anggota KPU Kab. Bantaeng, karena memandang saya tidak tahu apa-apa, bukan sarjana, hanya bermodalkan ijazah “SMK” untuk mendaftar. Itu benar, saya bukan sarjana. Tetapi saya berupaya memiliki hal lainnya, yang seandainya itu bisa dikonversi, saya pun yakin bisa dianggap sebagai “sarjana”.

Bobol di benteng pertama, bisa saja, tetapi saya masih memiliki benteng kedua, yang saya istilahkan sendiri dengan “Psiko-Religius-Spiritualistik”.  Saya yakin, siapapun yang memiliki benteng ini, akan merasakan kekokohan dan ketangguhannya dalam menghadapi badai.

Benteng kedua ini, membangun mentalitas di atas nilai-nilai agama, kesadaran akan kehadiran dan kekuasaan sang pemilik alam semesta, Allah. Kemampuan memetik segala makna dan hikmah dari setiap proses yang dilewati, termasuk kemampuan mengonversi dan mentransformasi hal-hal yang bersifat negatif menjadi positif. Sebagai ilustrasi sederhana untuk mudah dipahami terhadap kemampuan konversi dan transformasi perasaan negatif ke positif ini, cemas atau khawatir adalah manusiawi, namun ini harus dikonversi dan ditransformasi, bahma Allah bermaksud untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya dan memaksimalkan kehadiran-Nya dalam perjuangan menggapai cita-cita ini.

Dengan kesadaran religious-spiritualistik ini, kita pun tidak akan menaruh dan menyisakan dendan dan kekecewaan dalam kehidupan ini atas rintangan atau pun badai yang dihadapi, karena kita selalu yakin bahwa semua ini, setelah kita maksimalkan ikhtiar, kesuksesan sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Meskipun ada sunnatulah tempat hukum kausalitas beroperasi, tetapi itu pun ciptaan Allah, berarti Allah punya kuasa untuk mengintervensinya.

Relevan dengan yang di atas, saya masih ingat ketika kami dari SMP Negeri 2 Bissappu, mengikuti cerdas cermat di stasiun TVRI Makassar, tiba-tiba kami diminta oleh pelaksana untuk membuat motto. Saya mengusulkan motto dan disepakati “Kami berusaha, Allah yang menentukan”.

Benteng kedua di atas pun sebagai benteng menghadapi rintangan bahkan badai, menjadi pemantik semangat dan kesadaran bahwa “tidak akan jatuh sehelai rambut pun tanpa se izin Allah”. Selain daripada itu, benteng kedua ini berfungsi sebagai “proposal hidup” kepada Allah agar Allah meng-“ACC” (Accepted) atau mendisposisi kepada alam semesta dan manusia lainnya, untuk memudahkan dan membantu perjalanan kita terutama di tengah badai tersebut. Dari sini terwujud pula modal sosial secara maksimal.

Pengajuan proposal hidup kepada Allah ini, berangkat dari satu keyakinan yang kokoh bahwa Allah-lah yang merajai kehidupan, Allah Maha Berkehendak, Allah bisa mengerakkan manusia dan segala yang ada dalam dirinya, termasuk pikiran, perasaan dan jiwa manusia itu. Dan jika Allah sudah berkehendak, tidak ada yang mustahil.

Badai atau rintangan seringkali hanya cara Allah, untuk mengajak diri kita semakin dekat kepada-Nya. Badai bisa menjadi petunjuk kepada orang lain, tentang kekuasaan Allah. Badai adalah cara Allah menguji kekuatan iman kita.

Modal inilah yang harus dimiliki untuk bisa berselancar di atas badai. Saya yakin ruang dan waktu terbatas ini, tidak cukup untuk menguraikan secara lengkap dan sistematis, minimal hanya percikan perspektif, dengan harapan siapa pun di antara kita bisa berselancar di atas badai dan terutama tidak pernah melupakan kehadiran Allah dalam setiap perjuangan.

 

* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

Sumber ilustrasi: wallpaperbetter.com

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply