Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Bulan Ramadan dan Dunia Palsu

×

Bulan Ramadan dan Dunia Palsu

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Ternyata dunia bukan hanya seperti narasi-narasi semiotik Yasraf Amir Piliang, yang menyebutnya “Dunia yang dilipat”, “Dunia yang berlari”, dan “Setelah dunia dilipat”. Dunia ini pun adalah “Dunia palsu”. Term “Dunia” yang palsu di sini bukanlah dalam makna bahwa bumi yang sedang kita diami adalah palsu atau ciptaan palsu dari Allah. Namun, ada dinamika yang terjadi di dalamnya yang penuh dengan kepalsuan.

Sejak era kenabian ternyata dunia ini memang diwarnai dengan sesuatu yang palsu. Dalam sejarah, kita bisa membaca bahwa zaman Rasulullah Muhammad Saw dan Khulafaur Rasyidin, ada tujuh nabi palsu, satu di antaranya adalah Al-Aswad al-‘Ansi. Namun, kini dunia palsu itu bermetamorfosis ke bentuk lain yang lebih modern dan memenuhi syahwat yang menjadi ciri dunia modern itu sendiri: individualis, liberal, kapitalis, dan diselimuti mesin hasrat keserakahan.

Ciri dunia modern yang saya sebutkan di atas, ketika tanpa diwarnai dan menjadikan agama sebagai basis yang kuat dalam menjalani hidup dan kehidupan. Mencermati kehidupan hari ini, kita bisa melihat bentuk baru hasil metamorfosis kepalsuan itu. Kini ada uang palsu, ijazah palsu, disertasi palsu, BBM palsu, dan terbaru emas palsu. Termasuk berita dan informasi palsu.

Sebenarnya, saya pun sering menemukan bentuk kepalsuan lain, meskipun untuk kepalsuan yang ini, dibutuhkan daya kritis dan pengamatan mendalam dengan sedikit ilmu semiotika dan psikologi publik untuk bisa menangkap dan memahaminya. Ada penghargaan palsu dalam makna penghargaan itu diraih bukan karena prestasi tetapi hasil kerja-kerja politik. Selain itu, saya pun menemukan sudah mulai ada konten-konten palsu yang dilakukan segelintir orang demi mengundang perhatian, meningkatkan followers agar target monetisasi dan dollar cepat tercapai.

Mencermati kehidupan bangsa Indonesia, sejatinya bumi tercinta kita ini jauh dari kepalsuan. Indonesia adalah negara Pancasila. “Ketuhanan yang Maha Esa” ditempatkan sebagai sila pertama. Dan, memang dalam perumusan Pancasila, mengapa “Sila ketuhanan” yang sebelumnya berada di posisi pengunci atau sila kelima oleh para pendiri bangsa digeser ke sila pertama dengan harapan agar nilai-nilai ketuhanan dan moralitas menjadi fundamen utama dalam kehidupan politik dan kemanusiaan (sila kedua sampai sila kelima).

Selain berdasarkan Pancasila yang menegaskan pentingnya nilai-nilai ketuhanan, bangsa kita sejak era sebelum kemerdekaan, menempatkan agama sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupannya. Padahal, saya “saja” sangat meyakini betapa agama memiliki fungsi yang sangat besar dan kuat untuk membentengi manusia dan mengendalikan manusia dari perbuatan-perbuatan negatif dan destruktif.

Apa lagi Ahmad Norma Permata dalam bukunya Institusionalisasi vs Rasionalisasi: Dialektika Agama dan Peradaban (2020) telah menegaskan—dan saya meyakini–, bahwa agama itu memiliki mekanisme institusionalisasi. Maksudnya, agama menjadi jalan untuk membangun kehidupan, baik memulai sesuatu yang sebelumnya tidak ada maupun meneguhkan sistem yang sudah ada.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Norma Permata “Agama sebagai sebuah nilai tidak semata konseptual. Melainkan Agama selalu merupakan upaya untuk mengubah kehidupan”. Preseden empiriknya ini dalam realitas kehidupan, jika kita ingin mencermati dengan baik pasti kita mampu menemukannya. Sama halnya di atas saya menggunakan term “saja”, artinya saya saja yang memiliki latar belakang akademik formal tidak tinggi, latar belakang keluarga juga bukan keluarga santri, masih mampu merasakan dengan baik fungsi agama itu dalam kehidupan.

Sebenarnya kita memang “bingung” ketika Indonesia dinamika kehidupannya banyak diselimuti dengan dunia palsu. Padahal, jika memperhatikan pernyataan John Gardner, Soekarno, dan Prof. Haedar Nashir tentang sesuatu yang dimiliki dan bisa menjadi modal besar dan penting, Indonesia telah memilikinya. Terutama dalam hal ini Pancasila, nilai luhur bangsa, termasuk agama-agama yang dianut oleh bangsa ini.

Mungkin saja semua modal besar dan penting itu, sebagaimana pandanganya Hajriyanto Y. Thohari yang pada intinya menggambarkan Indonesia bahwa “Kemajuan[nya] itu masih jauh di depan sana”. Hajriyanto menegaskan bahwa bangsa ini mengalami kecekakan budaya (cultural lag) dan ketekoran budaya (cultural shortage).

Ketika saya hubungkan antara pandangan Gardner, Soekarno, Prof Haedar dan Hajriyanto di atas, kesannya yang saya tangkap bahwa ternyata modal besar itu tidak cukup tentunya dalam konteks Indonesia. Ibarat tali, tali itu tidak cukup panjang untuk meliliti sesuatu yang akan diikat atau ibarat aki, setrumnya tidak mampu menghidupkan mesin.

Atau mungkin saja agama pun di Indonesia lebih banyak hanya sekadar, seperti yang pernah dikutip oleh senior saya Hadi Saputra (Kak Hadi) ke dalam tulisannya dari pandagan cendekiawan muda NU, hanya menjadi pseudo religious dan religion tainment. Terkait dua istilah ini, saya telah menguraikannnya cukup singkat di tulisan sebelumnya kemarin, Bulan Ramadan: Retreat Spiritual-Religiusitas.

Meskipun kondisinya seperti di atas, saya masih yakin bahwa agama bisa menjadi solusi atas berbagai dunia palsu di atas. Saya masih sepakat dan meyakini apa yang telah ditegaskan oleh Norma Permata bahwa agama memiliki mekanisme institusionalisasi. Memiliki kemampuan untuk menjadi jalan dalam mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Meskipun, secara otoritatif saya tidak layak membangun kesan yang seakan-akan menyamakan diri saya dengan Norma Permata melalui term “sepakat” dan “meyakini”, tetapi saya merasakan termasuk ada sejumlah alasan yang akan saya uraikan di bawah. Beliau, Kak Norma Permata, memiliki otoritas keilmuan yang memadai untuk bicara agama relasinya dengan peradaban.

Pertama, agama menyentuh dimensi mental, batiniah, dan spiritual. Sedangkan ini dalam hierarki dimensi kemanusiaan atau diri manusia memiliki posisi tinggi dan strategis bahkan jika kita memperhatikan algoritma lahirnya tindakan manusia dalam realitas kehidupannya, bisa sangat dipengaruhi oleh dimensi tersebut. Dimensi fisik yang berwujud tindakan, sesungguhnya itu dikendalikan oleh dimensi psikis-spiritual yang berwujud sikap.

Minimal keyakinan awal ini, sehingga bulan Ramadan pun yang dalam konteks umat Islam adalah bulan mulia yang penuh dengan ibadah-ibadah yang sangat dimuliakan oleh Allah akan mampu meretas dunia palsu tersebut. Tentunya dengan catatan atau syarat.

Sebagaimana tulisan saya kemarin, bulan Ramadan harus betul-betul bisa dijadikan sebagai ruang retreat (retret) spiritual-religiusitas dengan niat yang fokus, kuat, dan total kepada Allah Swt. Selain itu, kita pun harus mampu mengikuti algoritma bulan Ramadan dengan baik dan benar. Agar apa yang menjadi tujuan utama atau puncak prestasi dari bulan Ramadan, dalam hal ini “takwa” bisa dicapai.

Ada hal penting dan bisa memiliki pengaruh besar dan kuat baik bulan Ramadan sebagai retreat maupun dalam mengikuti algoritmanya. Hal tersebut adalah niat. Niat dalam ibadah-ibadah yang dilakukan dalam bulan Ramadan harus dimurnikan, dikuatkan, diluruskan, dan tulus semata-mata kepada Allah. Niat bisa memengaruhi algoritma alam semesta, algoritma diri, dan algoritma-algoritma lainnya agar apa yang dilakukan bisa mencapai tujuan yang melekat di dalamnya. Mungkin, itulah pula sehingga dalam setiap rukun ibadah-ibadah yang diperintahkan oleh agama Islam, niat selalu ditempatkan pada posisi pertama.

Niat, sebagaimana pandangan Dr. Asep Zaenal Ausop dalam bukunya Islamic Character Building: Membangun Insan Kamil Cendekia Berakhlak Qurani (2014) pada sub tema “Puasa” menggambarkan dengan baik dan pasti kita semua bisa merasakannnya, itu bisa memengaruhi proses kimiawi dalam tubuh. Satu contoh saja, jika kita tidak makan dalam keadaan berpuasa (diawali dengan niat tulus berpuasa karena Allah) maka tubuh menghasilkan suhu panas, sehingga terjadi proses pembakaran dan memecah cadangan gula yang ada pada lever dan usus, sehingga kitak tidak merasakan lapar. Berbeda dengan kita tidak makan di luar puasa, maka justru tubuh menghasilkan suhu dingin.

Kedahsyatan niat pun telah dibuktikan secara ilmiah melalui riset. Saya membaca buku Law of  Spiritual Attraction: Prinsip Sukses Beyond LOA (2008) karya Priatno H. Martokoesoemo, di dalamnya diungkapkan bukti ilmiah tentang kedahsyatan niat. Dijelaskan, bahwa Robert Jahn dari Princeton University bersama koleganya Brenda Dunne, melakukan riset selama 25 tahun dengan 2,5 juta tes yang dilakukan. Risetnya itu hanya ingin membuktikan, apakah niat bisa memengaruhi pengambilan tujuan dan hasil dari pengambilan data secara acak oleh mesin elektronik tersebut.

Kesimpulan riset Jahn dan Dunne ternyata terbukti bahwa niat memengaruhi proses mesin elektronik tersebut. Saya pun yang pernah dikontrak oleh Kementerian Pendidikan Nasional RI melalui salah satu programnya, di mana saya ditempatkan sebagai tenaga Maintenance & Repair Information Technology (MRIT) di SMK Negeri 1 Bantaeng, selama empat tahun bergelut dengan komputer, program dan perbaikannya, saya sangat merasakan betul bahwa sering kali perasaan yang saya alami pada saat itu memengaruhi proses kerja komputer  terutama ketika sedang memperbaiki komputer.

John C. Maxwell pun meskipun dengan istilah lain, tetapi saya memandangnya itu adalah sama dengan niat atau minimal berada dalam mekanisme psikologis dan kerja yang sama, menegaskan dalam aksioma sikapnya, bahwa “Sikap awal menentukan lebih dari apa pun juga dalam mencapai tujuan”. Sikap dalam pandangan Maxwell ini, saya menilainya itu sama dengan niat.

Ini baru satu jenis rukun dalam sekian banyak ibadah-ibadah yang dilakukan di bulan Ramadan. Hasilnya bisa dipastikan dan akan sesuai dengan goal yang diharapkan dan atau dijanjikan langsung oleh Allah Swt. Kuncinya memang adalah kuatkan, jernihkan, dan luruskan, dan tuluskan niat semata-mata kepada Allah.

Apa lagi rukun-rukun lainnya dalam ibadah-ibadah yang dilaksanakan selama bulan Ramadan, sejatinya memang—jika kita melihat teori dan prinsip kerja habits (kebiasaan) itu harus menjadi karakter yang kokoh. Tentu saja jika kita mengikuti algoritma ibadah-ibadah tersebut, maka karakter kokoh yang akan terbangun adalah karakter yang positif, produktif, konstruktif, kontributif, fungsional dan beriorientasi masa depan, kebahagiaan dunia dan akhirat.

Selain teori habits jika kita mengamati proses algoritmik dalam diri, hierarki diri di mana dimensi psikologis lebih tinggi, sejatinya ibadah-ibadah yang kita lakukan akan memengaruhi big data dalam diri, selanjutnya memengaruhi proses algoritmik untu kemudian menentukan seperti apa sikap dan tindakan kita dalam kehidupan.

Satu saja nilai utama, penting, dan strategis jika itu mengisi big data dan memengaruhi proses algoritmik diri, maka dipastikan dunia palsu itu tidak pernah dilakoni oleh orang-orang yang mengaku dan tampak berpuasa, shalat, dan melakukan ibadah-ibadah lainnya di bulan Ramadan. Apa itu? Prinsip malaikat sebagai derivasi dari rukun iman kedua. Ibadah-ibadah yang dilakukan di bulan Ramadan terutama puasa, itu harus mencerminkan prinsip malaikat, artinya mempersembahkan yang terbaik secara tulus, meskipun tidak dilihat tetapi tetap merasa dalam pengawasan Allah.

Kemudian prinsip malaikat ini pun yang sejatinya sudah menjadi karakter dalam diri melalui ibadah-ibadah terutama ibadah puasa yang dilakukan selama bulan Ramadan, terimplementasi dalam kehidupan duniawi terutama dalam menjalankan amanah mulia dari rakyat dan negara. Maka, artinya mereka pun harus melaksanakan tanggung jawab duniawi, menjalankan jabatan negara dengan niat dan usaha yang kuat untuk mempersembahkan yang terbaik meskipun tidak bisa diawasi atau dikontrol sepenuhnya atau sepanjang waktu tetapi selalu merasa diawasi oleh Allah.

Jika ini sudah diimplementasikan, minimal yang satu saja ini, bisa dipastikan dunia palsu yang digambarkan di awali tulisan ini, tidak akan terjadi. Lalu kenyataannya, segilintir oknum yang melakukan proses-proses dunia palsu itu adalah orang-orang yang tampak ibadahnya dari luar sangat bagus di bulan Ramadan, kenapa mereka masih melakukan perbuatan yang tidak diridai Allah. Jawaban singkatnya, mungkin masih ada kekeliruan dalam pemahaman, cara, dan praktik ibadahnya terutama puasa sebagai pengendalian diri dan termasuk shalat yang tujuan utamanya membangun karakter positif, produktif, dan konstruktif.

Sumber gambar: liputan6.com

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply