Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Di antara makluk ciptaan Allah, adalah malaikat, manusia, dan iblis. Ketiga makhluk Allah ini dipandang memiliki akal, meskipun ada yang akalnya dinamis seperti manusia, dan ada yang akalnya pasif seperti malaikat. Selain itu ketiganya ini memiliki sumber penciptaan yang berbeda-beda; malaikat dari cahaya; manusia dari tanah; dan iblis dari api.
Pada saat Adam as hendak diciptakan dan termasuk awal penciptaannya menghadapi dua hal yang sesungguhnya paradoks dan kontradiksi dengan standard kemuliaan manusia. Malaikat mengungkapkan keraguannya sebagaimana diabadikan melalui firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 30 “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di atas bumi ini, orang yang akan melakukan kerusakan padanya, dan menumpahkan darah padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?”
Selain malaikat, iblis lebih parah lagi, bukan hanya melemparkan keraguan tetapi menghina Adam a.s. Sikap dan perilaku iblis ini diabadikan dalam QS. Shad [38]:76 “Iblis (berkata), “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”. Inilah jawaban yang mengiringi penolakan iblis pada saat diperintahkan oleh Allah untuk bersujud di hadapan Adam as.
Sebelum membahas lebih jauh, apa yang menjadi substansi dalam tulisan ini, yang perlu juga diketahui bahwa berdasarkan kajian beberapa ayat Al-Qur’an termasuk pendekatan berbasis sains modern, ditemukan fakta bahwa Adam a.s bukanlah makhluk yang berwujud manusia yang pertama kali diciptakan. Ada beberapa makhluk lainnya yang sejenis manusia, sebelum Adam as, seperti homo erectus, dan homo neandertal.
Di akui Adam as adalah “man” (manusia) spesies baru yang menjadi nenek moyang manusia yang hidup hari ini dan ribuan tahun sebelumnya. Adam as dan anak cucunya hingga hari ini dinilai memiliki tingkat kecerdasan (kemampuan otak) yang lebih daripada makhluk sejenis manusia sebelumnya. Itulah yang menyebabkan sehingga Adam as dan keturunannya sampai hari ini ini disebut (Ras) Homo Sapiens-Sapiens. Yang selama ini disebut dan ditulis dengan Homo Sapiens saja.
Tulisan ini tidak bermaksud mengulas panjang lebar terkait benarkah Adam as manusia pertama? Mungkin pada kesempatan lain, saya akan menuliskannya. Namun jika pembaca ingin membaca salah satu buku yang bisa menjadi referensi yang baik, silakan dibaca karya Ir. Agus Haryo Sudarmojo, buku dengan judul Benarkah Adam Manusia Pertama?
Seiring perjalanan manusia di muka bumi ini, seakan anak cucu Adam as belum mampu untuk menjawab sepenuhnya keraguan malaikat tersebut. Bahkan keturunan pertama Adam as-Hawa, Qabil dan Habil mempertontonkan kekerasan dan pembunuhan sebagaimana yang menjadi keraguan malaikat. Habil dibunuh oleh Qabil.
Perjalanan hidup manusia yang diwarnai kekerasan, pembunuhan/pertumpahan darah, tidak hanya berhenti pada masa Habil-Qabil. Bahkan berlanjut hingga hari ini. Dalam bulan Ramadan 1443 H ini saja, jagat media diramaikan dengan kasus kekerasan, pemukulan, pembusuran, penembakan, dan pembunuhan. Ada pembusuran tanpa motif, lebih karena mengikuti hasrat kesenangan atau kebanggaan. Ada pembunuhan yang diduga bermotif “cinta segitiga”.
Andaikan malaikat dulu, telah memahami kapitalisme global secara teori dan praksis dengan dampak-dampaknya, bisa saja penyampaian keraguannya kepada Allah, akan dilengkapi dengan argumentasi terkait “masyarakat ekstasi” dan “mesin hasrat”. Malaikat memiliki keraguan lebih daripada menyaksikan dan berdasarkan pengalaman makhluk sejenis manusia sebelum Adam yang berspesies sebagai Homo Sapiens-Sapiens. Sebelumnya ada beberapa spesies, di antaranya homo erectus, dan homo neandertal.
Meskipun pada saat itu Allah telah mengunci keraguan malaikat dengan jawaban, sebagaimana diabadikan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30 “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Selain itu, Allah telah melengkapi manusia, selain berupa hardware dan software (akal, pikiran, perasaan, intuisi), juga berupa big data (pengetahuan tentang segala sesuatu) telah diajarkan kepada Adam as.
Menyaksikan fenomena kehidupan hari ini, bukan hanya belum mampu menjawab keraguan malaikat, namun kita, anak-cucu Adam as seakan membuka ruang konfirmasi, bahwa penghinaan iblis itu benar. Manusia yang tercipta dari tanah, sejatinya menampakkan filosofi tanah “yang suka merendah/tidak menyombongkan diri”, namun yang terjadi kita merendahkan diri, dalam pengertian menghinakan diri sendiri dengan kesombongan dan egoisme. Banyak sikap, perilaku/perbuatan kita yang menunjukkan kehinaan itu: anak kandung dibuang; menipu; korupsi; dan masih banyak contoh lain, yang saya yakin pembaca sudah memahaminya.
Idealnya kita, anak-cucu Adam as, harus mampu menjawab keraguan malaikat dan penghinaan iblis. Kita jangan fokus pada keraguan dan penghinaan malaikat tanpa upaya menegasikan terhadapnya. Jangan sampai, justru keraguan itu dan penghinaan itu yang tersimpan di alam bawah sadar, dan pada akhirnya yang terjadi semakin banyak hal yang meragukan malaikat itu, di muka bumi sebagai ulah nyata manusia.
Bulan Ramadan ini, idealnya menjadi awal dan momentum terbaik untuk menjawab keraguan malaikat tersebut, termasuk untuk menjawab dengan prestasi dan kreativitas yang berbasis spiritualitas ihsan atas penghinaan iblis kepada nenek moyang kita.
Bulan Ramadan selain dipandang sebagai bulan pengampunan, penyucian hati dan/atau diri, termasuk pula sebagai wahana (tempat terbaik dan terindah) untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Apalagi pendekatan diri kepada Allah menjadi upaya mengurangi peluang bagi iblis atau setan untuk menggoda anak-cucu Adam untuk terjerumus melakukan sikap dan perbuatan-perbuatan yang semakin mengafirmasi keraguan malaikat dan penghinaan iblis pada saat itu.
Bulan Ramadan menjadi momentum untuk kembali berjalan di atas platinum track (jalan ilahiah). Bulan Ramadan bagi umat Islam yang beriman diwajibkan untuk berpuasa. Berpuasa secara fungsional dan hakiki adalah pengendalian diri melawan nafsu duniawi yang seringkali menggelincirkan dan menyeret keluar dari platinum track. Terkait platinum track, pada tulisan sebelumnya, saya sudah jelaskan sedikit lebih komprehensif.
Secara real yang bisa dilakukan manusia khususnya umat Islam dalam bulan Ramadan ini, untuk menjawab keraguan malaikat tersebut, dan penghinaan iblis pada saat itu adalah dengan me-refresh (menyegarkan) dan meng-upgrade (meningkatkan kapasitas) akan kesadaran dan implementasi atas misi mulia manusia.
Saya teringat, meskipun lupa halaman yang sebenarnya dalam buku Lentera Hati karya M. Quraish Shihab. Quraish Shihab menegaskan tentang tiga misi mulia manusia. Tiga misi mulia yang dimaksud yaitu: beribadah, khalifah, dan berdakwah.
Misi Mulia Pertama Manusia
Misi mulia pertama manusia adalah beribadah. Sesungguhnya jin dan manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Dalam konsep diri yang saya pahami dan rumuskan sendiri, beribadah tentunya bukan hanya menjalankan ibadah ritual semata atau minimal sesuai yang diajarkan dalam rukun Islam. Lebih dari sekadar itu, segala aktivitas manusia, idealnya dibingkai dalam dimensi “beribadah kepada Allah”. Untuk hal ini, yang lebih mudah dipahami adalah bahwa apapun yang kita lakukan sejatinya dilandaskan pada ridho Allah.
Jika segala sikap dan perbuatan manusia, senantiasa ditautkan pada ridho Allah, maka bisa dipastikan hal itu bisa melampaui sekadar dari menjawab keraguan malaikat. Bumi dan segala bentuk kehidupan manusia akan merasakan kedamaian, keamanan, kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran. Mengapa?
Jika setiap sikap dan perbuatan, diawali dengan pertanyaan, “Apakah ini diridhoi Allah atau tidak?” Maka damai dan tenteram hidup ini. Coba para koruptor bertanya, “Apakah korupsi diridho Allah atau tidak?” Begitupun siswa-siswi harus bertanya “Apakah nyontek, bolos, dan malas belajar diridho Allah?” Pejabat negara pun harus bertanya, “Apakah pungli (pungutan liar) diridhoi Allah?”. Penyelenggara pemilu pun harus bertanya “Apakah sikap melawan kode etik penyelenggara pemilu diridhoi Allah atau tidak?” Elit dan para fungsionaris partai politik dan masyarakat pun harus bertanya, “Apakah terlibat politik uang diridhoi Allah atau tidak?”.
Jawaban atas pertanyaan dari beberapa pihak di atas, sudah pasti “tidak diridhoi Allah”. Jadi jika sikap dan perbuatan senantiasa diupayakan untuk dibingkai dalam dimensi ridho Allah, bisa dipastikan, tidak ada lagi perbuatan yang justru memperkuat keraguan malaikat. Begitupun yang mengafirmasi penghinaan iblis.
Jadi sangat sederhana, meskipun masih ada yang merasakan beratnya, bahwa menghindari perbuatan tercela, keburukan yang relevan dengan keraguan malaikat, itu bisa dilakukan hanya dalam upaya memahami dan menyadari misi mulia pertama manusia, yaitu beribadah.
Bahkan secara motivatif-psikologis-teologis dipahami bahwa, irama kehidupan yang Allah telah tiupkan dalam diri manusia adalah irama “beribadah”. Ibarat musik, jika iramanya keroncong, lalu goyangnya dangdut, itu tidak nyambung atau harmonis. Maka hal inilah yang bisa merasionalisasi bahwa, sesungguhnya koruptor yang korupsi, siswa yang nyontek, orang yang menipu, hatinya tidak tenang karena tidak sesuai dengan irama kehidupan yang ada dalam dirinya.
Misi Mulia Kedua Manusia
Allah pun menegaskan bahwa manusia spesies baru dalam hal ini Adam as (dan tentunya termasuk anak-cucunya) diciptakan di muka bumi sebagai khalifah. Sebagai khalifah, ada spirit kepemimpinan yang harus dijalankan dalam rangka memakmurkan bumi serta segala isinya. Spirit kepemimpinan di sini, minimal, bukan hanya sekadar dan sebagaimana yang dipahami dalam ilmu management. Berdasarkan konsep diri yang saya pahami dan rumuskan sendiri, kepemimpinan di sini juga berarti sebagai upaya untuk senantiasa memengaruhi, mengendalikan, dan mengarahkan segala potensi diri dan yang ada di sekitar untuk menuju ke hal-hal positif.
Dalam forum-forum perkadaeran dan LDK OSIS, ketika diundang menjadi narasumber, maka saya menegaskan yang diawali pertanyaan: “Apakah korupsi mengarah potensi yang ada ke yang positif atau tidak?”; “Apakah nyontek mengarahkan potensi siswa ke positif atau tidak?”; “Apakah menipu mengarahkan potensi manusia ke yang positif atau tidak?”
Sama halnya dengan pertanyaan terkait ridho Allah pada misi mulia pertama manusia, pertanyaan terkait misi mulia kedua manusia ini juga, oleh para peserta perkaderan dan LDK OSIS, semuanya menjawab dengan jawaban “tidak” atau “tigak mengarahkan potensi ke hal positif”. Dari jawaban yang ada, saya tegaskan bahwa berarti, itu semua jangan dilakukan karena menyalahi misi mulia kedua manusia.
Misi Mulia Ketiga Manusia
Quraish Shihab, sebagaimana yang saya pahami dari buku karyanya, telah saya sebutkan di atas. Menegaskan misi mulia ketiga manusia adalah berdakwah. Tugas mulia manusia juga berdakwah. Saya sendiri memahami bahwa berdakwah itu bukan hanya melalui mimbar masjid, bukan hanya secara lisan, bahkan umat Islam bisa berdakwah melalui sikap dan perbuatannya dengan menampilkan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk bisa berdakwah, tentu harus memiliki ilmu pengetahuan. Dan cara terbaik untuk bisa memiliki ilmu pengetahuan adalah melalui belajar, membaca dan menulis. Tidak keliru ketika secara berturut-turut Allah menurut surat pertama QS. Al-Alaq, kemudian setelahnya QS. Al-Qalam. Keduanya mengandung spirit literasi.
Dari misi mulia pertama sampai misi mulia ketiga manusia di atas, dalam bulan Ramadan ini bisa dimaksimalkan, berdasarkan nilai dan fungsi hakiki puasa dan ibadah-ibadah lainnnya yang intens dilakukan. Sehingga tepat ketika, saya selaku penulis menilai bahwa bulan Ramadan adalah momentum terbaik untuk menjawab keraguan malaikat dan penghinaan iblis.
Saya yakin tidak berlebihan pula, ketika apa yang saya lakukan dengan rutin menghasilkan tulisan-tulisan setiap hari selama Ramadan, dinilai sebagai bagian kecil daripada implementasi misi mulia ketiga manusia (berdakwah), sekaligus memiliki relevansi dan perwujudan dari misi mulia pertama dan kedua manusia. Tentunya tulisan-tulisan yang, saya produksi setiap hari selama Ramadan, baik tahun lalu full 30 hari, maupun tahun ini (yang sudah sampai hari keenam belas), adalah dilandasi dengan jihad literasi. Dan ini, saya pun yakin tidak berlebihan jika dinilai bagian daripada menjawab keraguan malaikat dan penghinaan iblis.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah. Komisioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2018-2023