Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipNasionalOpiniTokoh

Bung Hatta, Koperasi dan Cita Rasa Kebangsaan

×

Bung Hatta, Koperasi dan Cita Rasa Kebangsaan

Share this article
                                                 sumber : bombastis.com

Oleh : Muh. Asratillah Senge

 

Konon, Bung Hatta (1902-1980) punya minat dan akhirnya menjadi Intelektual di bidang ekonomi, disebabkan oleh keluarganya yang berlatar belakang pedagang. Tapi Bung Hatta tak sekedar menjadi penerus tradisi berdagang, ada darah para ulama (kaum pembelajar) mengalir dalam dirinya, tepatnya berasal dari jalur ayahnya yang bernama H. Mohammad Djamil.

Maka bersekolah lah dia, sampai menginjakkan kakinya di tanah belanda. Bung Hatta melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Nenderland Handels Hoge School, Rotterdam. Selanjutnya, minat akademiknya memperlihatkan cikal bakal kenegarawannya, ini ditandai ikutnya beliau dalam mata kuliah yang diasuh oleh Prof. Oppenheim dengan tema tata negara. Lalu saat menjadi ketua PI (Perhimpunan Indonesia) Bung Hatta berkesempatan membawakan pidato yang isinya juga menyoal ekonomi, pidatonya diberi judul Economische Wereldbouw en Machtsgenstellingen (Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan).

Lalu dari mana asal muasal koperasi dalam gagasan Bung Hatta ?. Mungkin ada banyak faktor yang melatari, katakanlah faktor internal dan eksternal. Secara internal (subjektif) Bung Hatta secara pribadi memiliki pengalaman pribadi berinteraksi dengan sistem perekonomian khas pedesaan (dalam hal ini masyarakat minangkabau) yang memberikan titik tekan pada kolektivisme, dimana efisensi dan profit bukanlah segala-galanya

Bung Hatta punya pengalaman langsung bagaimana etos kerja dan etos kepedulian berkelindan serta saling mengandaikan satu sama lain, dan hal tersebut masih bisa kita lihat di beberapa pedesaan. Jika kita meminjam terminologi Karl Polanyi seorang Sejarawan Ekonomi asal Polandia, yaitu saat aktivitas pertukaran ekonomi serta sirkulasi modal masih tertanam (embeddedness) dalam tatanan sosial, aktivitas perekonomian ada dalam rangka memelihara dinamika tatanan sosial.

Kunjungan Hatta ke eropa pada kurun waktu 1921-1932 , juga banyak memberikannya inspirasi. Hatta menyaksikan dan mempelajari maraknya gerakan koperasi di Swedia dan Denmark yang digerakkan oleh kelompok masyarakat ekonomi lemah. Khususnya di Swedia Hatta menyaksikan bagaimana masyarakat berhasil mendirikan kilang-kilang barang konsumsi yang akan disalurkan melalui koperasi, intinya kelompok masyarakat ekonomi lemah dapat memberdayakan dirinya melalui koperasi yang didasari oleh solidaritas komunitas.

Lalu apa faktor eksternalnya ?. Hal ini barangkali bisa dilacak pada salah satu penggalan pidato inaugurasinya sebagai ketua PI pada tahun 1926 ; “penindasan modal raksasa asing, dengan pemerintah asing sebagai pelindung alamiahnya, seperti halnya di Indonesia saat ini yang hanya menimbulkan kesengsaraan dan kemelaratan, maka halnya sistem penghidupan perekonomian rakyat yang diorganisir secara koperasi akan dapat melawan dengan behasil. Koperasi sebagai bentuk pengorganisasian perekonomian rakyat yang dapat memberikan dasar-dasar yang kokoh kuat bagi pembangunan kembali ekonomi kita.”. Kondisi perekonomian pribumi saat itu memang sangat menghawatirkan disebabkan oleh sektor-sektor produksi dikuasai oleh pemerintah kolonial, serta adanya pelapisan sosial sekaligus pelapisan ekonomi di tanah air.

Saat itu, di lapisan ekonomi pertama atau teratas khususnya sektor perindustrian, ekspor-impor dan perkebunan skala besar dimonopoli sepenuhnya oleh Belanda. Di lapisan ekonomi kedua yang mendominasi adalah etnis Tionghoa dan keturunan asia lainnya. Lalu kaum pribumi hanya mengelola sisa-sisa remahan mesin ekonomi , inilah lapis ketiga sekaligus terbawah ekonomi Indonesia saat itu. Sektor-sektor yang dikelola kaum pribumi seperti sektor pertanian skala kecil, perdagangan dan pertukaran dalam skala kecil. Para pelaku dan penderita di lapis ekonomi ketiga inilah, yang kemudian dilabeli secara politik oleh Bung Karno dengan istilah “Kaum Marhaen”. “.. pergaulan hidup mereka marhaen..pergaulan sebagian besar sekali adalah kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil , kaum pelajar kecil , pendek kata : kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semuanya kecil “, tulis Bung Karno dalam Indonesia Menggugat.

Cita-cita Bung Hatta soal koperasi, dapat kita sederhanakan menjadi 3 poin utama. Pertama, Koperasi menangani aktivitas ekonomi di sektor kecil, dimulai dengan koperasi kredit untuk menambah modal rakyat, lalu berkembang menjadi koperasi produksi dan meningkat menjadi koperasi industri, dan akhirnya disusul pendirian koperasi konsumsi yang akan melayani kebutuhan (bukan keinginan) rakyat. Kedua, Jika koperasi membangun akar ekonomi dari bawah, maka pemerintah bertanggung jawab atas sektor-sektor perekonomian yang menyangkut hajat hidup orang banyak. pemerintah mengusahakan kepentingan rakyat, termasuk menyediakan fasilitas-fasilitas perekonomian. Ketiga swasta mengelola sektor-sektor yang tidak digarap oleh pemerintah dan koperasi. Bahkan bung Hatta menghimbau agar perusahaan-perusahaan membuka peluang agar para karyawannya (pemerintah mengharuskan bahwa karyawan direkrut dari masyarakat lokal) bisa membeli saham perusahaan dengan cara mencicil, agar turut merasa memiliki perusahaan.

Tapi terlebih dari itu semua, koperasi yang digagas Hatta hanya bisa terwujud dan berjalan secara efektif, jika dan hanya jika disertai cita rasa kebangsaan yang tepat.Cita rasa kebangsaan yang saya maksud di sini, adalah tekad untuk merawat indonesia dengan demokrasi, dan bagi Hatta demokrasi merupakan “hari depan” sistem ekonomi politik Indonesia. Saking besarnya kepercayaan Hatta kepad demokrasi, membawa dia berani berseberangan sikap dengan Soekarno di era demokrasi terpimpin (1959-1966).

Lalu apa muara dari semua ini ? Syafi’i Ma’arif menjelaskan bahwa bagi Hatta, keadilan sosial adalah muara dari segalanya. Agar keadilan sosial tegak, demokrasi tak boleh jatuh pada sebuah “kehambaran”, demokrasi harus dihidup-hidupi dengan dengan “tekad”. Jika kita meminjam kosakata Rancier, demokrasi harus dirawat dengan la politique, politik dalam konteks “ perjuangan terus menerus”, bukan sekedar la polis yaitu politik yang sekedar pengaturan, pengadministrasian dan pengawasan belaka. Mungkin begitu pula dengan koperasi, dia harus dirawat dan diurus dengan “tekad”, jika tidak, koperasi hanya sekedar perpanjangan kepentingan korporasi.

Selamat Hari Koperasi 12 Juli 2017.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply