Oleh: Agusliadi Massere*
Mencermati fenomena kehidupan global, nasional, regional sampai lokal dan lingkup yang lebih kecil, kehidupan organisasi, kita akan menemukan sebuah kondisi yang bisa dimaknai sebagai “disposisi sikap yang rendah”. Selanjutnya mekar menjadi “entropi budaya”.
Keduanya:—meskipun terkesan saya membangun relasi kausalitas dan hierarkis—“disposisi sikap rendah” dan “entropi budaya” menjadi benteng penghalang bagi kemajuan yang menjadi harapan. Bahkan sesuatu (bangsa, organisasi maupun individual) sulit mencapai dan menjadi titik sentral, candradimuka, episentrum untuk setiap aspek kehidupan. Keunggulan mustahil akan diraih jika kedua hal tersebut bercokol dalam “jantung” diri dan kehidupan sosial.
Mengalami disposisi sikap rendah dan/atau entropi budaya bukan hal remeh temeh. Ini hal krusial, urgen dan akan menimbulkan implikasi besar, bahkan dalam jangka waktu yang cukup panjang akan bermuara pada kehancuran.
Apakah kita akan tinggal diam? Menangkap pemantik kesadaran dari Syahril Syam (seorang trainer dan mind programmer) yang saya memahaminya sebagai “perspektif busur dua derajat” penting untuk disikapi. Pergeseran dua derajat sesuatu, jika dilihat dan/atau diukur dari titik busurnya, pergeserannya sangat dekat, tidak memiliki implikasi besar atau biasa-biasa saja.
Berbeda dari titik busurnya, jika diukur dan ditarik dari jarak yang cukup jauh ke depan, atau di luar angkasa—jika merujuk pada fenomena sebenarnya, pergerseran satelit Palapa yang menjadi inspirasi perspektif ini—bisa ribuan kilometer. Dari perspektif busur dua derajat ini, disposisi sikap rendah dan/atau entropi budaya, mungkin hari ini, pada saat hal tersebut terjadi dan/atau dialami dampaknya tidak berarti, kurang terasa. Namun dalam jangka waktu yang cukup panjang akan sangat terasa.
Kehidupan global, telah didorong kehidupan demokratis, persamaan hak asasi manusia, kebebasan dan hidup merdeka. Namun kenyataannya masih ada Palestina sebagai bangsa dan negara yang sah, tidak merasakan semua itu. Masih terus tertindas oleh Israel dan dunia (PBB) dan yang lainnya terkesan masih “diam” saja.
Terkait Israel-Palestina adalah contoh disposisi sikap rendah dan di dalamnya akan menimbulkan entropi budaya yang bermuara pada konflik skala global. Harapan Karen Amstrong sebagaimana dikutip oleh Cusidiawan dalam tulisannya melalui kanal santrishabran.net, “membangun komunitas global yang di dalamnya semua orang dapat hidup bersama dalam sikap saling menghormati”, hanya akan menjadi mimpi siang bolong, jika ini dibiarkan larut tanpa sikap serta tindakan jelas dan tegas.
Kehidupan nasional, Buya Ahmad Syafii Maarif ketika bertemu dengan Menteri Pendidikan Singapura Tharman Shanmugaratnam didampingi oleh Dubes Singapura Edward Lee, pada tanggal 24 Februari 2005 pukul 10.00 WIB di Hotel Hyatt Jakarta, ada hal menarik pada saat itu. Shanmugaratnam mengatakan “Indonesia is rich and beautiful”.
Mendengar perkataan Shanmugaratnam, Buya Syafii langsung menjawab “But the people are no longer beautiful”. Jawaban Buya, 16 tahun yang lalu, sangat alegoris dan mengandung makna konotatif ini,—jika mencermati fenomena hari ini—masih relevan. Ini contoh disposisi sikap dan sekaligus di dalamnya tergambarkan sebuah entropi budaya yang menyebabkan bangsa kita, masih sulit menjadi titik sentral termasuk untuk sebuah peradaban.
Sama halnya, sebagaimana dikutip oleh Fajlurrahman Jurdi (2013) dari Jeffrey A. Winters (dalam buku Oligarchy)—meskipun konteksnya tahun 2009 tetapi saya dan kita semua masih yakin memiliki relevansi—“…Indonesia pada 2009 bisa menjadi negara paling demokratis sekaligus paling korup di Asia Tenggara”. Mengapa terjadi sesuatu yang sangat paradoks dalam konteks kehidupan bangsa dan negara Indonesia? Jawabannya kita masih terkungkung, mempraktekkan “disposisi sikap yang rendah” dan ini memberikan dampak lanjutan dengan apa yang disebut “entropi budaya”.
Dalam kehidupan yang lebih kecil yang bernama organisasi, saya pun sering menemukan fenomena yang menunjukkan disposisi sikap rendah. Dan sepertinya, ini akan berlarut-larut dan bisa menimbulkan entropi budaya yang kurang disadari. Tidak sedikit organisasi, yang menganut kolektif-kolegial, namun tanpa disadari terbangun sebuah konstruksi yang paradoks.
Di ruang publik terkesan ada upaya penonjolan figur tunggal seorang ketua saja. Atau mungkin dalam internal terbangun ego invidual dan ini sesungguhnya menciderai spirit kolektif-kolegial, jika dia/mereka menyadari. Atau mungkin saja mereka terjebak pada narsisme dan individualistik, sehingga hal yang sekilas mungkin “sepele” atau biasa-biasa saja, namun sesungguhnya jika kita sadar akan perspektif busur dua derajat Syahril Syam, itu akan menimbulkan entropi budaya.
Sama halnya—saya menemukan percikan inspirasi—ada yang bisa dimaknai sebagai salah satu penyebab kegagalan setiap gerakan, termasuk apa yang disebut dengan “aksi demonstrasi”. Dan bahkan saya pernah menarasikan dalam bentuk lelucon, atau satire. Tidak sedikit para pelaku (tidak untuk digeneralkan) aksi demonstrasi melakukan hal paradoks atau dipandang sebagai disposisi sikap yang rendah.
Mereka melakukan aksi, sebagai contoh: menolak, mengecam, meminta memboikot produk negara tertentu atas tindakannya yang melukai hati, namun tanpa disadari seringkali di antara kita atau mereka sambil meneriakkan yang dinilai “perjuangan mulia” itu dengan megaphone di tangan kanan, tetapi di tangan kiri kita masih menikmati produk negara yang sedang kita kecam itu (contoh produk handphone). Ini adalah disposisi sikap rendah yang nyata.
Contoh lainnya, kita menyuarakan perjuangan mulia, demi rakyat, meminta penguasa lengser, tetapi seakan kita tidak menyadari, ada juga di antara mereka turun ke jalan dengan bayaran dari pihak oposisi yang rakusnya tidak jauh berbeda dengan penguasa. Ini adalah disposisi sikap rendah.
Satire yang pernah saya tulis, “bisa jadi para iblis yang ada dalam diri demonstran—yang menerima bayaran itu—akan saling ‘chatingan’ dengan iblis yang ada dalam diri penguasa rakus yang sedang didemo. Iblis demonstran menchat, ‘Ei bisikkan dalam diri tuanmu (si penguasa), bahwa di sini kami sedang tidak benar-benar berjuang, ‘perjuangan mulia dan atas nama rakyat’, hanya topeng belaka. Yang menggerakkan dan tujuan utama kami hanya bayaran. Gerakan ini hanya akan saya konversi menjadi rupiah. Iblis penguasa mengchat, oke mainkan saja yang penting jangan menghina tuan kami”.
Lalu apa disposisi sikap rendah dan/atau entropi budaya itu?. Agus Suwignyo menjelaskan disposisi sikap rendah adalah suatu kondisi ketika kaitan atau relevansi antara kesadaran tindakan dengan pengetahuan yang mendasari tindakan “sangat rendah”. Buya Syafii (dalam Agus Suwignyo) menyederhakan pengertian disposisi sikap rendah yaitu “gap, jurang atau inkonsistensi antara kata dan perbuatan”.
Entropi berasal dari kata Yunani yang berarti transformasi atau evolusi, hanya saja dan saya menduga ini yang menjadi awal—Rudolf Clausius memperkenalkan kuantitas baru yang disebutnya dengan ‘entropi’, istilah ini perpaduan antara “energi” dan “tropos”—“entropi” adalah ukuran kekacauan.
Ariningtyas Prameswari memberikan pemahaman yang baik dan muda tentang entropi budaya. Pertama, budaya dalam hal ini bukanlah kesenian, akan tetapi kumpulan karakter sebuah organisasi atau bangsa. Kedua, entropi dalam ilmu fisika diketahui bahwa jumlah energi yang dihasilkan sebuah mesin adalah sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Namun jika ada keruasakan komponen mesin, maka sebagian energi akan digunakan untuk mengatasi kerusakan tersebut.
Jadi jika terjadi entropi budaya, sebagai kekacauan dalam kehidupan global, nasional dan regional, bahkan organisasi, itu akan menghambat sebuah kemajuan dan inovasi, karena energi sebagian terkuras terhadap kekacauan-kekacauan yang ada.
Hal tersebut sangat jelas bahwa dari “disposisi sikap yang rendah” bisa berujung pada “entropi budaya” sehingga dalam sebuah komunitas kecil sampai yang besar mengalami hambatan dan pelambatan dalam mencapai kemajuan yang menjadi impiannya.
Disposisi sikap rendah dan/atau entropi budaya memiliki level yang sama dengan cultural lag (kecekakan budaya) dan cultural shortage (ketekoran budaya)—meminjam istilah Hajriyanto Y. Thohari (2015)—. Bahkan oleh Hajriyanto inilah salah satu yang menyebabkan kemajuan Indonesia “masih jauh di depan sana”.
Bagaimana mengatasi disposisi sikap yang rendah dan entropi budaya? Solusinya adalah “Konsep Diri”. Konsep diri, secara sederhana adalah persepsi, penilaian, prasangka, pandangan dan keyakiann tentang diri sendiri serta relasinya dengan berbagai aspek atau entitas kehidupan di luar dirinya.
Konsep diri yang telah saya rumuskan (meskipun belum menjadi buku, sementara masih sebagai harapan dan catatan berserakan) bukan hanya menumbuhkan kesadaran psikologis yang memberikan motivasi untuk menemukan, menggali dan mengembangkan potensi dahsyat dalam diri. Beyond, melampaui itu bermuara pada kesadaran akan peran, tanggungjawab yang harus diperankan.
Selain itu, konsep diri mampu menumbuhkan kesadaran bagaimana intrapersonal relation, interpersonal relasion dan God relation yang di dalamnya mengandung pemahaman yang benar dan baik tentang variabel dependen, independen dan interdependen yang senantiasa melekat dalam diri. Kesadaran akan peran dan implikasi atau konsekuensi logis atas setiap perbuatan diri sendiri dan orang lain yang dilakoni senantiasa menjadi bahan refleksi dan evaluasi.
Konsep diri yang baik atau matang, akan memberikan pemahaman bahwa perbuatan dirinya akan senantiasa memberikan implikasi, baik yang bermuara pada kehidupan akhirat yang terkonversi menjadi surga-neraka, termasuk dalam kehidupan sosial, bangsa dan negara. Yang terakhir ini bisa terkonversi menjadi hidup sejahtera, aman dan damai serta keutuhan dan kedaulatan.
Konsep diri positif dan pemahaman yang baik tentang diri, kehidupan sosial dan bahkan kehidupan akhirat akan bermuara pada konsistensi antara kata dan perbuatan. Konsep diri akan mendorong untuk memahami segala sesuatu dengan pemahaman mendalam sebelum melakukan sebuah tindakan.
Konsep diri yang mendalam, memberikan implikasi agar setiap perbuatan yang dilakukan bermuara pada kemanfaatan, kebaikan, kebenaran dan Ridho Allah. Empat “variabel” ini senantiasa menjadi barometer, orientasi bahkan tujuan yang mengiringi setiap tindakan atau perilaku yang eksis dalam kehidupan sosialnya.
Konsep diri yang matang, akan senantiasa terbuka dengan kritik, saran bahkan secara internal senantiasa melakukan evaluasi, instropeksi diri dan memperbarui setiap interpretasi yang dimiliki untuk menarik garis relevansi dengan konteks zamannya.
Yang substansial dari konsep diri,bahwa sikap yang ditampilkan akan senantiasa relevan dengan apa yang menjadi spirit, visi dan misi mulia dari setiap kehidupan sosial, bangsa dan negara sebagai wujud cinta, welas asih yang lahir dari refleksi mendalam atas relasi segiti diri, Allah, dan kehidupan lainnya.
Tulisan ini bersambung ke bagian “Dari Disposisi Sikap Rendah ke Entropi Budaya (2): Kesadaran Kritis & Progresif sebagai Etos.
* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Banteang. Komisioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2018-2023.