Oleh: Agusliadi Massere*
Pembaca, mungkin telah membaca tulisan bagian pertama, “Dari Disposisi Sikap Rendah ke Entropi Budaya (1): Konsep Diri sebagai Solusi”. Jika belum, alangkah baiknya dibaca terlebih dahulu. Jangan khawatir bagi yang belum, tetap saya akan memberikan sedikit gambaran tentang “disposisi sikap rendah” dan “entropi budaya”.
Disposisi sikap rendah, ketika terjadi/muncul gap, jurang atau inkonsistensi antara kata dan perbuatan. Ini penjelasan sederhana dari Buya Syafii. Contoh sederhana, mungkin kita marah, mengecam dan mengutuk kekejaman Israel terhadap Palestina. Tetapi tanpa sadar, kita menikmati produk Israel?. Dan yang mengecam berada dalam posisi skor “2:0”.
Mengapa saya memberikan gambaran tentang skor “2:0”? Saya ingin menegaskan bahwa bisa jadi ada produk atau milik negara yang kita kecam, sedang dinikmati bahkan sulit melepaskan diri darinya sebagai kebutuhan primer atau sekunder, dan kepentingan demi efektivitas serta efesien kelangsungan hidup. Jika demikian apakah kita harus tetap boikot? Karena jika jawabannya “tidak” maka masuk sebagai kategori disposisi sikap yang rendah. Saya pun tidak bermaksud memandang general seperti itu. Namun jika ada hal yang harus seperti itu, maka posisi yang dimaknai dalam skor “2:0”, harus diupayakan minimal menjadi skor “1:1”.
Artinya produk mereka jangan hanya digunakan untuk hal negatif agar posisi tidak dalam skor “2:0” atau bahkan bisa lebih dari skor “3:0”. Contoh bagi umat Islam (Indonesia), kita menggunakan produk negara tertentu. Keuntungannya mereka nikmati, hasil keuntungan itu digunakan untuk membiayai misi menghancurkan moral bangsa dan/atau umat Islam (Indonesia), sedangkan bagi kita, produk itu hanya bermuara pada sesuatu yang tidak produktif bahkan mengarah pada hal-hal negatif bagi diri. Jika seperti ini maka dalam kalkulasi saya posisinya dalam skor “3:0”. Tiga untuk mereka, dan nol untuk kita.
Meskipun ada terma “mereka” dan “kita” saya sedang tidak bermaksud memilih diksi yang akan membentuk garis relasi oposisi biner dan akan bermuara pada narasi penguatan clash of civilitation (benturan antarperadaban), karena sesungguhnya visi dan misi Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin adalah perdamaian dunia. Di dalamnya mengandung etika kosmopolitanisme.
Islam adalah agama yang cinta damai, jika ada yang terkesan sebagai “serangan” atau “serangan balik” itu adalah ikhtiar mempertahankan/membela diri dan berupaya mewujudkan impian, lahirnya dunia yang di dalamnya bertabur kasih sayang. Agama Islam sesungguhnya tidak mengandung ajaran untuk menjadi terorisme. Islam adalah agama inklusif, toleran, dan cinta damai.
Kesalahan dan kekeliruan memahami dan mengamalkan ajaran Islam adalah bagian daripada disposisi sikap yang rendah. Apatah lagi, jika konteks perang politik-ekonomi-agama yang terjadi di luar negeri ditarik ke dalam konteks negara Indonesia, ini bisa juga bermuara pada disposisi sikap yang rendah.
Artinya ketika konteks luar yang tidak sesuai harapan, dijadikan sebagai alasan pembenaran untuk menolak sesuatu yang telah menjadi konsensus bersama dalam kehidupan bangsa dan negara kita (baca: Indonesia), maka ini adalah disposisi sikap rendah. Masih ada di antara umat Islam sendiri, karena “kekecewaan”, “kebencian”, dan “ketidakpuasaan” atas sikap politik, hegemoni dan dominasi negara tertentu berujung pada penolakan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara, dan pemilu sebagai instrumen demokrasi. Bahkan ada yang menilai ketiganya ini adalah produk “thaghut” dan “haram”. Bagi saya ini adalah disposisi sikap yang rendah yang nyata dan harus disikapi dengan solusi terbaik.
Apatah lagi jika bermaksud mengganti “Pancasila” dan menjadikan Indonesia sebagai “negara Islam” dengan mengedepankan jargon “Islam sebagai solusi”. Ini akan menjadi sesuatu yang keliru dan bukan hanya menunjukkan disposisi sikap yang rendah tetapi akan bermuara pada “entropi budaya” dan menghambat kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
Selanjutnya kita tarik dalam konteks Indonesia saja, setelah bagian atas menyentuh sedikit konteks global. Jika mencermati kondisi bangsa Indonesia, yang telah menikmati kemerdekaannya selama kurang lebih 76 tahun dan masih tertinggal jauh dari kemajuan bangsa-bangsa lain, penyebabnya bisa dimuarakan pada faktor kausalitas “disposisi sikap rendah” dan “entropi budaya”.
Banyak di antar anak bangsa dan tidak sedikit yang memiliki status elit negara, yang sikap dan perilakunya justru mencerminkan disposisi sikap yang rendah. Jika ada “oknum” wakil rakyat dan kepala pemerintahan korupsi, maka sesungguhnya ini adalah contoh nyata disposisi sikap yang rendah. Idealnya, mereka berjuang, melakukan tata kelola pemerintahan yang baik untuk memakmurkan rakyat atau warganya. Dengan sikap koruptif justru hal itu menyengsarakan, menyulitkan dan menyusahkan rakyat.
Intoleransi intra dan/atau inter-agama, begitu pun intolernasi yang dimaknai dalam dimensi ekonomi, adalah contoh nyata daripada entropi budaya. Intoleransi dalam dimensi agama, akan mampu mengikis kohesivitas sosial bangsa Indonesia. Apatah lagi intoleransi dalam bidang ekonomi akan menciptakan ketidak-adilan yang menghambat kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
Dalam atmosfer kehidupan Indonesia, tidak boleh ada kekuatan yang berupaya memojokkan umat Islam apalagi ingin menghilangkan jejak sejarah atas peran besar umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan sebaliknya umat Islam tidak boleh egois dan merasa Indonesia harus menjadi negara Islam, dan mengganti ideologi dan asas Pancasila dengan Islam.
Meskipun umat Islam adalah mayoritas, namun harus disadari: Pertama, salah satu ajaran substansial Islam, “tidak ada paksaan dalam agama termasuk untuk memeluk Islam”; Kedua, Indonesia adalah hasil konsensus bersama dari berbagai elemen dan identitas bangsa yang berbeda-beda; dan ketiga, Pancasila sebagai meja statis dan leitstar dinamis jangan dipandang sebagai produk “haram”, ini sudah final dan Pancasila memiliki relevansi secara substansial dengan ajaran agama Islam. Pancasila secara substansial adalah percikan dari nilai-nilai dan ajaran Islam.
Jika dua terakhir ini disadari, maka yang terbangun adalah kohesivitas sosial dan interdependensi tanpa dominasi yang akan bermuara pada persatuan Indonesia dan keadilan sosial. Maka disposisi sikap rendah dan entropi budaya akan mampu untuk di-counter demi masa depan Indonesia.
Untuk meng-counter disposisi sikap rendah dan entropi budaya—setelah tulisan bagian pertama: konsep diri dipandang sebagai solusi—untuk tulisan bagian kedua kesadaran kritis dan kesadaran progresif sebagai etos. Tidak berhenti hanya sebatas pemahaman konsep diri, tetapi secara praksis kesadaran kritis dan kesadaran progresif memberikan implikasi nyata dalam realitas sosial.
Namun yang harus dipahami terlebih dahulu bahwa: Pertama, kesadaran kritis dan kesadaran progresif dalam pandangan saya, termasuk bagian integral dalam konsep diri; Kedua, kesadaran kritis dan kesadaran progresif bukan hanya berdimensi praksis namun mengandung bahkan diawali dengan dimensi idealitas, berawal dari pemahaman mendalam terkait kedua hal tersebut yang basisnya pada konsep diri.
Berbeda dengan kesadaran naif (yang cenderung menyalahkan diri sendiri) dan kesadaran magis (yang cenderung berpasrah diri dan menilai segalanya sudah menjadi takdir), kesadaran kritis berpijak pada aspek sistem dan struktur sebagai penyebab kemajuan maupun problematika sosial yang ada. Paulo Freire yang dilanjutkan oleh Mansour Fakih sangat mendorong jenis kesadaran kritis ini untuk dimiliki, dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan.
Dalam tilikan filosofis Freire—meskipun diorientasikan dalam lingkup pendidikan—memandang bahwa kesadaran kritis menjadi modal penting untuk membebaskan pendidikan yang selama ini, dinilainya terjadi proses “dehumanisasi”. Kesadaran kritislah modal utama untuk melakukan sebuah proses “humanisasi”. Dan jika kita cermati lebih dalam “disposisi sikap rendah” maupun “entropi budaya” di dalamnya mengandung sesuatu yang bisa dimaknai “dehumanisasi”.
Dalam forum-forum perkaderan maupun LDK OSIS, saya sering kali menerjemahkan secara sederhana mengenai kesadaran kritis adalah sebuah kesadaran yang di dalamnya mengandung dua hal urgen sekaligus yakni: simpati dan empati. Simpati—secara sederhana—berarti sikap membenarkan kondisi yang ada secara teoritik. Sedangkan empati, lebih dari sekadar simpati, melampau dari itu, bukan hanya membenarkan kondisi yang ada, tetapi ada langkah nyata untuk memberikan solusi atas problematika yang terjadi.
Menjadikan kesadaran kritis sebagai etos bisa meng-counter disposisi sikap rendah dan entropi budaya dengan cara berangkat dari pandangan organik, sistemik dan struktural. Pandangan yang menghasilkan pemahaman bahwa bukan hanya melahirkan kesadaran personal, tetapi termasuk berupaya mempengaruhi pandangan personal lain. Sebab siapa pun dia, dimana pun dan apa pun bentuk perilaku dan tindakannya berdasarkan pendekatan sistem atau struktural, konsekuensi logisnya yang niscaya, juga akan dirasakan oleh orang lain.
Upaya yang dilakukan, bukan hanya secara personal tetapi juga secara kultural dan struktural. Dan sebenarnya dari disposisi sikap yang rendah yang menjadi embrio entropi budaya, di dalamnya sudah memantik kesadaran kritis, tentang dampak sistemik, kultural dan struktural setiap hal yang dilakukan meskipun awalnya bersifat personal.
Hanya saja seringkali etos kesadaran kritis, jika sulit melepaskan diri maka akan mengedepankan moralisme partikular (lari, meninggalkan dan atau berupaya mengganti total sistem atau struktur yang ada). Dan ini jika ditarik dalam locus dan tempus Indonesia yang lebih luas dan mendalam, terasa kurang pas, karena sudah ada konsensus yang telah dibangun bersama di tengah pluralitas sebagai realitas.
Maka etos kesadaran kritis, penting untuk diimbangi dengan apa yang saya sebut dengan etos kesadaran progresif. Jika ada disposisi sikap yang rendah dan entropi budaya yang menghambat kemajuan berdasarkan harapan, maka yang harus dilakukan adalah menemukan energi positif di dalamnya untuk selanjutnya mengajak yang lain untuk fokus membangun dream, mendesain berdasarkan potensi dahsyat yang telah ditemukan.
Dengan etos kesadaran progresif pula, maka etos kesadaran kritis yang senantiasa memantik diri tidak serta merta menjatuhkan pilihan dan memantik untuk mengambil sikap menghindari jika tidak bisa bertahan. Kesadaran progresif akan senantiasa terbuka dengan segala realitas dan mempersiapkan diri pada setiap kemungkinan perubahan sebagai sesuatu yang abadi dalam kehidupan.
Kesadaran progresif, mendorong dan melahirkan sikap adaptif sambil tetap mempertahankan jati diri dengan sintesis, terobosan-terobosan baru yang menawarkan alternatif dan minimal langkah moderat. Kesadaran progresif menjadi penting karena ada banyak realitas yang menjadi keniscayaan dan sikap terbaik adalah menghadapinya, bukan sebaliknya: menghindar.
Dan saya sendiri sadar bahwa etos kesadaran kritis apatah lagi kesadaran progresif memiliki cakupan defenisi dan makna yang sangat luar biasa, yang tidak cukup ditampung melalui tulisan yang sangat terbatas ini.
* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Banteang. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023