Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Dari Kuali-Politik ke Kuanta-Politik (Bagian 1)

×

Dari Kuali-Politik ke Kuanta-Politik (Bagian 1)

Share this article

politik

Oleh : Sanusi Ramadhan

Ihwal kesejagatan politik di kekinian menggiring banyak dimensi kehidupan memasuki sebuah domain baru; tatanan dunia baru. Dunia yang bopeng oleh tanda-tanda kegalauan, kepanikan, kebisingan, keterpesonaan, kegagapan, dan kegamangan melalui mesin virtualisasi. Di setiap sudut ruang, kita digiring rayuan simbol, entah itu datang menjadi sapaan pemilik modal yang mengeksploitasi hasrat, ucapan genit para politisi, kaum agamawan yang menebar tanda-tanda surga hingga parodi wacana yang hingar-bingar, mereduksi dunia lewat kekuatan abstraknya, menyeret persepsi, tata-laku, serta hasrat orang ke ambang ambiguitas paradoks. Dunia baru pun ditata sedemikian rupa dalam pendulum zaman yang tengah berselancar_.

Dunia baru menjebak kita ke dalam sesat pandang menilai eksistensi diri berdasarkan atas dan kepada kepemilikan berbagai-bagai barang komoditas. Kita diseret berpetualang ke dalam arus prokreasi budaya, sebuah jalan capaian kepuasan dilevel materi. Moda hidup yang lepas makna. Meluber dalam kesegeraan, kesementaraan. Kontrol dan jejaring sosial lalu berubah, tercabik, menjadi sobekan-sobekan tanpa identitas yang utuh. Eksitensia terus tergerus dan kadang berakhir lumpuh. Berebut mimpi yang jauh sambil tanpa henti kehilangan setiap ihwal yang paling dekat dengan diri sendiri; esensia. Dunia pun tampaknya justru di luar kendali kita. Sebuah dunia yang lepas kendali (runaway word)_menjelma sebagai titik temu nafas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wajah kebangsaan kita saat ini tak ubahnya seperti aransemen dari ketidakberdayaan dan kelumpuhan sistem pendidikan dan politik kita. Pendidikan kita hanya mampu mencipta agitasi-agitasi, manusia-manusia yang senang meniru, bukan manusia yang berpikir dan bertindak besar. Pendidikan yang bergerak linier dan hampa spritualitas. Sistem politik kita pun tidak lagi menjadi hunian kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan tereduksi menjadi investasi kekuasaan. Sebuah imperium yang tidak menyemai narasi pembelaan dan kesetiakawanan, melainkan lebih kepada mutasi kekuasaan lama menjadi baju kekuasaan baru. Betapa sistem pendidikan dan politik kita kering kemanusiaan dan gersang kebudayaan. Kebudayaan timur yang menyerupai wasterland (kebudayaan barat). Seperti yang sudah diramalkan oleh T.S, Elliot bahwa kebudayaan kita menjadi ”The Hollow Men”, gagah tapi kosong. Secara material, semakin banyak sekolah dan perguruan tinggi, sistem politik kita pun sudah semakin menganut leksem demokrasi kebarat-baratan, tetapi tidak sedikitpun perubahan yang dapat kita maknai, kita rengkuh, dan untuk kita pestakan. Pesta demokrasi pun menjadi ajang musuh-musuhan, bentrok-bentrokan, bahkan perang dengan yang lain. Bukan pesta untuk kita saling merangkul, berbagi kisah, berjabat penuh mesra, dan untuk saling mengingatkan. Kita pun menjadi ”The Lost Generation”, generasi yang hilang, seperti yang disinyalir Homi Bhaba_.

Pada lintasan politik, paradigma baru berkecambah. Politik, tidak hanya lagi sekadar menyusun seperangkat siasat, strategi, dan metodologi pergerakan yang mumpuni dalam rangka meraup kemenangan di panggung politik, melainkan politik meloncat menjadi statistika (riset), kalkulasi riil dari teknik yang dipilih untuk memosisikan kepentingan atau individu pada posisi tertentu. Etos politik pun bergerak dari seni mengeksploitasi kepentingan dan peluang (art’s politics) menuju hukum matematika politik (mathematics politics). Dari kuali-politik menuju kuanta-politik, bahkan mungkin juga menjadi kuanli-politik_. Jargon ’politik adalah panglima’ bukan isapan jempol semata. Politik telah jelma menjadi kekuatan dominan yang mengukuhkan pranata sistem berbangsa dan bernegara, mulai dari level kepemimpinan paling bawah sampai paling atas.
Dalam domain politik, anggota dan simpatisan merupakan salah satu faktor penting dalam rangka pemenangan partai. Posisinya, sangat menentukan dalam mengartikulasi dan memobilisasi pemilih dari pelbagai kalangan, mulai dari pemilih cerdas sampai pemilih tradisional. Selain itu, anggota dan simpatisan merupakan ujung tombak terdepan dalam mengawal kehendak dan cita-cita partai. Partai yang berhasil melokalisir dan mengkolektivisir peran-fungsi anggota dan simpatisannya, maka partai tersebut sedang memersiapkan dirinya secara maksimal dalam arena pertarungan, baik internal maupun eksternal. Kans menjadi pemenang dalam kontestasi politik sangat mungkin kebolehjadiannya, sebab didukung dan disokong oleh kekuatan individu dan kolektif yang memahami perannya dalam jagat raya politik kontemporer.

Konstelasi politik dari waktu ke waktu bergerak secara dinamis, termasuk di dalamnya perilaku pemilih dan partai. Fakta sejarah menunjukkan bahwa sejak medio 1955 (pemilu pertama) sampai dewasa ini, pemenang Pemilu pada jagat politik Indonesia lebih dipengaruhi oleh faktor tokoh, mesin (struktur dan infrastruktur) partai, dan faktor anggota dan relawan yang bekerja tanpa lelah dan ragu dalam memobilisasi kekuatan secara maksimal. Ketiga hal tersebut, memiliki peran dan posisi strategis masing-masing dalam memperjuangkan visi-misi partai tertentu dalam rangka mendapat sambutan hangat dari publik.

Partai politik sebagai organisasi massa dan kader tentunya tidak lepas dari hakikatnya untuk merebut, mempertahankan dan menggunakan kekuasaan. Untuk mendapatkan itu semua partai politik butuh dukungan massa yang riil yang terus-menerus meningkat. Kemenangan dalam perebutan, pemertahanan dan penggunaan kekuasaan yang diperoleh bukan berarti tugas partai politik sudah selesai. Kemenangan partai politik dalam Pemilihan Umum hanyalah langkah awal dari proses yang panjang. Sebagai agen demokrasi, Partai politik mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Dalam suatu sistem demokrasi, keberadaan partai politik merupakan suatu hal yang niscaya. Partai politik merupakan pengejawantahan aspirasi rakyat. Partai politik muncul sebagai penghubung antara rakyat, di satu sisi, dan negara di sisi yang lain. Ia muncul dengan satu dasar pemikiran; bahwa dengan keberadaan partai politik, maka aspirasi rakyat akan dapat lebih terwadahi dan memiliki aksentuasi yang lebih kuat untuk turut mempengaruhi proses politik_. Penyaluran aspirasi konstituen yang pada akhirnya dijadikan suatu kebijakan publik yang bertanggung jawab merupakan tugas utama para pemegang kekuasaan. Selain itu, ada tugas yang juga tak kalah pentingnya yaitu melakukan kederisasi setelah melalui proses rekrutmen politik.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL