Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO,- Saya pernah berniat menulis dengan judul “Dari Bulan Ramadan Menatap Masa Depan Pemilu dan Demokrasi Indonesia”. Meskipun niatan tulisan ini, saya tidak lanjutkan, tetapi substansinya hampir sama dengan tulisan, sebagaimana judul di atas.
Saya ingin memuarakan—baik tulisan ini, maupun niatan tulisan sebelumnya—substansinya pada Pemilu dan kehidupan demokrasi Indoensia yang lebih baik pada masa yang akan datang, atau minimal untuk Pemilu tahun 2024 yang penyelenggaraan tahapannya sedang berproses. Pemilu adalah momentum strategis yang bisa menjadi barometer awal untuk mengukur nasib bangsa dan negara minimal satu periode ke depan.
Judul dan substansi tulisan ini, mengandung sesuatu yamg mirip dengan, yang oleh William James penulis buku The Varieties of Religious Experience, menyebutnya “konversi”—meskipun yang dimaksud oleh James relevan dengan perubahan keyakinan dalam diri seseorang. Istilah konversi pun adalah sesuatu yang tidak asing dalam tata kelola Pemilu di Indonesia: konversi suara menjadi kursi.
Sejatinya dalam hidup, tidak ada yang “tetap”, dan “statis”, harus terus bergerak, diubah, mengalami reformasi, transformasi, dan termasuk pula dalam makna “konversi”. Ketika “suara rakyat” dikonversi menjadi “kursi”, dan ini yang dalam pandangan saya terinspirasi dari pernyataan Prof. Haedar Nashir, bisa disebut dengan “fenomena hilir”.
Ketika ada “fenomena hilir”, seharusnya atau idealnya harus pula disadari terkait adanya “fenomena hulu”. Sama halnya ketika Haedar menegaskan bahwa politik uang itu adalah “fenomena hilir”, dan ada “fenomena hulu” yang harus diperbaiki, maka saya pun ingin mengatakan ketika “suara rakyat” masih terkadang mengandung hal paradoks, masih sering diwarnai dengan praktik-praktik yang seungguhnya berpotensi merusak, maka ada “fenomena hulu” yang harus diperbaiki pula.
Suara hati, yang ibarat arus sungai, bisa pula disejajarkan atau dipandang sebagai “fenomena hulu” yang akan menentukan “suara rakyat”. Suara rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah elan vital.
Konstitusi negara Indonesia, sebagaimana kita bisa membacanya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan hal senada dengan “suara rakyat” yaitu pada Pasal 1 ayat (2) ditegaskan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undng Dasar”. Indonesia—yang menurut konstitusi negara ditegaskan pula sebagai “Negara kesatuan yang berbentuk republik” dan “negara hukum” maka wujud “kedaulatan” idealnya memang bukan dalam bentuk kekuatan fisik apalagi kekerasan, tetapi diwujudkan dalam bentuk “suara”. Minimal inilah yang dalam benak saya mengalami proses algoritmik sehingga memandang urgensi “suara rakyat”. Namun, “suara hati” harus menjadi core value di dalam “suara rakyat” itu sendiri.
Mengapa suara hati dipandang sebagai core value dari suara rakyat? Untuk sampai pada jantung jawaban dari pertanyaan ini, kita harus memandang bahwa “suara rakyat” bukan hanya semata aktivitas fisik seseorang ketika datang ke tempat pemungutan suara (TPS) atau ketika beberapa orang berkumpul melakukan demonstrasi. Sekali lagi cara pandang kita harus melampaui ini agar mampu menembus ke jantung jawaban.
Apa yang dimaknai sebagai “suara rakyat” khususnya dalam konteks kepemiluan dan/atau proses demokratisasi, berawal dan melekat dalam diri individu-individu atau personal. Sedangkan apa yang ada dalam diri setiap orang, individu atau personal, bukanlah sesuatu yang bergerak atau merespon dan merefleksi secara tunggal. Namun, dalam setiap orang ada serangkaian, akumulasi, dan ada big data yang termasuk pula mengalami, seperti yang seringkali saya sebut dengan proses algoritmik.
Para sahabat pembaca, mungkin masih ingat dengan beberapa tulisan saya yang lain, di mana di antaranya, saya pernah menegaskan: pertama, meminjam aksioma sikap dari John C. Maxwell, “Masa depan suatu bangsa dan negara tercermin dari sikap generasi mudanya”, dan “Sikap awal menentukan lebih dari apa pun juga”; dan kedua, secara hierarkis diri kita sangat didominasi oleh pengaruh dimensi psikologis daripada fisik-biologis.
Apa yang dipandang sebagai sikap oleh Maxwell, dalam pandanga Islam adalah kecenderungan hati. Begitu pun jika memerhatikan para pakar psikologi atau psikolog terkait hierarki dan dominasi di atas, bisa ditegaskan bahwa “hati”-lah yang menggerakkan dimensi fisik-biologis. Maka tepatlah ajaran Islam “Dalam diri manusia ada segumpal daging, jika itu baik, maka baiklah semuanya”.
Dari beberapa uraian di atas, kita, saya dan para sahabat pembaca sudah bisa memahami dengan baik, bahwa benar, jika “suara hati” menjadi landasan maka “suara rakyat” akan berkualitas. Mengapa kesimpulannya seperti itu? Perilaku termasuk aktivitas dalam memberikan suara di TPS digerakkan oleh “hati” dalam hal ini pancaran “suara hati”.
Jika para sahabat pembaca pernah membaca buku Ary Ginanjar Agustian, salah satunya saja, maka—sebagaimana yang saya alami—bisa sampai pada kesimpulan bahwa “suara hati” itu selalu baik, benar, positif, produktif, konstruktif, dan kontributif. Jika ada yang bertentangan, paradoks atau menggambar sesuatu yang merupakan antitesis terhadapnya, maka sesungguhnya itu bukan suara hati, melainkan suara yang telah melewati “belenggu hati”.
Dari pembacaan itu, saya memahami bahwa “suara hati” sesungguhnya hanya memiliki dua fungsi: pertama, mengajak kita kepada kebaikan; dan kedua, mencegah diri dari keburukan. Ini bisa disimpulkan bahwa “suara hati” intinya hanya bermuara pada kebaikan dan kebenaran.
Lalu, bagaimana cara mengonversi suara hati menjadi suara rakyat? Untuk kepentingan ini, saya tetap meminjam pandangan Ary Ginanjar yang disebutnya “tujuh belenggu hati”. Hanya saja, saya dari “7 belenggu hati” ini, terlebih dahulu dikonversi menjadi positif, diinterpretasi ulang, dan bisa saja mengalami proses derivatif dan kontekstualisasi. Jadi, pandangan saya dan Ary Ginanar, dalam tulisan ini mengalami elaborasi positif, mengalami sejenis proses “integrasi” dan “interkoneksi” sebagaimana pandangan dan istilah yang sering digunakan oleh M. Amin Abdullah.
Jika suara hati menjadi core value dari suara rakyat, bisa dipastikan kualitas pemilu dan apapun proses demokratisasi lainnya, akan bermuar pada integritas, dan profesionalitas. Tetapi jika sebaliknya, maka Pemilu dan kehidupan demokrasi akan bermuara pada kondisi chaos.
Jika suara hati menjadi cove value dari suara rakyat maka: Pertama, sebelum menentukan pilihannya sebagai bentuk kristalisasi suara rakyat, maka dirinya akan senantiasa mengedepankan pengetahuan yang sesuai faktanya setelah memperhatikan rekam jejak, visi-misi, dan platform perjuangan kandidat tertentu termasuk kader partai politik tertentu. Dirinya tidak terjebak pada prasangka negatif, yang merupakan hasil dari proses black campaing, dan hoax yang ikut merusak Pemilu dan proses demokrasi.
Kedua, seseorang yang menggunakan suara hatinya sebelum memberikan pilihannya sebagai refleksi “suara rakyat”, maka dirinya akan mengedepankan prinsip-prinsip yang relevan dengan nalar kebangsaan: seperti “ketuhanan”, “kemanusiaan”, “persatuan”, “kerakyatan”, dan “keadilan”. Mereka yang mengedepankan suara hatinya, maka bisa dipastikan nilai-nilai Pancasila akan senantiasa menjadi barometer dalam menyalurkan aspirasi dan suaranya. Termasuk akan ikut berjuang maksimal untuk menyukseskan pemilu, karena dalam dirinya akan terdapat prinsip, bahwa Pemilu adalah hal strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan hasil dan konsekuensinya menjadi tanggungjawab bersama.
Ketiga, dengan suara hati yang menjadi basis suara rakyat, maka proses yang dilewati dalam Pemilu, bukan hanya berbasis pada pengalaman, terutama pengalaman negatif, tetapi tetap pada koridor hukum dan regulasi yang ada, mengikatkan diri pada etika, dan termasuk spirit dan nilai-nilai luhur bangsa. Mereka tidak akan larut pada praktik politik uang, dengan mengatakan “dari Pemilu ke Pemilu, hal itu adalah sesuatu yang lazim”. Melainkan, akan senantiasa memiliki upaya untuk menolaknya.
Keempat, suara hati yang menjadi landasan utama suara rakyat, maka siapa saja dalam menyalurkan pilihannya bukan berdasarkan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan semata, tetapi lebih mengutamakan kepentingan umum, bangsa dan negara. Yang senada dengan ini, dan pernah terjadi dalam kehidupan keluarga yaitu: pada saat itu, dalam pelaksanaan Pemilu, ada keluarga yang ikut menjadi calon legislatif, saya tidak pernah mau memilihnya karena saya menilai keluarga tersebut, belum layak menjadi wakil rakyat di parlemen. Saya tidak boleh egois, dengan hanya mengutamakan keluarga lalu memilih orang yang tidak layak. Kepentingan umum, rakyat, bangsa dan negara harus menjadi orientasi utama sebagai salah satu suara hati.
Kelima, orang yang memiliki suara hati sebelum menyalurkan suara rakyat-nya, akan senantiasa memiliki radius sudut pandang yang luas. Suaranya tidak diberikan kepada seseorang yang hanya dengan dasar iming-iming, janji-janji yang belum jelas, tetapi melandaskan pada berbagai pertimbangan yang matang, tanpa kecuali rekam jejak, visi, dan misi yang dimiliki oleh calon tertentu.
Keenam, seseorang yang memiliki suara hati, sebelum menyalurkan pilihannya, maka dirinya tidak mengedepankan pikiran-pikiran, perasaan, dan pertimbangan pragmatis, material, dan sesaat. Dirinya akan memiliki radius pertimbangan yang lebih luas, bukan hanya untuk dirinya dan saat ini, tetapi bagaimana masa depan bangsa, termasuk untuk nasib anak-cucunya kelak.
Ketujuh, seseorang yang memilki suara hati, maka dirinya pun akan diperkaya dengan berbagai referensi yang otoritatif sebelum menentukan pilihannya. Mereka akan serius mempelajari rekam jejak, visi, dan misi para kandidat untuk selanjutnya menentukan pilihan yang layak untuk diperjuangkan.
Dengan suara hati pun, maka Pemilu dan proses demokratisasi lainnya, tidak akan diwarnai dengan praktik politik uang, hoax, kampanye SARA, konflik, kecurangan, dan berbagai sikap dan perilaku yang keluar dari rel integritas dan profesionalitas. Sekali mari kita ingat bersama bahwa, dua fungsi utama hati kita adalah: mengajak diri kita kepada kebaikan, dan mencegah dari perbuatan buruk. Jadi muaranya tetapi satu yaitu pada sesuatu yang baik, benar, positif, produktif, konstruktif, dan memberikan kontribusi besar bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi pada kehidupan yang lebih luas dan strategis, termasuk dalam berbangsa dan bernegara.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023