Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipLiterasiNasionalOpiniPolitik dan Hukum

Di Bawah Bayang-Bayang Populisme

×

Di Bawah Bayang-Bayang Populisme

Share this article
                                                              Sumber : Internet

Oleh : Muh. Asratillah S

 

Khittah.co _ Gia Nodia seorang guru besar Filsafat Politik pada Institute of Philosophy di Tbilisi Georgia,pada tahun 1992 melalui tulisannya yang berjudul Nationality and Democracy, menjelaskan bahwa salah satu kendala negara-negara berkembang atau dunia ketiga dalam menjalankan demokrasi politiknya adalah rentannya demokrasi politik tersebut ditikam atau berada di bawah bayang-bayang populisme dan nasionalisme etnik. Banyak yang menjadi sebab akan hal ini, salah satunya menurut Gia Nodia adalah karena gerakan masyarakat sipil yang belum berkembang (apalagi jika diperparah dengan kecenderungan paramiliterisasi gerakan sipil) sedimikian rupa sehingga tak mampu untuk mengimbangi populisme yang merebak.

Hal tersebut bukannya tanpa konsekuensi lebih lanjut, populisme yang banal hanya akan menggiring pada kegagalan politik. Kegagalan politik berarti kegagalan ekonomi dan ujung-ujungnya akan mengundang gelombang frustasi yang semakin besar, maka pada saat itulah ide kebangsaan sangat rawan terlepas dari tambatan demokratisnya dan membawa negara ke tepian rasisme dan fasisme. Nasionalisme yang tak tertangani dengan baik hanya menggiring rakyat kita menjadi sekumpulan orang yang mengalami “penyempitan ego” yang akut disertai dengan “penggumpalan kebanggaan sektarian” yang menjadi-jadi.

Pembahasan soal titik-titik rawan hubungan kompleks antara nasionalisme dengan demokrasi terutama dalam masyarakat majemuk, telah coba dibahas dan diantisipasi oleh banyak ahli. Donald L Horowits seorang Professor Ilmu Hukum di Universitas Duke dalam tulisannya yang berjudul Democracy in Plural Society (1998), menjelaskan bahwa terdapat semacam ironi dalam perkembangan demokrasi. Salah satunya adalah saat “masa depan” tengah disusun atau dirancang, maka “masa lalu” (dalam hal ini agama, etnik, leluhur, bahasa dll. ) akan selalu mengganggu dengan hebat, dengan kata lain tak ada titik awal yang segar. Walaupun demokrasi menjadi salah satu katalis globalisasi di mana setiap orang dapat “melihat” sekaligus “dilihat” oleh orang dari sudut dunia yang berjauhan, tetapi di satu sisi terjadi semacam “kondensasi” identitas-identitas etnik primordial.

Donal L Horowits mengatakan bahwa salah satu persoalan rawan yang timbul dalam laju demokrasi adalah “persoalan siapa yang mesti berada “di sini”…..”., dan “ jawabannya biasanya berkisar pada siapa yang dipandang tiba di sini pertama kali dan di mana sesungguhnya dimaksud dengan “di sini” itu. Mereka yang menganggap para leluhurnya datang lebih dahulu kemungkinan besar “menuntut prioritas politik berdasarkan status kepribumian atas mereka yang dianggap sebagai kaum pendatang”. Ada semacam kecenderungan bagi rezim negara demokrasi, untuk melakukan pembatasan masyarakat politik yang harus mendapatkan prioritas.

Soal batas dan pembatasan masyarakat politik ini, Donald L Horowits mengatakan seringkali menyangkut tiga pertanyaan penting : Pertama, Siapa yang dimaksud dengan warga negara asli ? Kedua, Di antara warga negara, siapa yang memiliki hak istimewa dan dalam bentuk apa ? Ketiga, Norma dan kelaziman siapa yang secara simbolik selaras dengan norma dan kelaziman negara ?. Selanjutnya ketiga pertanyaan tersebut menderivasi diri menjadi ketentuan-ketentuan khusus , soal siapa yang lebih prioritas menjadi pegawai negeri, masuk angkatan bersenjata dan kepolisian dan sebagainya.

Tentang Populisme A. Setyo Wibowo pernah menuliskan dua hal Pertama populisme muncul saat demokrasi melemah. Populisme terkadang muncul dengan memanfaatkan kebebasan terbuka demokrasi. Saat populisme berhasil merebut kemenangan maka hal yang pertama kali dilakukannya adalah membunuh demokrasi dan melahirkan para diktator ( kanan maupun kiri). Kedua karena ketidakpercayaannya pada hukum/konstitusi , maka populisme selalu terancam gagal dan tidak sustainable. Tapi yang paling menakutkan dari populisme adalah karena dia memanfaatkan serta memanipulasi irasionalitas massa, padahal irasionalitas dan sentimen emosi itu ibarat kobaran api yang besar ataupun air bah, yang tak mudah dikendalikan bahkan senantiasa meminta korban baik lawan maupun kawan.

Populisme bagi saya adalah konsekuensi yang wajar akibat tegangan antara demokrasi dan nasionalisme, dialektika antara ke-perikemanusiaan dan ke-tanah air-an. Maka di sinilah dibutuhkan kelihaian etik para negarawan, dalam menangani aspirasi-aspirasi yang mengarah pada pelayanan seluruh umat manusia dan disatu sisi harus mendapatkan solusi untuk persoalan-soalan yang berkaitan langsung dengan tanah airnya. Lalu mengapa arus populisme justru berkembang biak di wilayah perkotaan, yang penduduknya sudah lumayan mengalami melek pendidikan ?

Hari Juliawan dalam Gemerlap Kota : Runtuhnya Harapan (2016), menjelaskan bahwa bagi banyak orang, kota telah memberi sejuta janji akan kemungkinan mobilitas sosial, terutama janji untuk bebas dari jeratan kemiskinan dan keterbelakangan. Maka berduyun-duyunlah para warga kota mencicipi pendidikan formal demi menggapai pekerjaan yang layak (di sini pendidikan bukan lagi soal kebijaksanaan yang layak tapi sekedar pekerjaan/pendapatan yang layak ). Desa yang mengalami pemiskinan akibat beberapa faktor bertemu pada muara yang sama dengan de- industrialisasi perkotaan, dan tentunya hal ini akan menghambat laju dan mempersempit ruang gerak para pelaju nasib. Pada titik tersebut kota telah menjadi monumen akan dua hal yang paradoks,kota telah menjadi monumen keberhasilan (gedung pencakar langit, papan-papan reklame yang menyilaukan, supermarket yang memajang simulakra kemewahan) sekaligus monumen kegagalan peradaban (kemiskinan, pengangguran, ketimpangan). Kota bermetaforfosis menjadi etalase toko raksasa, bagi yang tak berpunya mereka hanya bisa melihat-lihat dari luar, sedangkan bagi yang berpunya mereka dapat meraih isi etalse semau hati.

Ada semacam pameran kesejahteraan yang banal di perkotaan, kenapa banal ? sebab kesejahteraan yang hanya dimiliki segelintir orang dengan sengaja dipertontonkan walaupun diketahui bahwa banyak kaum papa yang bertebaran. Maka mereka (kaum papa, “oerang kecil”, kaum marhaen, kaum mustadh’afin) pun frustasi sekaligus fatalis dan akhirnya menjatuhkan harapan pada program-program politik populis nan messianis. Rombongan para “korban ketidakadilan struktural” (saya lebih menyukai istilah ini ketimbang istilah “pribumi”) pun memupuk dendam, dan dendam mereka dijadikan sebagai pintu masuk oleh para demagog untuk memeluk mereka, provokasi berbaju sektarian pun mudah merebak, konflik horizontal mudah disulut, padahal akar masalahnya adalah soal ketidakadilan.

Sebagai penutup essay sederhana ini, saya akan mengutip perkataan dari bung karno , “demokrasi masyarakat, sosio-demokrasi, adalah timbul karena sosio-nasionalisme. Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan berdiri dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demokrasi ala revolusi Perancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala inggris, ala Nederland, ala Jerman dll.- tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki….”.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UNIMEN

Leave a Reply