
KHITTAH.CO, MAKASSAR — Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 sebesar Rp 3.921.088 atau naik 7,21 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini dinilai mampu menahan penurunan daya beli pekerja, tetapi belum cukup kuat untuk mendorong peningkatan kesejahteraan secara nyata.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Dr. Rendra Anggoro, menilai bahwa secara ekonomi kenaikan UMP tersebut lebih berfungsi sebagai instrumen perlindungan dasar bagi pekerja berupah minimum.
“Secara nominal kenaikan ini cukup untuk menahan penurunan daya beli. Namun, belum signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan riil pekerja,” ujar Rendra, saat dikonfirmasi, Jumat, 26 Desember 2025.
Menurut Rendra, struktur konsumsi pekerja berupah minimum didominasi oleh kebutuhan pokok. Sementara itu, inflasi pada kelompok kebutuhan dasar seperti pangan, energi, dan transportasi kerap lebih tinggi dibandingkan inflasi umum.
“Akibatnya, kenaikan upah yang diterima pekerja pada akhirnya habis untuk menutup kenaikan harga kebutuhan dasar. Secara riil, manfaatnya relatif terbatas,” kata dia.
Ia menambahkan, kebijakan UMP pada dasarnya memang dirancang sebagai jaring pengaman minimum, bukan sebagai instrumen peningkatan kesejahteraan secara progresif.
Belum Mencapai Upah Layak
Dalam perspektif ekonomi tenaga kerja, Rendra menilai UMP Sulsel saat ini masih mencerminkan upah minimum administratif, belum memenuhi kriteria upah layak.
Upah layak, menurutnya, seharusnya memungkinkan pekerja memenuhi kebutuhan hidup secara wajar, termasuk pangan bergizi, hunian yang layak, layanan kesehatan, pendidikan, serta perlindungan sosial, terutama bagi pekerja yang telah berkeluarga.
“Struktur biaya hidup di wilayah perkotaan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa UMP saat ini belum sepenuhnya menutup kebutuhan tersebut. Karena itu, UMP masih berfungsi sebagai batas bawah legal untuk mencegah upah terlalu rendah,” ujarnya.
Rendra juga mengingatkan bahwa secara konseptual UMP dihitung untuk satu pekerja lajang, bukan untuk menopang kehidupan satu keluarga.
“Jika UMP digunakan untuk menghidupi keluarga dengan tiga atau empat anggota, yang terjadi justru stagnasi penghidupan. Ini menjadi persoalan struktural dalam kebijakan pengupahan,” kata Wakil Dekan III FEB Unismuh Makassar itu.
Dampak Berbeda bagi Dunia Usaha
Terkait dampak terhadap dunia usaha, khususnya UMKM dan sektor padat karya, Rendra menilai efek kenaikan UMP tidak bersifat seragam.
Bagi pelaku usaha dengan produktivitas rendah dan margin keuntungan tipis, kenaikan upah berpotensi menambah tekanan biaya produksi. Namun, di sisi lain, peningkatan pendapatan pekerja juga berpeluang mendorong konsumsi domestik.
“UMKM yang bergantung pada pasar lokal justru bisa merasakan efek positif dari meningkatnya daya beli masyarakat,” ujar Rendra.
Ia menekankan bahwa dampak akhir kenaikan UMP sangat bergantung pada kemampuan pelaku usaha meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta keberadaan kebijakan pendamping dari pemerintah daerah, seperti subsidi modal, pelatihan, dan dukungan teknologi.
Produktivitas dan Investasi
Rendra menilai kenaikan UMP tidak serta-merta menghambat investasi. Dengan prasyarat tertentu, kebijakan ini justru dapat berkontribusi pada peningkatan produktivitas.
“Jika diiringi perbaikan kualitas tenaga kerja, kepastian regulasi, dan iklim usaha yang kondusif, kenaikan upah bisa meningkatkan motivasi dan stabilitas tenaga kerja,” katanya.
Namun, tanpa kebijakan pendukung tersebut, dunia usaha berpotensi memandang kenaikan UMP semata sebagai tambahan beban biaya, yang pada akhirnya dapat menekan minat investasi.
Perlu Kebijakan Terintegrasi
Agar kenaikan UMP berdampak nyata pada kesejahteraan pekerja, Rendra menekankan pentingnya integrasi kebijakan pengupahan dengan kebijakan struktural lainnya.
Pengendalian harga kebutuhan pokok menjadi kunci agar kenaikan upah tidak tergerus inflasi. Selain itu, peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui pelatihan, penguatan infrastruktur teknologi bagi UMKM, serta perluasan jaminan sosial dan layanan publik perlu dilakukan secara simultan.
“Tanpa pendekatan yang komprehensif, kenaikan UMP berisiko hanya menjadi angka regulatif tanpa perubahan berarti dalam kualitas hidup pekerja,” kata Rendra.





















