Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

DPD IMM Sulsel Gagal Paham Soal Kemanusiaan

×

DPD IMM Sulsel Gagal Paham Soal Kemanusiaan

Share this article
Hutan, Mitos, dan Kegagalan Kita

KHITTAH.CO, Terkait kemanusiaan, hampir bersamaan dengan deklarasi kemerdekaan Indonesia, kurang dari seabad lalu, negara juga mulai mengakui eksistensi Hak Asasi Manusia (HAM) melalui pasal 28 UUD 1945.

Deklarasi Universal HAM tahun 1948 menjelaskan bahwa setiap individu berhak atas kebebasan, keadilan, dan perdamaian dunia.

Namun, sayangnya, pasca perayaan kemerdekaan tahun ini, menguak sebuah peristiwa memiriskan terkait HAM di kampus ternama Sulsel. Peristiwa itu adalah pengusiran mahasiswa baru oleh pejabat yang tidak membebaskan mahasiswa bergender nonbiner.

Hal tersebut dianggap melanggar kebebasan sebagaimana Pasal 28 ayat 3 berbunyi
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Juga dijelaskan dalam UU No. 39 tahun 1999 pasal 3 menyebut bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan diskriminasi yang menyalahi HAM.

Richard T. Peterson memetakan fungsi HAM ada 3, yaitu pencegahan terhadap kesenjangan, pencegahan terhadap kekerasan, dan pencegahan terhadap pelecehan.

Fadli Andi Natsif, menjelaskan dalam menentukan prioritas terhadap HAM membaginya atas dua; hak hidup dan hak asasi. Hak hidup seperti hak untuk hidup dan menghidupi adalah anugerah dari Tuhan yang tidak dapat dicabut.


Hak asasi merupakan hak dasar setiap manusia yang didapat secara konstitusional, seperti hak politik dan ekonomi, sosial, dan budaya. Hak ini bisa saja dicabut jika terjadi pelanggaran berat, semisal kasus pembunuhan ataupun kasus korupsi.
Dalam peristiwa di atas, negara tidak mungkin mencabut hak belajar seseorang karena pendapat pribadinya mengenai gender.

Sementara itu, Fadli Andi Natsif, menjelaskan dalam menentukan prioritas terhadap HAM membaginya atas 2; hak hidup dan hak asasi.
Hak hidup seperti hak untuk hidup dan menghidupi adalah anugerah dari Tuhan yang tidak dapat dicabut.

Apalagi kejadian tersebut terjadi di ruang akademik, tempat segala hal diuji secara ilmiah, bukan melalui sentimen sentimen.

Hal yang semakin membut ini miris adalah, beberapa saat setelah peristiwa di kampus itu, Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sulawesi Selatan (DPD IMM Sul-Sel) angkat bicara mengenai hal tersebut.

“Kita patut mencurigai kejadian ini diskenariokan untuk mendorong kampanye LGBT masuk kampus, ini berbahaya, baik pendekatan kemanusiaan, hukum negara, hukum agama, kesemuanya bertentangan dengan perilaku LGBT karena mendegradasi kemanusiaan,” begitu narasi DPD IMM Sulsel yang tersebar di beberapa media massa.

Menurut saya, tindakan DPD IMM Sulsel ini patut disayangkan. Di tengah banyaknya isu kenegeraan, isu peramparasan tanah dan lain sebagainya, kakanda DPD IMM malah lebih tertarik menghakimi individu yang nonbinar.

Padahal, sebagaimana yang sering digaungkan Ketua PP Muhammadiyah, Haidar Nasir, IMM merupakan laboratorium pengetahuan. Maka IMM perlu hadir menguji setiap masalah moral dan mitos yang berkembang di masyarakat. IMM harus membawa segala problematika ke ranah yang lebih rasional.

IMM harus mengalahkan sistem pengetahuan awal yang rentan diwarnai oleh pemikiran mistis, sebuah gejala ketertinggalan budaya atau bahkan kontradiksi budaya.

Jika DPD IMM Sulsel masih beranggapan bahwa pilihan untuk bergender nonbiner sebagai penolakan akan moralitas dan sejenisnya, kita bisa keberatan. Apakah kesadaran mistis semacam itu merupakan kesadaran yang kita kenal? Terhadap ini kita pun dapat menyatakan nasionalisme pun mempunyai sifat-sifat mistis.

Najih Burhani beranggapan bahwa identitas politik mayoritas, seperti di Indonesia sama seperti masalah yang saat ini terjadi di India. Dengan berkuasanya paham Hindu Fundamentalis dalam rezim pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi, seperti disinggung Robert Hefner, pandangan serupa juga membayang-bayangi Indonesia, dengan Islam sebagai agama mayoritasnya.

Dalam konteks masyarakat pinggiran, mayoritas bisa dilihat sebagai “pusat” dan minoritas sebagai “pinggiran”.

Disini kita bisa menempatkan kelompok nonbiner, LGBT, atau homoseksual merupakan kelompok minoritas. Mereka yang semula berada di pinggiran, sebagian karena memang sengaja dipinggirkan, kini mulai merangsek ke “pusat”.

Akhirnya mereka menjadikan “pusat” tidak selalu identik dengan otoritas yang bersifat resmi, tapi juga yang tidak resmi atau di luar negara. Ketika otoritas “pusat” tidak lagi menjadi monopoli negara, maka mereka yang disebut sebagai masyarakat pinggiran, tidak lagi hanya yang dipinggirkan oleh otoritas negara, tetapi juga oleh otoritas dari pusat-pusat baru yang “nonnegara”.

Masyarakat pinggiran adalah kelompok-kelompok warga negara yang – karena identitas sosial dan kulturalnya, lokasi geografisnya, orientasi seksualnya, keterbatasan fisiknya mapun asal-usulnya – rentan (vulnerable) dan tidak memiliki kesetaraan bagi dirinya dalam hubungan kekuasaan dengan entitas yang memiliki otoritas dan menjadi “pusat”.

Sebuah “masyarakat pinggiran tidak mungkin ada tanpa adanya entitas yang berperan sebagai “pusat” dan dinamika hubungan “pusat”. “Pinggiran” inilah yang kemudian menarik untuk diperhatikan.

IMM merupakan ortom yang bergerak untuk tujuan mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.

Gerakan awal Muhammadiyah melakukan rasionalisasi besar besaran yang mempunyai akibat penting dalam pemikiran Islam. IMM dan Muhammadiyah menanggalkan cara berpikir bidah dan taklid, sebagai cara keluar dari alam pikiran mistis.

Karena itu, seharusnya cara ini menjadi dasar berprilaku manusia-manusia di Persyarikatan Muhammadiyah, termasuk ortom ortom yang ada di dalamnya. Sikap inilah yang mesti dipakai dalam melihat kasus mahasiswa Unhas yang mengaku nonbiner itu.

Kita memang tidak sepakat dengan pilihan gender nonbiner yang dianggap mengarah ke LGBT. Namun, menanggalkan hak asasi atas gender dan hak pendidikan orang orang yang tidak heteroseksual bukanlah solusi.

Bahkan, ini menyimpang dari nilai nilai kemanusiaan yang sempat disinggung di awal. Seharusnya kakanda di ortom ortom lebih peka terhadap isu yang lebih subtansial semisal rancangan RKHUP yang tidak pro rakyat.

Ditulis oleh:

Muhammad Ian Hidayat

Kader IMM UIN Alauddin Makassar

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply