
Oleh: Nashrul Mu’minin (Content Writer Yogyakarta)
KHITTAH. CO – Gelombang protes rakyat yang terjadi pada 25 Agustus 2025 di depan kompleks DPR bukanlah sekadar aksi jalanan biasa. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan yang mengendap lama di dada publik. Kebijakan terbaru mengenai tambahan tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan bagi anggota DPR, di tengah penghasilan mereka yang rata-rata sudah mencapai Rp 230 juta per bulan, menjadi percikan api yang menyulut bara kemarahan. Bagaimana mungkin di tengah rakyat yang berjuang menghadapi kenaikan harga pangan, sulitnya lapangan kerja, dan menurunnya daya beli, para wakil rakyat justru menambah fasilitas mewah untuk diri mereka sendiri?
Fenomena ini memperlihatkan jurang besar yang semakin melebar antara rakyat dan DPR. Data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) bahkan menguatkan sinyal ketidakadilan ini. Dengan pendapatan sekitar Rp 2,8 miliar per tahun, setiap anggota DPR sejatinya sudah masuk jajaran elite ekonomi. Namun, kenyataan tersebut tidak berbanding lurus dengan kinerja maupun citra publik mereka. Justru sebaliknya, rakyat menilai DPR semakin jauh dari tugas mulia sebagai representasi aspirasi rakyat. Karena itu, wacana pembubaran DPR yang sebelumnya hanya gaung di media sosial kini menjelma menjadi tuntutan serius dalam demonstrasi besar yang penuh darah dan benturan.
Di sinilah paradoks itu muncul. Secara konstitusional, pembubaran DPR bukanlah hal yang bisa dilakukan secara sepihak. Pasal 7C UUD NRI 1945 telah menegaskan bahwa presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR. Aturan ini lahir dari sejarah panjang tarik-menarik kekuasaan eksekutif dan legislatif di Indonesia. Presiden Soekarno pernah membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menggantinya dengan DPR-GR, yang kala itu dipandang sebagai jalan keluar atas ketidakstabilan politik. Dekade kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencoba mengulang langkah serupa lewat dekrit tahun 2001 untuk membekukan DPR dan MPR. Namun, langkah Gus Dur dianggap inkonstitusional, justru berujung pada pemakzulannya. Dari sinilah MPR menambahkan pasal tegas dalam amendemen UUD 1945 agar peristiwa serupa tidak berulang.
Artinya, meskipun rakyat menggaungkan pembubaran DPR, secara hukum wacana itu tidak mungkin dijalankan melalui tangan presiden. Kedudukan DPR begitu kuat dan sejajar dengan presiden. Mekanisme checks and balances dalam sistem presidensial memang dirancang agar tidak ada lembaga yang bisa dengan mudah menyingkirkan yang lain. Bahkan, konflik politik sekeras apa pun harus ditempuh melalui jalur konstitusional, bukan dekrit atau langkah sepihak.
Apakah kekuatan konstitusi berarti DPR bebas dari krisis legitimasi? Jawabannya jelas tidak. Justru saat DPR memanfaatkan posisinya yang tak tergoyahkan untuk menumpuk privilese, di situlah legitimasi politiknya semakin runtuh. Kekuasaan tanpa legitimasi ibarat bangunan megah tanpa pondasi: tampak kokoh, tetapi sewaktu-waktu bisa runtuh diterjang badai. Demonstrasi besar yang terjadi Agustus ini hanyalah gejala awal dari krisis kepercayaan yang lebih dalam.
Konstitusi memang menjamin DPR tidak bisa dibubarkan, tetapi konstitusi juga menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat. Jika DPR kehilangan kepercayaan rakyat, maka secara moral lembaga tersebut sudah lumpuh, meskipun secara hukum masih berdiri. Inilah titik rawan demokrasi kita: ketika hukum dan konstitusi melindungi keberadaan lembaga, tetapi legitimasi publik terhadap lembaga tersebut terus terkikis.
Menurut saya, jalan keluar bukanlah pada pembubaran DPR, karena secara hukum itu tidak mungkin, melainkan pada perombakan mendasar terhadap kultur politik dan tata kelola lembaga legislatif. Transparansi anggaran, pemangkasan tunjangan yang tidak rasional, serta mekanisme akuntabilitas yang lebih ketat harus menjadi tuntutan utama. Selain itu, reformasi sistem pemilu untuk mendorong munculnya wakil rakyat yang benar-benar dekat dengan rakyat mutlak diperlukan. Tanpa perubahan substansial ini, DPR hanya akan menjadi simbol kekuasaan kosong yang semakin dibenci publik.
Kesimpulannya, DPR hari ini memang tidak bisa dibubarkan, tetapi juga tidak bisa terus-menerus berjalan di atas jurang krisis legitimasi. Suara rakyat yang mengguncang dalam demonstrasi Agustus 2025 adalah alarm keras bahwa lembaga ini sudah kehilangan arah. Jika DPR tidak berbenah, ia akan menjadi lembaga yang secara hukum tetap ada, tetapi secara moral sudah mati di mata rakyat. Dan itulah paradoks paling berbahaya dalam demokrasi: ketika wakil rakyat tidak lagi mewakili rakyat.