Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Erlina Riska: Tangisan untuk Sang Rembulan

×

Erlina Riska: Tangisan untuk Sang Rembulan

Share this article
Erlina Riska, Demisioner Ketua Bidang Ipmawati PD IPM Bantaeng 2019-2021.

Oleh: Agusliadi Massere

Opini – Kesunyian dan kesedihan yang menyelimuti pun, jika ingin merengkuh ibrah, kita masih bisa menemukan bahwa sungguh kehidupan senantiasa menampakkan tanda-tanda keseimbangan dan kekuasaan Allah. Ada yang lahir, ada pula yang meninggal. Ada ceria, ada tangis dan sedih.

Filosofi kehidupan pun mengajarkan bahwa peristiwa, dinamika, dan episode kehidupan seperti  yang terjadi hari ini, sungguh mengajarkan keseimbangan. Erlina Riska gadis cantik nan cerdas putri kedua dari pasangan Nasiruddin-Hasni, ketika lahir pada tanggal 8 Desember 2003 di Desa Kaloling, Kab. Bantaeng,—yang sebentar lagi akan merayakan hari kelahirannya yang ke-21 tahun—dirinya menangis dan orang-orang sekitar menjemputnya dengan suka ria.

Hari ini, 30 Oktober 2024, keseimbangan kehidupan itu sungguh terjadi, di mana dirinya (baca: Erlina) bahagia telah melewati cobaan berat dengan penyakit yang banyak orang tidak sanggup menerima dan menjalaninya, dan kini sedang dalam perjalanan menuju tempat kekalnya di sisi Allah, tetapi kami sangat bersedih. Gadis cantik nan cerdas itu, yang saya menyebutnya Sang Rembulan, kini meninggalkan diriku, orang tuanya, kakaknya, keluarga, para sahabat, dan teman seperjuangannya. Yang pasti, kini dirinya telah meninggalkan kami dan kita semua.

Seandainya dirinya masih mampu membaca tulisan ini, tulisan spesial untuknya, meskipun selama ini saya hanya rutin mengirimkan tulisan-tulisan inspiratif dan narasi kehidupan kepadanya, saya hanya akan berpesan “Sang Rembulan, yakinlah bahwa dirimu hanya mampu meninggalkan kami semua secara fisik-biologis. Namun, namamu, banyak kenangan indah, karya, dan sumbangsih positif, produktif, fungsional, dan konstruktif yang telah kau persembahkan, akan senantiasa terpahat indah dalam diri ini, dan diri kami semua”.

Sang Rembulan, sampai alinea keempat ini saja, rasanya jari ini tidak sanggup untuk melanjutkan torehan kisah dan kenangan itu, sungguh berat perpisahan ini. Bahkan, penglihatan ini pudar karena bulir-bulir air mata masih terus menutupinya. Namun, saya harus bertahan untuk terus melanjutkannya sebagai upaya mengabadikan setetes kisah hidup Sang Rembulan. Banyak hal inspiratif yang bisa menjadi ibrah bagi kami, yang harus senantiasa kami baca tentang Sang Rembulan, supaya Sang Rembulan senantiasa abadi.

Saya yakin tidak ada yang keberatan jika Erlina gadis cantik nan cerdas itu disebut Sang Rembulan. Tidak ada yang bisa membantah bahwa dirinya memang cantik seperti rembulan. Namun, bukan hanya dalam makna sesempit itu saya menyebutnya Sang Rembulan. Ada makna yang lebih dalam, positif, produktif, fungsional dan konstruktif. Dirinya bukan hanya memancarkan dimensi eksoterik yang terkesan hanya diluar saja yang patut diapresiasi. Namun, dimensi esoteriknya, pancaran kebaikan dan kiprahnya yang lebih yang menyentuh makna rembulan itu.

Bumi, tidak hanya membutuhkan matahari. Bumi pun membutuhkan rembulan agar kehidupan indah di malam hari. Kehidupan membutuhkan rembulan agar mendapatkan cahaya meskipun cahaya itu adalah bukan cahayanya sendiri, tetapi cahaya yang dipantulkan. Kehidupan tidak akan pernah mempersoalkan cahaya langsung atau pun cahaya pantulan, yang pasti mengandung prinsip positif, produktif, fungsional, dan konstruktif.

Saya yakin, Erlina yang dikenal sebagai aktivis pelajar yang berkecimpung dalam Ikatan Pelajar Muhammadiyah, dengan posisi terakhir sebagai Ketua Bidang Ipmawati PD. Ikatan Pelajar Muhammadiyah Bantaeng, telah menorehkan banyak hal positif, produktif, fungsional, dan konstruktif dalam kehidupan ini, khususnya di kalangan pelajar Muhammadiyah. Dirinya dikenal, bukan hanya rajin dan cerdas di sekolah, tetapi juga sangat aktif berorganisasi tanpa kecuali organisasi intra sekolah (baca: OSIS SMA Negeri 1 Bantaeng).

Sebelum lahir dari rahim ideologis Muhammadiyah, saya sudah mengenal Sang Rembulan itu karena kakaknya, Lilis Ariska. yang juga lahir dari rahim ideologis Muhammadiyah, sering mengajak saya, istri, dan anak-anakku untuk datang ke rumahnya. Sang Rembulan itu, bukan hanya cerdas tetapi dirinya memegang teguh prinsip yang banyak orang tidak sanggup untuk meneguhkannya, integritas.

Saya masih ingat, ketika Sang Rembulan itu akan mendaftar di SMA Negeri 1 Bantaeng sebagai calon siswa baru. Dirinya meng-chat saya via WhatsApp, “Mohon bantuan dan petunjuk-petunjukta Kak. Saya sedang mendaftar di SMA Negeri 1 Bantaeng.” Saya pun meresponnya, dan memberikan sinyal, bahwa saya akrab dengan Kepala SMA Negeri 1 Bantaeng, dan beberapa guru-gurunya di sana.

Sang Rembulan, hanya membalas, “Mohon maaf Kak, tidak usah dihubungi mereka, cukup saya diberikan bekal ilmu, pesan-pesan motivasi. Saya ingin lulus secara murni supaya kemampuan diri ini bisa terukur.” Jika orang lain cenderung ingin memanfaatkan ordal (baca: orang dalam), dirinya, Sang Rembulan itu sama sekali tidak ingin menempuh salah satu langkah strategis tersebut.

Sang Rembulan sungguh sangat mengekspresikan filosofi rembulan, di mana cahaya memberikan manfaat bagi bumi dan kehidupan. Sang rembulan di masa hidupnya, sering kali juga terjun melibatkan diri ke dalam aksi-aksi sosial-kemanusiaan. Sikap, perilaku, dan akhlaknya pun menunjukkan sosok perempuan yang salihah.

Jilbab sempurnanya pun senantiasa menghiasi dirinya, tanpa kecuali di rumahnya, karena saya sering ke rumahnya. Hal ini, senantiasa memancarkan cahaya kebaikan, keteladanan bagi perempuan-perempuan lainnya khususnya bagi pelajar Muhammadiyah.

Sang Rembulan  yang kami tangisi hari ini, saya sangat mengenalnya rajin belajar, semangat literasinya juga sudah mulai semakin mekar. Selain itu, dirinya pun berani dan mandiri dalam menjalani kehidupan. Hal ini, kita bisa menemukan penandanya ketika dirinya semangat sekali berjuang untuk sukses melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi di luar pulau Sulawesi.

Orang tuanya, terutama ibunya, sebenarnya sangat melarangnya untuk kuliah di pulau jawa itu. Bahkan dirinya pernah meng-chat saya, “Kak, kira-kira alasan terbaik apa yang bisa saya sampaikan ke ibu,supaya diizinkan kuliah di Yogyakarta.” Membaca chat Sang Rembulan itu, maka saya pun memberikan narasi-narasi, alasan-alasan yang berpotensi bisa diterima oleh ibunya.

Bahkan, dalam rangka itu, di antara kunjungan saya bersama istri ke rumahnya, hanya untuk menyukseskan misi tersebut, meskipun menggunakan model komunikasi persuasif secara tidak langsung ke ibunya. Di antaranya, saya memberikan keyakinan ke ibunya, bahwa Erlina ini, tidak seperti perempuan lain, sangat bisa dipercaya untuk menjalani kehidupannya secara mandiri meskipun jauh dari rumah.

Erlina, Sang Rembulan itu, termasuk kakaknya Lilis Ariska, minimal kepada anak kami yang masih kecil, sering menjadikannya sebagai contoh atau sebagai teladan agar bisa diikuti sikap dan perilakunya. Meskipun umurnya masih sangat muda, tetapi tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa contoh perempuan muda ideal ada pada Sang Rembulan tersebut.

Sang Rembulan yang memancarkan kearifan rembulan, sebagaimana rembulan dalam makna harfiah, cahaya yang dimiliki, dipancarkan kembali adalah cahaya dari sumber cahaya murni matahari. Sang Rembulan ini, dalam masa hidupnya juga menyadari bahwa kemampuan yang dimilikinya adalah pancaran cahaya matahari, dalam hal ini Muhammadiyah atau IPM.

Di Ikatan Pelajar Muhammadiyah Bantaenglah dirinya menjalani pergumulan, pergulatan, dialektika, dan dinamika kehidupan yang membuat dirinya semakin bercahaya dan memberikan banyak kontribusi positif dalam kehidupan. Dirinya semakin mendapatkan pancaran cahaya dan semakin bercahaya setelah dinyatakan lulus sebagai penerima beasiswa full atau seratus persen di Program Studi Farmasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Sebenarnya ketika John C. Maxwell, pernah menegaskan dalam Aksioma Sikap-nya, bahwa gambaran masa depan suatu bangsa dan negara tercermin dari sikap dan perilaku generasi mudanya, maka pada diri Sang Rembulan, si gadis cantik nan cerdas itu sudah tercermin. Inilah pula yang membuat saya selalu yakin bahwa dirinya adalah sosok yang layak menjadi teladan.

Ajaran kehidupan yang telah dipancarkan dari Muhammadiyah sebagai rahim ideologis di mana dirinya pernah digembleng, sangat tercermin pada diri Sang Rembulan tersebut. Dirinya sangat sabar, kuat menjalani cobaan penyakit yang dideritanya, dengan vonis dokter bahwa wajib cuci darah dua sampai tiga kali dalam sepekan seumur hidupnya.

Kurang lebih tiga bulan menjalani cobaan tersebut, selain dalam kondisi fisiknya yang sangat lemah, dirinya selalu masih semangat. Sering memberikan pesan-pesan kepada kedua orang tua, dan kakaknya tentang kehidupan yang mengandung hal inspiratif. Dalam kondisinya yang sudah lemah pun, sangat sulit ditemukan momen di mana dirinya kelihatan menangis.

Kenangan terakhir saya dengan Sang Rembulan tersebut, ketika mengurus surat rujukan, maka saya pun berperan utama untuk mendorong kursi rodanya dari ruangan yang satu ke ruangan yang lain. Pada hari itu pun—untuk mengurus rujukan ke Rumah Sakit Wahidin Makassar—banyak  yang bergerak dari pihak RSUD Anwar Makkatutu Bantaeng untuk terlibat memudahkan prosesnya. Banyak yang rela membantu, saya yakin, itu karena semasa sehatnya, Sang Rembulan ini pun senang membantu orang lain, terutama dalam aksi sosial-kemanusiaan.

Kenangan chat terakhirnya pun, saya masih mengingatnya “Mohon maaf Kak, saya sering repotkanki selama ini.” Saya pun menegaskan melalui balasan chat  “Insya Allah, saya tidak pernah merasa direpotkan. Jika pun seperti itu, bahkan saya siap direpotkan terutama agar cepatki sembuh.”

Saya dan Sang Rembulan sama-sama lahir dari rahim ideologis Muhammadiyah. Bahkan dirinya termasuk kakaknya ikut menjadi bagian ketika awal masuk atau dikader di Ikatan Pelajar Muhammadiyah Bantaeng. Namun, dalam perjalanan kami bukan hanya diikat oleh sekadar ikatan ideologis. Terasa kami, saya dan istriku dan Sang Rembulan membangun jarak psikologis yang lebih dekat begitu pun dengan keluarganya yang lain.

Jarak psikologis ini pun, sehingga jika Sang Rembulan (begitu pun kakaknya) cenderung tidak ingin meminta bantuan ke orang lain karena takut merepotkan, maka terhadap saya dan istriku, perasaan itu sudah sirna. Sang Rembulan pun, meskipun masih mahasiswa karena mungkin jarak psikologis kami sudah sangat dekat, ketika waktu itu sedang menjalani libur dan pulang kampung, pulang ke Bantaeng, dirinya pun membawakan oleh-oleh Baju-Batik, dan ternyata ukurannya sangat pas dengan saya. Liburan berikutnya pun giliran istri saya mendapatkan oleh-oleh kue yang sangat lezat.

Inilah semua sehingga meskipun dirinya, Erlina Riska adalah Sang Rembulan, maka saya dan kami semua tetapi menangisi kepergiannya. Dan semoga tulisan ini pun bisa menjadi ruang abadi bagi Sang Rembulan yang meskipun harus kami tangisi hari ini.

 

Agusliadi – Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, dan Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply