Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Facebook Pro dan Literasi Digital

×

Facebook Pro dan Literasi Digital

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Jujur saja di antara sekian banyak tema yang pernah saya tulis, tema inilah yang paling lama saya pending (menunda) penulisannya. Salah satu alasan, saya juga sebenarnya tidak ingin mengusik kesenangan orang, apa lagi jika di antara yang terlibat atau yang akan tersentuh dan tergugat di dalam tulisan ini adalah orang-orang yang saya kenal begitu pun sebaliknya, dia dan/atau mereka mengenal saya.

Hanya saja, saya juga tidak sanggup untuk menunda selamanya—apa lagi yang tersorot dalam tulisan ini belum pasti orang dekat atau yang saya kenal tersebut, yang bisa dipastikan lebih banyak orang lain. Hati ini selalu terusik bukan karena benci tetapi ada harapan, komitmen, prinsip, dan misi untuk senantiasa meneteskan inspirasi, pencerahan, dan penyadaran meskipun hanya setetes.

Dalam hukum sistem sosial, perbuatan negatif dan destruktif seseorang, itu berpotensi dampaknya berimbas kepada orang lain, siapa saja, termasuk ke diri kita atau minimal ke orang-orang terdekat. Dalam pandangan sistem sosial inilah, fungsi dakwah harus selalu hadir. Apa lagi dakwah  merupakan satu di antara tiga misi mulia manusia. Misi mulai lainnya yaitu beribadah dan sebagai khalifah.

Per hari ini, pengguna Facebook di Indonesia diperkirakan kurang lebih 120-an juta. Meskipun tidak ada data yang pernah dirilis terkait khusus pengguna Facebook Pro atau istilah lengkapnya Facebook Profesional yang sering pula disingkat dalam bentuk penulisannya menjadi Fbpro, tetapi saya memperkirakan angkanya mencapai lebih dari lima puluh persen dari pengguna Facebook tersebut. Tentu saja angka ini tetap berpengaruh secara keseluruhan karena antara Facebook dengan setting (pengaturan) profesional dan biasa, itu tidak memiliki benteng penghalang berdasarkan perspektif koneksi digital dalam perangkat teknologi.

Saya juga pernah menggunakan Fbpro untuk akun profil Facebook. Saya menggunakannya kurang lebih dua bulan saja. Kurang lebih setahun yang lalu, saya pun meng-off-kan Fbpro tersebut dan kembali pada setting (pengaturan) Facebook Biasa.

Ada beberapa aturan dan kecenderungan proses algoritma Fbpro yang tidak sesuai dengan spirit dan prinsip saya dalam menggunakan media sosial, khususnya Facebook. Beberapa tulisan saya dihapus secara otomatis oleh sistem algoritmanya, karena menilai tulisan-tulisan saya yang terbit di media online kemudian saya unggah di beranda Facebook dan bagikan ke puluhan grup Facebook sebagai pelanggaran dan “bom-like”. Saya tidak menghendaki aturan dan algoritma seperti itu karena saya memiliki misi utama yaitu menyebarkan ilmu di sebanyak mungkin ruang yang ada. Facebook Biasa tidak memberikan batasan seperti itu, sehingga saya kembali menggunakannya.

Meskipun profil Facebook saya tidak lagi menggunakan atau berada dalam pengaturan Fbpro. Namun, saya pun merasa bahwa diri ini harus tetap memiliki kepedulian terhadapnya untuk memberikan sentuhan pencerahan dan penyadaran.

Selain karena hukum sistem sosial yang telah dijelaskan di atas, kita pun dalam kehidupan ini cenderung tersandung pada batu kecil. Mungkin, ada yang memandang bahwa sikap, perilaku, dan praktik di Fbpro itu hanya rutinitas dan  aktivitas biasa, apa lagi berpotensi dibayar, tetapi dalam jangka waktu lama potensi negatif dan destruktifnya akan sangat terasa. Hari ini pun, dampaknya sudah ada yang terasa jika kita memahami, menyadari, dan mengakuinya secara jujur.

Tulisan ini berpotensi besar ada yang merasa tergugat, mudah-mudahan saja jika pun merasa tergugat tetapi akhirnya mereka akan memahami dan menyadari semuanya sehingga berubah haluan—bukan berarti saya menyarankan untuk berhenti menggunakan Fbpro tetapi memperbaiki kualitas kontennya. Harapan terbesar saya, para sahabat pembaca tulisan ini tergugah karena sesungguhnya tujuan saya pun untuk mengulas lebih dalam tema ini, saya memiliki harapan yang semuanya itu masih bermuara pada upaya “Mencerdaskan kehidupan bangsa” minimal dalam rangka membentuk generasi emas, bukan sebaliknya generasi cemas dan generasi strawberry (generasi yang cantik dan gagah, tetapi mentalnya lembek, rapuh, serta sering tenggelam dan larut dalam kegalauan). Jadi, bisa dipastikan tulisan ini bukan karena dendam pada aturan Fbpro yang menyulitkan dan mengganggu semangat berbagai ilmu saya.

Sudah lama, saya sampai pada kesimpulan bahwa telah terjadi suatu kondisi yang bisa disebut “Matinya content creator”. Serupa dengan pandangan Tom Nichols “The Death of Expertise” (Matinya kepakaran), matinya content creator (kreator konten) bukan berarti tidak ada lagi kreator konten, justru semakin banyak dan membeludak. Hanya saja, kualitasnya semakin rendah, dangkal, tanpa nilai, tanpa makna mendalam, tidak terarah, dan tujuannya tidak jelas, kecuali hanya satu kata “monetisasi” untuk selanjutnya menunggu pundi-pundi dollar atau rupiah akan mengalir.

Selain itu, para content creator dalam makna yang sebenarnya—yang penuh kualitas tinggi, berbobot, bernilai, bermakna, menginspirasi, dan mencerahkan—itu  tenggelam dan tergantikan oleh para pengguna Fbpro yang juga menamai dirinya sebagai content creator—mereka ini pun sering menulisnya dengan “konten kreator” yang sebenarnya salah tetapi sepertinya telah menjadi salah kaprah, kesalahan yang dimaklumi dan dibenarkan). Selain itu, penonton atau jumlah jam tayang dari konten yang diproduksi oleh para content creator dalam makna yang sebenarnya dan memiliki konten dengan bobot yang berkualitas itu, semakin hari semakin berkurang dan sangat rendah ketimbang para pengguna Fbpro, content creator yang kontennya lebih banyak kurang berbobot, yang penting ada, dan asal jadi.

Coba bayangkan, apakah kecenderungan dan kondisi mental kita tidak terseret pada situasi psikologis “tergila” ketika konten yang hanya menampilkan “goyang-goyang kaki” dan konten yang kurang lebih sama dengan ini, itu bisa menembus jam tayang atau ditonton sampai tiga juta lebih, ada pula yang sampai tujuh juta—like, share, dan komentar pun itu tembus di angka menghampiri jutaan. Sedangkan konten-konten yang mengedukasi dan bernuansa dakwah terkadang hanya menembus di angka ratusan ribu sebagai angka maksimal.

Pengguna Fbpro yang tidak dibarengi dengan literasi digital yang mapan, bukan hanya menciptakan kondisi dalam makna seperti di atas “Matinya content creator”. Ada banyak potensi negatif dan destruktif lainnya, meskipun ada yang mungkin dampaknya akan terasa ketika melewati jangka waktu yang cukup lama. Ini terjadi nanti setelah melewati jangka waktu tertentu karena prosesnya pun melewati proses algoritmik secara teknologis dan psikologis, termasuk melewati hukum, prinsip, dan mekanisme kerja habits.

Melalui Fbpro dengan gaya dan perilaku penggunanya yang menamai dirinya sebagai content creator, hari ini, kita bisa melihatnya bukan hanya berselancar di permukaan dan terlena dalam kedangkalan konten dengan kualitas sudah pasti sangat rendah, tetapi mencerminkan pula hilangnya kepedulian, kepekaan, empati, dan/atau etika. Kepedulian, kepekaan, dan/atau empati di sini bukan hanya dalam makna sempit yang sering dimaknai pada satu peristiwa yang membutuhkan uluran tangan. Sebab, jika maknanya sesempit itu, maka kisah Bojes dan Lia bisa dijadikan alasan pembelaan diri untuk membantah kesimpulan atau pandangan tersebut.

Kepedulian, kepekaan, empati, dan/atau etika yang hilang itu berada dalam konteks lain, yang karena kecendrungan uang sebagai hasil dari monetisasi dan video fyp. Nalar dan jiwanya dibutakan. Hari ini, kita menyaksikan atau pernah menyaksikan, pengguna Fbpro sebagai pelakunya yang jumlahnya tidak sedikit, yang mengunggah konten peristiwa duka-cita (kematian), kena musibah, aib seseorang (seperti pertengkaran), sambil melengkapinya dengan tagar #fyp, #viral, #monetisasi, #Fbpro, #Jangkauanluas, #reels, dan lain-lain.

Dan lebih parah lagi—saya pun sepakat menilainya seperti itu, sebagaimana unggahan seseorang di Facebook yang menyampaikan juga keresahannya terhadap perilaku pengguna Fbpro“Setelah banyak yang nonton di-screenshot kemudian di-up dan berkata Masya Allah tembus….sekian penonton, terima kasih semua yang nonton”. Jadi kondisi yang seperti ini bukan hanya pemahamannya yang dangkal tetapi kesadarannya telah hilang.

Bahasa kasarnya terkait kondisi di atas, “Kita sebenarnya sangat kurang ajar jika membuat konten seperti itu”. Padahal, dan ini yang meningkatkan tingkat keparahannya tersebut, orang-orang yang ada dalam video peristiwa yang diunggahnya itu sebagai kontennya, sama sekali tidak ada hubungannya secara sosio-psikologis dengan dirinya. Video yang dijadikan konten hanya hasil searching.

Selain itu, yang buruk pula pengaturan dan algoritma konten video yang memiliki potensi besar untuk menghasilkan posisi fyp atau ditonton, dibagikan, direspons banyak pengguna Facebook lainnya adalah video-video yang hanya berdurasi singkat. Video berdurasi lima menit saja, itu dinilai terlalu lama. Harapannya yang bisa diakomodir oleh fitur reels saja. Atau bisa lebih singkat lagi karena rata-rata rekomendasinya video yang dipandang potensial sangat ditentukan oleh tiga puluh detik pertama.

Dalam pandangan saya, kecenderungan konten yang durasi videonya hanya 1,5 menit atau lebih singkat dari itu akan mejadi prakondisi yang akan memengaruhi dan mengubah pola kerja mental agar kelak kita, salah satunya, bukan hanya ceramah-ceramah di masjid dan kajian-kajian majelis taklim yang membuat kita bosan. Ceramah yang diistilahkan kultum (baca: kuliah tujuh menit) saja, kita pun akan bosan. Yang membuat kita bosan bukan karena tema dan isi pembahasannya tetapi durasi atau waktu yang digunakan sebab otak dan hati sudah terpola dengan video-video yang hanya satu menit bahkan kurang, yang selama ini diproduksi oleh orang-orang yang menamai dirinya content creator dan kita pun sering mengikuti dan menontonnya.

Ke depan, kita akan semakin bosan dan malas mendengar ceramah atau dakwah yang durasinya lama. Seperti ceramah-ceramah Ustaz Adi Hidayat di channel Youtube-nya—yang sangat mencerahkan—dengan durasi rata-rata minimal 1,5 jam, berpotensi—jika kita telah terpola dengan konten reels—untuk tidak lagi menontonnya. Jadi dampak buruknya, hidup kita akan semakin berada di permukaan dan asyik dalam kedangkalan.

Minimal dari kondisi di atas, kita harus memperkuat diri dengan literasi digital. Seperti pandangan saya, bahwa Facebook atau pun media sosial lainnya, itu memiliki potensi sebagai media riset sosial yang akan digunakan oleh pihak tertentu terutama pemilik dan penguasa media untuk mengonstruksi satu data yang akan dianalisis dalam mengetahui kecenderungan, potensi karakter diri kita yang terbiasa di media sosial Facebook, termasuk dalam pendekatan geografis atau wilayah tertentu, mereka bisa menganalisisnya.

Data yang berproses dalam Facebook (sebagai contoh saja) seperti apa yang kita unggah, di-like, dikomentari, dibagikan, ditonton, dan di-skip ini akan melahirkan kesimpulan dan selanjutnya menentukan rumusan kebijakan sampai pada langkah teknis, taktis, praksis, dan strategis yang bisa dilakukan oleh penguasa media untuk memengaruhi kita semua para pengguna agar harapan dan target mereka bisa tercapai tanpa kecuali target bisnis dan ideologisnya.

Bahkan, sebagaimana pendidikan yang dicurigai sebagai aparatus ideologis bagi penguasa, Facebook pun terutama Fbpro bisa saja dijadikan pula sebagai aparatus ideologis oleh penguasa media tertentu untuk memengaruhi opini sampai karakter, dan pola interaksi kita tanpa kecuali di luar media sosial dan dunia virtual.

Kita pun perlu memahami, bahwa unggahan, like, komentar, share, dan skip yang kita lakukan di media sosial bukan hanya memengaruhi algoritma yang terjadi dalam dunia teknologis, tetapi juga algoritma yang terjadi dalam diri, baik secara personal maupun kolektif. Sebagai contoh positif, jika kita sering mengunggah buku-buku, me-like dan meng-share tentang buku, maka secara teknologis yang sering lewat di beranda Facebook kita adalah hal yang sama. Ini pun, akan memengaruhi jiwa dan pikiran kita. Tentu saja kesimpulan penguasa media atau minimal statistik penggunaan media kita di server-nya mereka, akan terbaca pula seperti apa personalitas diri kita. Hal berbeda melahirkan pun hasil algoritma dan analisis yang berbeda.

Jika kita memiliki komitmen yang kuat secara kolektif (diperankan oleh banyak pengguna Fbpro) untuk mengutamakan nilai, makna, tujuan yang jelas, dan orientasi yang edukatif, inspiratif, mencerahkan, dan menyadarkan, termasuk tidak ingin tergoda memproduksi video-video singkat, maka algoritma teknologi pun akan berpotensi berubah. Bahkan, ada potensi para pemilik atau penguasa media—yang terkadang memainkan pula pengaturan algoritma yang sesuai harapan dan target bisnis dan ideologisnya—akan menyesuaikan diri dengan kecenderungan para penggunanya. Kata kuncinya adalah komitmen kita yang kuat sebagai pengguna media dan dilakukan secara berjamaah atau kolektif.

Prof. Mujiburrahman (Rektor UIN Antasari Banjarmasin) menegaskan dalam bukunya Sihir Gawai: Renungan Filosofis-Sufistik Era Digital (2021) “Jika ditinjau secara ilmiah, selain teknologi, para pembuat aplikasi itu menerapkan psikologi dan antropologi untuk mengikat pengguna”.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply

Opini

Oleh : Dzanur Roin (Guru SD Muhammadiyah 12…