Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Fenomenologi dan Agama (Bagian 2)

×

Fenomenologi dan Agama (Bagian 2)

Share this article

1468312827020_685925

Oleh : Muh. Asratillah S*

Agama sebagai Intensi pada “Yang Ilahi

Jika kita melakukan refleksi sejenak atas agama yang kita anut, maka kita barangkali bersepakat bahwa agama dari segi tertentu membuat kita merasa melampaui diri atau mengalami transendensi diri, seakan-akan agama dapat mengehentikan sejenak “denyut” ke-fana-an diri kita yang menubuh (la corps sujet)_ menuju pada sesuatu yang melampaui ke-fana-an atau menuju pada yang transenden. Agama dapat meng-immanen-kan yang transenden bersama kita, sekaligus mentransendenkan diri kita menuju “yang transenden”. Jika kita meminjam kosakata fenomenologi Husserl, yang trasnsenden merupakan sesuatu yang mengatasi dan melampaui persepsi kesadaran, walaupun remang-remang menorehkan jejaknya dalam yang nampak, inilah barangkali yang membuat agama menjadi sesuatu yang paradoks. Di satu sisi agama adalah sesuatu yang sangat populer (keriegma) , tapi disatu sisi agama menyimpan sesuatu yang misteri (dogma). Tapi harus diingat, justru melalui kehadiran yang transenden inilah sehingga persepsi menjadi mungkin, dengan kata lain yang transenden memungkinkan adanya lebenswelt.

Yang transenden akan membuat dunia kehidupan (lebenswelt) selalu memberikan kemungkinan pemaknaan (vermoglichkeit) yang tak terbatas bagi manusia, sehingga manusia sanggup untuk mengalami sekaligus memahami dunia dalam segala kemungkinannya. Keterarahan manusia pada kemungkinan yang tak terbatas menjadi fundamen modus keberadaan manusia dan juga menjadi dasar bagi segala bentuk pemaknaan akan realitas (seinssinn). Keterarahan pada kemungkinan yang tak terbatas dengan sendirinya juga menyingkapkan dimensi lain manusia yaitu dimensi transendensi diri manusia atau kemungkinan manusia untuk mengatasi keterputusan dan keberpusatan dirinya. Agama dapat membantu kita memahami dan takjub dalam sebuah wawasan akan realitas yang selalu membawa “sesuatu yang lebih” beserta dirinya.

Barangkali dalam tulisan ini perlu juga untuk menimbang pemikiran seorang fenomenolog yang bernama Max Scheler (1874-1928) tentang agama. Scheler memiliki harapan atau barangkali obsesi untuk melakukan analisis terhadap struktur hakiki dari agama, dan menurutnya tugas ini sebaiknya dilakukan oleh fenomenologi. Dalam hal ini ada tiga tugas bagi fenomenologi menurut Scheler, yang pertama, yaitu melakukan analisis mengenai sifat-sifat hakiki dari agama. Kedua, melakukan studi bagaimana “yang ilahi” manampakkan atau menyingkapkan diri bagi manusia dan ketiga, melakukan studi mengenai aktus-aktus religius yang dipraktikkan manusia untuk menerima penampakan “yang ilahi”. Kalau kita mengingat kembali soal intensionalitas Husserl maka dalam agama kesadaran manusia memilki intensionalitas terhadap “yang ilahi”, dimana kesadaran terarah sekaligus tertambat pada “yang ilahi” dan secara bersamaan “yang ilahi” menampakkan atau memberikan diri dihadapan kesadaran manusia. Bagi Scheler yang terpenting bagi dia adalah aktus-aktus religius yang dilakukan manusia, tapi sebelumnya sangat penting bagi kita untuk mengetahui tentang apa “yang ilahi” itu.

Bagi Scheler, “yang ilahi” merupakan sesuatu terberikan bagi kesadaran manusia, yang memiliki dua ciri yaitu absolut dan kudus. “Yang ilahi” merupakan sesuatu yang absolut karena manusia sama sekali mengalami eksistensinya sebagai sesuatu yang sepenuhnya bergantung pada “yang ilahi”. “Yang Ilahi” merupakan sesuatu yang kudus karena “yang ilahi” merupakan nilai tertinggi dan tidak dapat diasalkan dari nilai lain. Bagi Scheller secara fenomenologis nilai-nilai dapat dibagi menjadi empat kelompok, pertama adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kesenangan dan ketidak senangan, dan hal ini bisa diakses melalui objek-objek yang dapat dicerap oleh indera tubuh manusia. Kedua adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan vitalitas dan ini berkaitan dengan kekuatan kehendak (walaupun seringkali buta) dari seseorang , hal ini pada konteks manusia terkait dengan prestise sosial.Ketiga yaitu nilai-nilai rohani, nilai-nilai ini berkaitan dengan epistemologi (soal benar dan salah), etika (baik dan buruk) serta estetika (indah dan jelek), nilai ini sama sekali melampaui segala bentuk diri kita sebagai organisme. Keempat adalah nilai yang menyangkut “yang kudus” dan “yang tidak kudus”. Nilai keempat lebih superior posisinya dan tidak bergantung dibanding nilai ketiga, kedua dan pertama. Nilai ketiga lebih superior dibanding nilai kedua dan pertama , lalu begitu seterusnya. Dengan kata lain nilai mengenai “yang kudus” lah, yang paling superior dan melampaui nilai-nilai yang lain.

Dalam menggambarkan “yang ilahi” sebagai yang kudus Scheler seringkali menunjuk pada buku Rudolf Otto (1896-1937) yang berjudul das Heiligie (The Idea of the Holy) (1917). Menurut Otto hampir semua tradisi keagamaan, ditandai oleh satu hal, yaitu kehadiran apa yang disebut dengan numen dan numinus , kedua kata ini secara sederhana menunjuk pada “kehadiran Tuhan”. Perasaan yang berada dalam kehadiran numinus sebagai suatu yang transenden tetapi sekaligus immanen karena beberapa aspeknya nampak di hadapan kesadaran kita, merupakan pengalaman kemanusiaan dasar. Maka dari itu bagi Otto, kehadiran numinus merupakan basis ontologi bagi suatu pengalaman religius. Kehadiran numinus ini akan menghasilkan rasa terkesan yang mendalam (takjub berkeheningan) dalam diri manusia, sehingga manusia merasakan “ketergantungan” padanya, dari sinilah akan lahir “rasa kemakhlukan”. Tapi bagi Otto, rasa kebergantungan bukanlah hal yang primer dalam sikap religius, karena numinus pertama-tama hadir kepada kita secara misterius dan perasaan mistik hanyalah akibat darinya, tak peduli akan istilah dan prsangka yang digunakan untuk menggambarkan rupa Tuhannya masing-masing, kehadiran numinus ini tidak bisa kita pahami kecuali kita menghubungkannya dengan ide tentang yang “kudus”.

Otto mengemukakan bahwa objek “kudus” merupakan sesuatu yang sifatnya “non rasional dan “non moral”, tapi itu tidak berarti bahwa objek “kudus” tersebut merupakan sesuatu yang irrasional ataupun immoral, tapi ini lebih berkaitan dengan ketidakefektifannya dan ketidakrelevananya jika kita mempertanyakan kerasionalan dan kemoralan saat perasaan kehadiran objek “suci” sedang menghampiri kita. Perasaan ini disebut Otto dengan istilah mysterium trememdum (misteri yang menggetarkan) dan perasaan ini mencakup beberapa hal, pertama, rasa segan (awe) mengacu pada sejenis perasaan ketakutan yang haru di hadapan yang misterius, karena yang misterius menjadi semacam “batu” yang membuat pengalaman keseharian kita yang normal menjadi “tersandung”, dan saat itulah kita menjadi sadar akan kehadiran akan sesuatu yang sepenuhnya lain sekaligus melampaui pengalaman kita sebelumnya. Kedua, pengakuan kemegahan (majesty), maksudnya kehadiran numinus akan melahirkan “keredah-hatian” dalam diri atau “rasa kemakhlukan”, tapi bagi penulis sendiri, perasaan ini tidak boleh dimaknai secara pasif belaka, disatu sisi melahirkan “rasa kehambaan” tapi sekaligus memperlihatkan kemungkinan bagi manusia untuk memperluas horizon pengalaman hidupnya dan ini merupakan batu loncatan bagi manusia untuk metransendensi dirinya. Ketiga, urgensi , yaitu semacam energi yang “membuncah” pada diri manusia saat merasakan kehadiran numinus, walaupun di satu sisi perasaan ini menambah rasa ngeri pada manusia, tetapi ini menunjukkan bahwa pengalaman ini adalah pengalaman yang hidup, mengakar pada diri kita sebagai “organisme”, menancap pada pengalaman konkret dan akhirnya bisa “mengintervensi” jalannya sejarah. Keempat pesona, walaupun kehadiran numinus sebagai objek yang “kudus” membuat kita takut, merasa bergantung dan ngeri, tapi kita merasakan ketertarikan yang begitu mendalam terhadap objek yang tak dikenal tersebut , maka pada titik ini objek yang “kudus” menjadi sebuah mysterium fascinacum atau misteri yang mempesona . Kehadiran numinus membawa serta paradoks bersama dirinya, di satu sisa dia mempunyai wajah sebagai misteri yang menggetarkan tapi di sisi lain dia memiliki wajah sebagai misteri yang mempesona dan menakjubkan.

Sekarang kita kembali pada pembahasan Max Scheler mengenai aktus religius. Scheler berpendapat bahwa aktus-aktus religius seperti doa, ibadah, bersyukur, baertaubat dan lain-lain, merupakan sesuatu yang sifatnya unik, dengan kata lain dia tidak bisa diaslkan pada aktus-aktus yang lain, dan tugas fenomenologi adalah membantu kita memahami aktus-aktus religius tersebut dalam keunikannya. Scheler merasa berkebaratan dengan gagasan Freud misalnya, yang mengandikan aktus religus sebagai residu infantilisme manusia, atau yang mengasalkan aktus religius sepenuhnya hanya sebagai resultan dari sebab-sebab yang sifatnya empiris dan sosial.

Menurut Scheler aktus religius memiliki tiga ciri. Ciri pertama adalah aktus-aktus religius memiliki intensi transenden terhadap dunia. Dalam fenomenologi semua aktus bersifat transenden jika setiap aktus ditandai dengan intensionalitas. Dalam intensionalitas semua aktus tertuju pada selain dari dirinya, dan ini berarti aktus meangalami transendensi. Dalam relasi antara aktus dan objek, dunia dipahami oleh kesadaran sebagai sebuah keseluruhan, sebagai kesaling keterkaitan segala objek dan di sisi lain subjek yang merupakan simpul dari segala aktusnya (persona) bertransendensi terhadap dunia. Kekahasan dalam aktus religius, intensionalitas aktus tidaklah tertuju kepada dunia atau salah satu objek yang berhingga dalam dunia. Yang berlangsung dalam aktus religius adalah keseluruhan objek-objek diatasi dan inilah yang disebut transendensi.

Ciri kedua, yang berkaitan dengan ciri pertama, bahwa yang dapat memenuhi intensi aktus religius hanyalah sesuatu yang bersifat ilahi. Objek yang berhingga takkan mampu melepaskan “dahaga” intensi aktus religius, karena aktus religius tertuju pada yang melampaui “yang berhingga”, walaupun ada objek berhingga yang dijadikan sarana dalam intensi religius, objek tersebut hanyalah berperan sebagai simbol yang mewakili dan turut berpasrtisipasi pada/dalam yang ilahi. Kalau misalnya kita meminjam kosakata dari Jacques Lacan, objek yang berhingga tak akan bisa mengisi gerowong rasa keberkekurangan (lack) dari aktus religius, dan yang bisa mengisinya hanyalah sesuatu yang ilahiah.

Ciri ketiga, bahwa aktus religius selalu menuntut respon atau reaksi dari objek intensionalitasnya. Hanya sejauh “yang ilahi” menyatakan diri maka intensi aktus religius akan terpenuhi. Scheler mangatakan tentang hal ini “setiap pengenalan akan Allah mau tidak mau merupakan pengenalan yang asalnya dari Allah”, dengan kata lain aktus religius harus menerima kenyataan, “yang ilahi” lah yang menjadi penyebab bagi adanya dimensi religius dalam persona yang memprkasrasai aktus-aktus religius. Maka bagi scheler religiusitas merupakan sesutau yang sifatnya hakiki pada keberadaan manusia, tapi manusia harus sebisa mungkin mengambil objek intensi yang adekuat bagi aktus religiusnya, intensi religius yang terperangkap dalam objek-objek yang berhingga akan melahirkan apa yang disebut dengan “pemberhalaan”. Tapi Scheler bukanlah filsuf yang melihat Tuhan sebagai entitas yang statis, bagi Scheler realitas berkembang karena berada dintara dua ketegangan yaitu antara impuls kehidupan yang buta tapi kuat dan roh yang memiliki prinsip mengatur tetapi tak memiliki daya kekuatan. Dalam perkembangan inilah objek Intesi aktus religius juga mengalami perkembangan, dan tempat berkembangnya “yang ilahi” yang paling baik adalah ada pada diri manusia.

Agama sebagai disclosure

Budhy Munawwar Rachman dalam buku yang berjudul Islam Pluralis (2001), mengemukakan bahasa agama sebagai pengalaman disclosure. Rachman mengemukakan bahwa dalam mengungkapkan atau dalam melakukan refleksi akan pengalaman keagamaan maka kita akan melahirkan apa yang disebut dengan model, yaitu semacam satu set pemaknaan tertentu akan pengalaman keagamaan. Setiap model akan membawa serta dalam dirinya apa yang disebut odd (“sesuatu yang memanggil, yang menarik-narik, yang mengherankan”). Jika kita bisa merasakan oddness ini maka kita akan segera sadar akan keberadaan qualifier, yaitu semacam penunjuk “jalan” kearah mana seharusnya membawa dan mengembangkan model yang ada. Pada titik ini ada dua fungsi logis yang berkaitan dengan qualifier tersebut. Pertama, kita diminta meneruskan model itu sampai batas tak berhingga. Kedua, jika kita sudah sampai pada “dinding” batas dari model yang ada, maka kita akan sampai pada apa yang disebut “melihat”. Proses inilah yang disebut oleh Kierkegard sebagai “loncatan iman” (leap of faith), yaitu kondisi dimana segala bentuk kategori-kategori yang kita ketahui atau percayai menjadi lebur dan tertangguhkan sejenak, maka lahirlah horizon pengalaman baru, dan kemunculan pengalaman baru itu disebut disclosure. Oleh Ian Thomas Ramsey (1915-1972) mengatakan bahwa ketersingkapan tersebut hanya bisa terjadi jika kita menerima kehadiran “yang ilahi” in a total commitment, komitmen total inilah yang akan mendasari iman.

Bagi penulis, agama sebagai sebuah disclosure akibat larutnya atau tertangguhkannya kategori-kategori pengetahuan yang kita gunakan sehari-hari dalam melihat realitas, memiliki paralelisme dengan salah satu gagasan penting Husserl yaitu gagasan mengenai dimensi paling mendalam dari melihat (schau). “Melihat” dalam fenomenologi Husserl maupun Heidegger memiliki arti yang pasif sekaligus aktif. Dalam artiannya yang pasif, “melihat” berarti melakukan penangguhan segala prasangka, anggapan , asumsi ataupun kategori-kategori berpikir dalam melihat realitas. Penangguhan ini disebut dengan istilah epoche atau dalam istilah Jerman disebut dengan einklammerung (menempatkan sesuatu di dalam tanda kurung). Kenapa epoche ini penting ?, karena kesadaran manusia memiliki “ambisi” yang cukup besar dalam memutlakkan apa yang kini dia persepsi, padahal bagi Husserl , kesadaran kita sebenarnya merupakan kesadaran yang terbatas (perspektival). Dengan kata lain kesadaran manusia seringkali luput untuk menggenggam sepenunhnya realitas, karena realitas yang nampak pada kesadaran manusia hakikinya merupakan realitas yang selalu melebihi apa yang nampak dari dirinya. Kesadaran akan yang lebih inilah akan menyeret kita pada pengalaman baru atau ketersingkapan (disclosure). Dalam pengertian yang aktif dari gagasan Husserl mengenai “melihat” bahwa kesadaran juga mampu menyingkap (erschlossen) struktur-struktur realitas yang paling mendasar. Cara melihat seperti ini berarti penglihatan yang bersifat langsung-mendasar-intuitif (wens-anschauung). “Melihat” dalam fenomenologi Husserl berarti memberikan (lassen) dirinya melalui caranya yang tertentu (manner of giveness).

Kita ketahui, salah satu hal yang tak bisa lepas dari keberagamaan kita adalah adanya liturgi, ritual, kitab suci, ataupun segala sesuatu yang bisa kita kategorikan sebagai perwakilan dari “bahasa agama”. Dalam menghadapi bahasa agama, sangat sulit jika kita menggunakan perangkat epistemologis yang cenderung rigid atau positivistik, maksudnya sangat sulit misalnya jika kita ingin menuntut kebenaran beberapa pernyataan dalam kitab suci misalnya (Tuhan, malaikat, mukjizat, iblis dan hal-hal gaib lainnya) sama halnya jika kita ingin menuntut status kebenaran terhadap pernyataan-pernyataan dalam ilmu pengetahuan. Karl Jaspers (1883-1969) mengatakan bahwa yang transenden hanya bisa didekati dengan chiffren, yaitu semacam simbol atau sandi-sandi yang menunjuk pada “yang trasnsenden”.

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai chiffren yang dikemukakan oleh Jaspers, mungkin terlebih dahulu kita mengambil jalan memutar sejenak, bagaimana pandangan Jaspers mengenai penerangan eksistensi dan situasi batas (grenzsituation). Bagi Jaspers jika manusia mampu merasakan kehadiran intisari keberadaannya, dalam hal ini existenz yang merupakan hal yang paling berharga dan otentik pada diri manusia, maka manusia telah mencapai penerangan eksistensi. Di samping itu manusia takkan bisa melepaskan dirinya dari ke-situasi-an nya, dan terhadap itu manusia mengambil keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan dalam rangka untuk mengubah sebisa mungkin situasi-situasi. Tetapi saat manusia berusaha mengantisipasi ke-situasi-an nya, manusia tetaplah tidak bisa terlepas dari situasi, hal inilah yang Jaspers maksud dengan situasi batas. Jika kita menyebut kata “batas” maka itu berarti ada yang menjadi latar belakang dari batas, yang selalu luput dari kesadaran, keputusan dan tindakan kita, itulah yang transenden. Tapi situasi batas bukanlah sesuatu yang terbuka bagi manusia sebagai organisme, eksistenz lah yang dapat memahami dan menghayati situasi batas tersebut (seperti kematian, kesengsaraan, penderitaan, pengorbanan, kebersalahan, kebergantungan pada nasib dan kehadiran numinus), bagi Jaspers situasi batas merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia sampai-sampai dia berkata “ mengalami situasi batas dan bereksistensi adalah hal yang sama”. Situasi batas akan memperlihatkan kepada kita akan keberadaan “yang transenden” serta kemungkinan untuk bertransendensi, menyadarkan kita akan adanya sesuatu yang bisa merombak dan mengintrupsi batas-batas horizon pengalaman hidup yang selama ini kita telah anggap fixed. Dan justru kemampuan manusia untuk memahami,menghayati, bersikap dan terlibat dalam situasi batas inilah, kebebasan manusia semakin nampak dan jelas. Dan kita barangkali bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa tujuan utama dari “penerangan eksistensi” tidak lain daripada mengerti dan belajar menggunakan kebebasan. Agama secara apa adanya nampak kepada kita sebagai sesuatu yang sangat efektif dalam membantu kita untuk memahami dan memaknai situasi batas seperti kematian, kelahiran, kehadiran numinus, penderitaan, perjuangan, pengorbanan, siksaan dan sebagainya, dengan kata lain agama dapat membantu kita untuk mengalami “penerangan eksistensi”.

Kembali ke gagasan Jasper mengenai chiffren. Menurut Jaspers tugas utama dari metafisika adalah membaca dan menafsirkan simbol-simbol . Simbol-simbol ini merupakan sesuatu yang “membuncah” secara sapontan, bahkan hal-hal yang sifatnya sepele dan empirik bisa berubah menjadi chiffren, misalnya pemandangan alam yang begitu indah, kupu-kupu yang baru keluar dari kepompongnya lalu terbang bebas ataupun simbol-simbol yang berasal dari karya kesenian maupun dogma keagamaan. Dengan kata lain chiffren merupakan portal bagi keberadaan manusia untuk “mengecap” dan berpasrtisipasi dalam yang “transenden”. Menurut Jaspers pemahaman terhadap “yang transenden” agak kurang lengkap terasa jika tidak mengikut sertakan pemahaman akan das umgrefende ( the encompassing atau “yang melingkupi”). Saat manusia berusaha menjelaskan dan memahami realitas yang tak lain merupakan manifestasi “Ada”, maka yang perlu kita lakukan adalah mengatasi oposisi antara subjek dan objek. “Ada” takkan mungkin dijadikan sebagai objek pemahaman bagi manusia sebagai subjek, sebab manusia merupakan bagian dari “Ada” yang transenden tersebut diamping “Ada” jugalah yang merupakan das umgrefende. Agama seharusnya mampu menuntun kita untuk mengatasi subjek dan objek dalam aktivitas memhami, agar “Ada” (yang trasnsenden dan immanen sekaligus) tersingkap (disclosure) dihadapan kesadaran kita.

Penutup

Menurut penulis salah satu fungsi yang bisa dijalankan oleh fenomenologi adalah dalam rangka untuk melakukan kritik metafisika. Karena sikap dan perilaku keberagamaan kita sarat akan latar asumsi-asumsi metafisis baik yang disadari ataupun tidak, maka fenomenologi dapat pula dijadikan alat untuk mengkritik keberagamaan kita. Kenapa fenomenologi kita pilih sebagai alat untuk melakukan kritik metafisika yang secara tidak langsung juga merupakan kritik keberagamaan kita ? itu dikarenakan fenomenologi memiliki watak yang deskriptif. Tetapi deskripsi yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang membawa “sikap kritis” bersama dirinya, karena dapat membantu kita membuka kedok prasangka akan fenomena (termasuk prasangka terhadap fenomena agama), serta membuka kemungkinan agar fenomena menampilkan dirinya dalam cara atau bentuk artikulasi yang lain.

Dalam menjalankan tugasnya melakukan kritik metafisika, fenomenologi bertugas untuk mengungkap batas batas konseptual yang melingkupi segala bentuk metafisika dan metateori. Dimana metafisika dan metateori ini memiliki objek yang dipikirakan, tugas fenomenologi adalah melihat objek apa yang belum dipikirkan atau tidak dipikirkan dan sejauh mana pemikiran tersebut mengagriskan batas-batas bagi cakrawala berpikir kita atas objek. Kritik ini akan membawa kita pada apa yang disebut oleh Heidegger dengan ranah “yang terbuka” (the open , das offen), yaitu suatu ranah yang “menggelitik” kita untuk kembali bertanya dan terus mempertanyakan, dan bersedia menangguhkan sejenak (epoche) segala muatan dan piranti konseptual yang membebani kesadaran. Menurut penulis sangat penting bagi kita untuk selalu berusaha menjaga agar keberagamaan kita tak menutup atau menjauhkan diri dari “ranah yang terbuka”, agar wajah keberagamaan kita selalu relevan bagi kemanusiaan.

* Penulis adalah Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Sulsel

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL