(Catatan Munas XXX Tarjih Muhammadiyah)
Oleh: Basri B. Mattayang
(Guru Sejarah dan Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Lempangang, Kabupaten Gowa)
KHITTAH.co – Salah seorang filsuf Romawi, Cicero pernah mengatakan “Historia Magistra Vitae” bahwa sejarah adalah guru dalam kehidupan. Secara filosofis maka ungkapan itu dapat dimaknai bahwa dari sejarah hidupnyalah manusia dapat belajar. Belajar dari segala kekurangan dan kelemahan masa lalunya untuk perbaikan diri dimasa datang baik dalam kehidupan social, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maupun dalam berbagai aspek tatanan hidup manusia lainnya. Hal tersebut menunjukkan betapa sejarah memiliki peran dalam perubahan hidup manusia.
Bahkan sejarah menunjukkan urgensinya sebagai hal yang memiliki peran strategis dalam kehidupan manusia. Sejarah sebagai alur kisah kehidupan manusia memberikan gambaran tentang peran yang dilakoni manusia dalam panggung kehidupannya baik dalam kehidupan individunya maupun dalam kehidupan yang kolektif. Patut diduga bahwa dari kepentingan sejarah itulah sehingga Sang proklamator Ir Soekarno dalam salah satu kesempatan mengatakan “Jangan sampai melupakan sejarah” (Jasmerah).
Dari urgensi sejarah itulah sehingga idealnya penyusunan dan penulisan sejarah harus se”obyektif” mungkin jauh dari “subjektifitas” kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan tertentu atau lebih populer dengan penulisan sejarah berdasarkan pesanan. Sejarah harus membebaskan diri dari tekanan-tekanan apapun termasuk tekanan penguasa rezim. Dan tentu untuk sampai kepada penulisan sejarah yang diharapkan tersebut maka tentu kaidah-kaidah penelitian dan penulisan sejarah harus diperhatikan.
Secara bertahap penelitian dan penulisan sejarah berproses mulai dari pengumpulan data (Heuristik) kemudian kritik terhadap data tentang kebenaran dan keaslian datanya yang selanjutnya dinterpretasi atau diberikan penafsiran-penafsiran tentang hubungan kausalitas dari data-data peristiwa tersebut dan sebagai puncaknya adalah penulisan sejarah atau Historiografi sejarah. Ketika tahapan kerja ini ditempuh secara benar dan konsisten maka obyektifitas sejarah dapat terjaga
Ijtihad Penulisan Sejarah
Dalam fikih Islam, Secara terminologi Ijtihad didefinisikan sebagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mencurahkan segenap kemampuan untuk memutuskan suatu perkara yang belum atau penjelasannya masih samar-samar dalam Al Quran dan Hadits.
Dari definisi itu maka penulis memberikan anggapan bahwa meneliti dan menulis sejarah adalah suatu ijtihad karena didalamnya ada usaha yang sungguh-sungguh dilakukan oleh sejarawan untuk mengungkap fakta-fakta kejadian masa lampau demi untuk kemaslahatan kehidupan manusia di masa datang. Usaha yang dilakukan oleh sejarawan tersebut akan menjadi ibrah/pelajaran bagi manusia dalam menata kehidupannya kedepan kearah yang lebih baik.
Namun perlu diperhatikan agar penulisan sejarah betul-betul menjadi ijtihad maka tentu tidak semua orang dapat menulis sejarah secara bebas tetapi mujtahid sejarah tersebut haruslah orang yang memang mengetahui hukum-hukum penelitian dan penulisan sejarah, baik dari aspek akademik, maupun kepribadian (termasuk kredibilitas).
Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa berdasarkan kesepakatan ulama tidak semua orang dapat menjadi mujtahid tapi hanya orang-orang yang ahli dan menguasai bidang-bidang ilmu itulah yang dapat menjadi mujtahid dan dapat diterimah hasilnya sebagai sebuah hukum dan konten fatwa , tentu hal tersebut dapat juga menjadi syarat pada mujtahid sejarah.
Karena meneliti dan menulis sejarah adalah bahagian dari ijtihad maka tentu konsekuensi dari itu adalah tidak ada dosa dalam menulis sejarah sepanjang mujtahid tersebut telah melakukan penelitian dan penulisan tersebut secara benar sesuai dengan kaidah yang berlaku.
Hal ini bersandar pada Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dari Amru Bin Al Aash Radiallahu Anhu Bahwa Nabi Bersabda “Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara lalu berijtihad dan benar baginya dua pahala dan apabila keliru baginya satu pahala”(HR. Bukhari- Muslim). Mengomentari Hadits tersebut maka Ibnu Hajar Rahimahumullahu Anhu mengisaratkan bahwa tidak mesti disaat ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran berijitihad dan keliru maka dia mendapat dosa dari kesalahan tersebut akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka ia mendapat pahala, jika hukumnya benar, maka digandakan pahalanya. Namun apabila dia menetapkan hukum atau berfatwah dengan tanpa ilmu maka dia mendapat Dosa.
Hal tersebut semakin menegaskan bahwa menulis sejarah dengan benar oleh orang yang tepat dan berdasarkan kaidah yang benar maka apabila sejarah yang ditulisnya benar maka mendapat pahala ganda yakni satu pahala karena ijtihadnya dan satu pahala karena benarnya. Ketika ada kekeliruan dalam hasil penelitian dan penulisannya maka baginya tidak ada dosa akan tetapi ketika seseorang menulis sejarah tanpa kaidah yang benar kemudian keliru maka baginya ada dosa
Penulisan Sejarah Hoax
Karena hasil tulisan sejarah adalah kabar berita, maka tentu harapannya adalah tulisan sejarah tersebut haruslah benar dan sesuai dengan fakta kejadian yang sebenarnya. Karena ketika tulisan sejarah tersebut tidak benar karena beberapa hal, misalnya ditulis tidak didasarkan pada kaidah yang benar atau menulis sejarah didasarkan pada pesananan orang atau kelompok tertentu dan jauh dari obyektifitas sejarah maka tentu hasil tulisan sejarah itu dapat dikategorikan sebagai kabar berita bohong atau hoax.
Sedangkan membuat dan menyebar berita bohong atau hoax dalam Islam itu sangat dilarang karena dapat merusak tatanan kehidupan manusia sehingga oleh Allah Subhanahu wa taala diganjar dengan Dosa yang besar.
Pada titik inilah, Fikih Informasi yang akan dibahas dalam Munas Tarjih Muhammadiyah menemukan relevansinya. Selamat ber-Munas!