Oleh: Dito Anurogo
KHITTAH.CO — Generasi digital atau milenial seringkali disebut juga generasi masa kini atau kids zaman now, cenderung menyukai semua yang serba ‘’wow’’. Maksudnya, serba cepat alias serba instan, serba gratis, aji mumpung atau serba menguntungkan dirinya, serba mudah, serba indah, dan berjuta serba wow yang lainnya. Mari kita pahami uraian berikut ini satu per satu.
Wow, cepat. Akhir-akhir ini semarak sekali kursus, pelatihan, dan jasa yang menawarkan semuanya dikerjakan serba cepat. Mulai dari cepat sembuh, cepat saji, cepat kaya, cepat dapat uang, berhitung cepat, membaca cepat, cepat pintar berhitung, cepat berhaji, cepat bersih, cepat lulus kuliah, hingga kuliah dengan iming-iming cepat kerja. Bukannya tidak boleh, namun perlu diingat bahwa semua itu perlu proses. Biarlah segala sesuatu itu berproses dan selesai sesuai dengan masanya.
Wow, gratis. Godaan untuk memilih barang secara gretongan alias gratisan ini sudah sedemikian hebatnya, sehingga dapat menjangkiti siapapun dan dimanapun. Konon, di negeri dongeng ada istri pejabat yang sukanya diberi namun enggan menolong, sehingga kedatangannya amat tidak diharapkan. Padahal idealnya, ia bisa membantu sesama dengan membeli barang dagangannya dan ikut memasarkan melalui media sosial. Ada pejabat yang suka sekali diberi upeti atau buah tangan atas nama persahabatan. Ada pula kasus menarik lainnya. Seorang penulis ternama meluncurkan buku. Sahabatnya beramai-ramai meminta buku kepadanya secara gratis. Ia ikhlas saja memberikan bukunya secara cuma-cuma. Sayangnya, saat penulis itu sakit dan tertimpa musibah, tiada satupun sahabat datang sekadar membantu meringankan bebannya.
Wow, mumpung. Maksudnya di sini adalah aji mumpung. Selagi sahabatku menjabat, diriku mendekat siapa tahu bisa kebagian ‘’kue pembangunan’’, bisa ikut kebagian tender atau proyek. Masih untung bila proyek atau tender itu ditangani oleh orang yang berkompeten, kalau tidak? Maka tidak aneh bila ada kasus jembatan roboh, jalan mudah berlubang, pondasi bangunan tidak kuat, dan berbagai kebocoran dana anggaran. Inilah salah satu ‘’kelebihan’’ generasi digital-milenial. Perbanyak teman dan jaringan, siapa tahu besok di masa depan bisa dimanfaatkan. Jadi, selagi bisa manfaatin temen, mengapa tidak? Bayangkan, kalau berteman dengan dokter, arsitek, apoteker, ahli hukum, akuntan, ahli ekonomi, kyai, ulama, pastilah kalau periksa kesehatan nggak bayar bahkan cukup via email atau media sosial, desain rumah gratis, beli obat tidak bayar, konsultasi hukum cukup ucapkan terimakasih, mau advis keuangan cukup konsultasi via telepon atau media sosial, meminta nasihat spiritual cukup membawa air putih untuk didoakan. Ironis, ya?
Wow, mudah. Berbagai kemudahan dan kenyamanan di era digital membuat sebagian kids zaman now menjadi manja dan malas. Malas bergerak, malas beraktivitas, malas belajar, malas membaca, malas masak, malas mencuci baju, malas bersosialisasi, malas bersilaturahmi, malas berorganisasi, malas keluar rumah, malas menghadiri pertemuan keluarga besar atau arisan tetangga, dan berjuta rasa malas yang terkadang tidak masuk akal. Mereka menganggap cukup berinteraksi di dunia online dan membatasi diri hanya pada pergaulan virtual. Hal ini amat berbahaya karena mereka hidup di alam persepsi dan pencitraan. Padahal dunia maya itu seringkali hiper-realitas.
Wow, indah. Tak semua yang gemerlapan itu emas. Begitulah pepatah mengatakannya. Sayangnya kids zaman now alias generasi digital selalu menganggap semua yang indah itu baik. Bahkan sebagian sampai mengidolakan dan menjadikannya panutan hidup. Hanya karena popularitas, kekayaan, kehidupan yang serba gemerlapan sudah menjadikan seseorang sebagai idola atau sesembahan yang pantas dipuja dan dipuji ibarat dewa. Hal ini sungguh membahayakan. Betapa banyak generasi terdahulu yang musnah dikarenakan terlalu memuja materi, tertipu keindahan duniawi, serta melupakan nikmat surgawi.
Solusi dari semua problematika di atas sebenarnya amat mudah. Pengendalian diri adalah kunci. Senantiasa mengharap rida Ilahi. Kembalilah kepada kitab suci, ikutilah jejak dan contohlah keteladanan para nabi, rasul, berikut sahabat-sahabat mereka yang setia hingga akhir zaman nanti. Budayakanlah literasi, mulailah sejak dini, dan saat ini. Ciptakan mode, tren, dan momentum, jangan puas bila hanya jadi penonton, pengikut, atau sekadar berperilaku konsumtif. Selalu menyediakan waktu untuk melakukan renungan reflektif sehingga melahirkan pemikiran yang inovatif, solutif, komprehensif, dan multiperspektif. Senantiasa bersinergi dan berkolaborasi demi mewujudkan Indonesia jaya. [dr. Dito Anurogo, M.Sc., dokter literasi digital, penulis 20 buku, dosen FK Unismuh Makassar, pegiat literasi-komunitas-riset.(*)