Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Good Looking Saja Tidak Cukup

×

Good Looking Saja Tidak Cukup

Share this article

Oleh: Askarim*

Produktifitas tidak ditorehkan dengan sebatas ucapan atau narasi yang bertarung dengan ego sektoral semata. Butuh penguatan akan setiap tensi yang dimainkan sehingga melahirkan suatu karya yang bisa menautkan arti bagi orang lain, bukankan sebaik-baik pribadi dalam hidup ini adalah yang memberi arti dan makna bagi orang lain.

Semakin berisik ruang-ruang kehidupan kita semestinya semakin membuat kita mampu mengolah rasa haus dengan memberikan langkah maju untuk sebuah etape perubahan, namun kerap melanda kita seakan kita menunggu jeda dan suasana hati yang adem untuk bisa memikirkan apa langkah yang lebih berarti dalam sisi kebaikan.

Tawar menawar waktu dengan segala asumsi untuk menarik benang lurus, acapkali membuat kita menjeda dalam melakukan sesuatu yang berarti untuk sesama, tawaran ego seakan menjadi bantal empuk untuk senantiasa mencari sisi teduh untuk memulai aksi kemanusia.

Bukankah ruang-ruang kehidupan kita terlalu berisik dengan pertimbangan yang teramat banyak sehingga terkadang menguras setiap rasa yang perlu dituntun keberadaannya, berisiknya ruang publik bukan serta merta kita harus menghindarinya dan mengambil jalan untuk menghindari hal yang ada, akan tetapi perlu pengelolaan yang maksimal untuk tampil produktif di dalamnya. Kesan yang baik dibarengi dengan keikhlasan akan memberikan tampilan yang menawan di setiap lini komunikasi yang ada.

Sudah seharunya nilai-nilai yang ada membangun pada penguatan kesan yang produkti karena pada tingkat pengelolan kesan-kesan yang ada harus  secara optimal bukan hanya saat kita tampil di front stage framing media. Kalau sebatas manis dan manipulatif saat kita di panggung kehidupan maka hanya menyisakan dusta dan penguatan image publik semata, maka tak akan ada yang bisa menahan laju itu bila realitas berujar terbalik.

Minimnya dan sesaknya pengelolaan sikap positive image, disebabkan oleh persepsi subjektif terhadap orang lain yang cenderung lebih mengedepankan prasangka, stigma, dan stereotipe. Terjeratnya kita pada sisi ego sektoral tentunya mengalihkan realitas diatas segalanya, Padahal untaian dari kedua sisi harus terbentang simetris sehingga esensi dari keseimbangan dan keharmonisan hidup berjalan sebagaimana mestinya.

Persepsi subjektif yang tidak diimbangi dengan objektivitas cenderung menempatkan orang lain secara tidak sejajar dan berkembang menjadi pola relasi sosial patron-klien. Kesan tidak akan lama menampung kebenaran kalau hanya menaruh identitas didalamnya, sebab penguatan yang domainnya paling jelas adalah aksi itu sendiri.

Kita adalah suatu proyeksi dari kebenaran itu sendiri. Membangun bukan semata asupan dari eksistensi diri sendiri akan tetapi relasi yang kokoh dan bersahabat dari keberadaan diri. Tentunya akan menjadi jaring atau cermin tegak bagi orang lain, sebagaimana dalam teori looking glass self, menampakkan suatu titik keseimbangan untuk mencapai nilai maksimal.

Jaring relasi yang kokoh dan bersahabat dari keberadaan diri tentunya akan menjadi jaring atau cermin tegak bagi orang lain, sebagaimana dalam teori looking glass self, dari Charles Horton menampar kita secara langsung. Akan pentingnya eksistensi diri menjadi sumber penilaian dan refleksi bagi orang lain, sehingga bersinar atau redupnya popularitas sangat dipengaruhi oleh sikap kita terhadap orang lain dan penilaian orang lain terhadap diri kita sendiri.

Maka, sudah menjadi keharusan yang hidup dalam selaksa pembelajaran di realitas ini untuk tetap membangun rekognisi dari publik, agar meminimalisasi potensi “terjatuh” dalam krisis etika yang bisa menyebabkan kekecewaan, ketidakpercayaan, dan apatisme dalam struktur dan kultur masyarakat. Desakan demi desakan tidak menghambarkan kita untuk saling mendekatkan kita untuk saling menjaga penguatan positif satu sama lain, jalinan komunikasi yang mesra diimbangi dengan produktifitas hasil yang bijak akan senantiasa menjadi penyumbamh bagi alam dan sekitar kita.

Bangun ritme yang bijak dengan varian solusi yang ada maka kita tidak akan terjatuh dalam pergulatan globalisasi semaksimal mungkin tampilan tetap terjaga dengan ritme yang terolah dan tertata, membangun komitmen dengan diri sendiri untuk memberi ruang pengertian sebab dengan membantu ruang itu hidup maka akan membantu kita juga menghindari dari banyaknya perselisihan yang terjadi.

 

* Penulis Buk-buku Fiksi, dan Non Fiksi. Guru SMA Negeri 3 Bantaeng

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply