Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO. -Selain perintah iqra yang mengandung spirit membaca, belajar, dan literasi yang dahsyat, kita perlu memahami betapa besar dan signifikan peran guru untuk kemajuan suatu bangsa, negara, dan peradaban. Sangat tepatlah makna kata “guru” yang berasal dari bahasa Sansekerta itu: “gu” berarti tuntunan menuju dan “ru” artinya cahaya. Idealnya seorang guru mampu membawa seseorang yang menjadi muridnya menuju cahaya.
Guru yang mampu mewujudkan harapan di atas adalah guru yang menjadi “Gurunya manusia”. Apakah tidak semua guru adalah gurunya manusia? Selain mendalami buku karya Munif Chatib, Gurunya Manusia (2011), saya pun mendalami beberapa buku lainnya sebagai referensi sehingga bisa menyimpulkan bahwa bisa jadi ada guru mengajar muridnya yang berwujud manusia tetapi pada dasarnya jauh dari makna “Gurunya manusia”.
Sama halnya dengan “Orang tuanya manusia” bisa jadi ada orang tua tetapi belum bisa dimaknai sebagai orang tuanya manusia. Bukan karena orang tuanya bersikap dan berperilaku kasar kepada anaknya, termasuk pula dalam hal pemberian nutrisi. Ketika nutrisi yang sering diberikan hanya fokus pada pemenuhan fisik-biologis dan mengabaikan nutrisi jiwa, psikis, mental dan/atau ruhani, ini pun berarti jauh dari makna “Orang tuanya manusia”.
Gurunya manusia harus, bahkan wajib merawat akal dan kalbu para muridnya. Term “merawat” melampaui dari sekadar menjaga. Ada perhatian serius dan lebih dari sikap dan perilakunya agar tetap bisa menjaga, mengembangkan, dan memaksimalkan fungsi akal dan kalbu.
Perspektif medis ada lima organ sangat penting dalam tubuh, otak, jantung, paru-paru, hati, dan ginjal. Namun, di antara kelimanya ini ada dua yang paling penting lagi karena secara fungsional bukan hanya berdampak secara personal kepada seseorang yang memilikinya, memberikan pula dampak sosial-psikologis kepada orang lain. Bahkan dalam lingkup kehidupan yang lebih kompleks, mewujudkan peradaban yang gemilang. Keduanya adalah otak dan jantung.
Otak dan jantung masing-masing sebagai hardware (perangkat keras), di mana akal atau pikiran dan kalbu atau perasaan sebagai software (perangkat lunak) yang berada di dalamnya. Ada banyak pakar yang sangat mengutamakan peran otak, pikiran dan/atau akal—saya menyebut beberapa saja: Brian Tracy (2007), James Borg (2010), Taufiq Pasiak (2012), dan KH. Jalaluddin Rakhmat (2016). Ada pula yang mengutamakan peran kalbu atau perasaan, seperti ditegaskan oleh Erbe Sentanu (2010).
Selain dan meskipun juga terinspirasi dari pandangan para pakar tersebut di atas, saya pun lebih sepakat dengan pandangan Dadang Kadarusman (2012), Dr. Joe Dispenza (2021), dan Bobbi Deporter & Mike Hernacki (2011), yang pada dasarnya memandang otak dan jantung, serta akal/pikiran dan kalbu/perasaan sebagai dua hal penting yang tak terpisahkan dalam diri manusia. Atas dasar inilah, saya memandang bahwa idealnya gurunya manusia harus mampu merawat akal dan kalbu.
Gurunya manusia, selain memaksimalkan fungsi akal juga fungsi kalbu. Gurunya manusia bukan hanya mengutamakan dan memaksimalkan kecerdasan intelektual, termasuk pula memaksimalkan secara seimbang dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Gurunya manusia bukan hanya berupaya mentrasfer ilmu kepada anak didiknya dengan metode pembelajaran yang kaku, monoton, dan membosankan. Gurunya manusia—sebagaimana penegasan DePorter, Mark Reardon, dan Sarah Singer Nourie dalam buku karya bersamanya Quantum Teaching (2007)—harus mampu mengorkestrasikan pembelajaran. Pembelajaran harus menyenangkan dan menggairahkan anak didik.
Proses pembelajaran yang menyenangkan itu menjadi penting karena jika kita memahami dengan baik konsep Quantum Learning DePorter dan Hernacki, kita akan memahami dan menyadari bahwa betapa pentingnya peran dan pengaruh suasana hati (dalam hal ini tentunya perasaan atau kalbu) untuk mengaktivasi fungsi dahsyat otak yang disebut akal atau pikiran. Dari hal inilah pula, saya terinspirasi tentang pentingnya doa belajar yang secara berurutan memengaruhi suasana hati untuk selanjutnya membangunkan kedahsyatan fungsi otak.
Dalam sejumlah pembicaraan dan anjuran masa lalu, dan saya yakin sampai hari ini masih diharapkan, guru sebaiknya tidak pernah memberikan kata “bodoh” dan berbagai penilaian negatif kepada anak didiknya. Hal ini memiliki relevansi dengan perasaan atau sebagai upaya merawat perasaan atau kalbu.
Lontaran kata negatif, seperti kata “bodoh” di atas, dipastikan itu memengaruhi kalbu atau perasaannya. Secara akal—karena kenyataannya seperti itu—bisa saja diterima, tetapi perasaan menolak dan berpotensi semakin memperburuk fungsi otak yang bernama akal tersebut. Sebaliknya kata-kata positif itu akan memberikan pengaruh positif pula terhadap kalbu dan akal.
Dalam pembelajaran justru ada prinsip yang perlu dipahami disadari, dan diaplikasikan. “Bawalah dunia anak ke dalam duniamu, sebelum membawa dunia kita ke dalam dunia anak”, prinsip ini penting untuk membangun kedekatan atau membangun jarak psikologis yang sangat dekat dengan peserta didik. Kita terlebih dahulu berupaya membuatnya senang dan bahagia, barulah kemudian, kita berupaya mentransfer dan mentransformasikan harapan-harapan positif, produktif, dan konstruktif untuk dilakukan oleh peserta didik.
Apakah kita pernah membaca bagaimana alur karakter dan nasib kehidupan terbentuk. Ini tidak selamanya dalam perspektif keajaiban di mana hak prerogatif Allah serta-merta hadir mengintervensi untuk mewujudkan semuanya. Kita pun harus menyadari bahwa Allah pun menciptakan hukum alam atau dikenal sunnatullah yang beroperasi dan melakukan mekanisme kerjanya dengan prinsip sebab-akibat.
Alur karakter dan nasib kehidupan dalam perspektif sunnatullah yang menganut prinsip sebab-akibat itu diawali dengan pikiran dan perasaan atau dalam hal ini apa yang terjadi dalam akal dan kalbu. Taburlah pikiran dan perasaanmu maka engkau akan menuai tindakan; taburlah tindakanmu maka engkau akan menuai kebiasaan; taburlah kebiasaanmu maka engkau akan menuai karaktermu; dan taburlah karaktermu maka engkau akan menuai nasibmu.
Pentingya merawat akal atau pikiran dan kalbu atau perasaan akan semakin dipahami dan disadari relevansi dan fungsionalitasnya dalam kehidupan jika kita membaca buku Breaking The Habit of Being Yourself: Memprogram Ulang Pikiran untuk Kesuksesan dan Kebahagiaan (2021) karya Dr. Joe Dispenza. Secara singkat dari buku ini, kita bisa memahami dengan pendekatan atau menggunakan basis ilmu fisika quantum, bahwa ternyata antara diri kita dengan yang lainnya, seperti antara saya dengan laptop yang saya gunakan menyelesaikan tulisan ini, di alam vibrasi atau medan quantum terhubung antara satu dengan yang lainnya tanpa batas.
Selain itu, kita bisa memahami dari buku Dispenza tersebut, bahwa kita bisa memengaruhi realitas yang akan terjadi dengan syarat terjadi keseimbangan atau keselarasan antara pikiran dan perasaan atau sebagaimana judul tulisan saya antara akal dan kalbu. Yang bisa memengaruhi realitas yang akan terjadi adalah gelombang elektromagnetik yang kita pancarkan. Gelombang elektromagnetik itu berasal dari sinyal listrik atau elektrik dan pikiran, dan daya magnetis yang berasal dari perasaan.
Ketika Barat mengutamakan dan mengagung-agungkan positive thinking, ternyata positive feeling juga penting. Keduanya dua hal yang sejatinya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Sampai pada untaian tulisan ini, saya teringat dengan teori radiasi budaya Arnold Toynbee yang terdiri dari empat lapisan yang memengaruhi apakah yang membuat suatu peradaban bertahan/hancur dan berpengaruh/tidak bagi peradaban lainnya. Lapisan terdalamnya adalah visi dan nilai spiritual, lapisan diluarnya etika, kemudian di luarnya lagi estetika, dan lapisan yang paling luar adalah ilmu pengetahuan dan teknologi sains. Ternya lapisan terdalam yang sangat menentukan suatu peradaban bertahan atau tidak itu relevan dengan atau sesuatu yang beroperasi di ranah kalbu. Sedangkan lapisan yang paling luar itu relevan dan beroperasi di ranah akal.
Saya pun teringat dengan firman Allah dalam QS. Al-Mujadalah ayat 11, yang salah satu substansinya adalah Allah akan memberikan keunggulan bagi orang yang beriman dan berilmu. Iman tentunya beroperasi dalam kalbu, sedangkan ilmu, terutama dalam hal ini ilmu pengetahuan dan teknologi sains, beroperasi atau diproses melalui akal.
Keseimbangan akal dan kalbu yang baik pun, dalam konteks berbangsa dan bernegara akan mampu melahirkan pemimpin yang bukan hanya memberikan kesejahteraan melalui tata kelola pemerintahan yang benar sesuai prinsip negara hukum, termasuk pula akan mampu menjalankan amanah dengan baik terutama dalam bentuk kristalisasinya cinta kepada rakyat dengan prinsip keadilan.
Sumber gambar: abahraka.com
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital dan Kebangsaan.