Oleh : Dr. Yustin Paisal, ST, MT
Hari pahlawan sudah usai diperingati tanggal 10 Nopember beberapa hari yang lalu. Hari itu adalah hari yang mana Bung Tomo dan Jenderal Sudirman sudah mengingatkan para pejuang pada masanya masing-masing akan arti sebuah perjuangan suci. Bung Tomo dengan arek-arek Surabayanya dan Jenderal Sudriman serta bala tentaranya dengan perjuangan ditengah rakyat yang mana terkadang dengan sikap oposisi dengan Bung Karno saat itu, telah mengorbankan segalanya demi perjuangan mulya. Merekalah diantara para pahlawan yang dikenal dan para pahlawan yang tidak dikenal mengajarkan pada anak-anak bangsa dulu, sekarang, dan masa mendatang bahwa perjuangan itu adalah ketulusan bersama rakyat untuk kemerdekaan.
Bangsa dan Negara ini dari segala bentuk keterjajahan dengan pertolongan dan kehadiran Tuhan! Melawan bangsa yang serakah dengan warna ideologi mazhab kolonialisme saat itu yang mesti diperangi! Tidak ada pilihan lain untuk Kemerdekaan bangsa ini kecuali “lebih baik merdeka atau mati berkalang tanah daripada hidup terjajah...” Inilah nawaitu perjuangan suci!.
Apa yang mereka maksudkan itu? Dan siapa yang pertama kali meneriakkan yel – yel perjuangan suci, perang kemerdekaan bangsa dan negeri nusantara ini? Dan, kepada siapa muara perjuangan kemerdekaan ini? Maka, fenomena di balik pertanyaan itu adalah hal yang niscaya untuk direnungkan secara mendalam! Insya Allah!.
Kita mulai dari pertanyaan yang ketiga. Ini adalah jelas, bahwa para pahlawan perjuangan kemerdekaan bangsa kita, sejak dulu hingga sekarang, sudah mengingatkan kita bahwa awal dan akhir perjuangan itu adalah untuk mendapatkan rahmat Allah swt, yaitu suatu bangsa yang terbebas dari keterkungkungan bangsa kolonialisme yang merusak sendi-sendi perikehidupan bangsa yang dijajahnya yang mana menjadikan bangsa tersebut kerdil dan tidak menjadikan kecuali menjadi budak dan terhina!.
Oleh karean itu, tidak ada pilihan lain kala itu oleh para pejuang kemerdekaan, pahlawan tanpa tanda jasa, kecuali mengusir para kolonialism dari bumi pertiwi ini, walaupun tubuh-tubuh tercabik-cabik dan darah membasahi bumi pertiwi lalu berkalang dengan tanah! Tuhanku terimalah niat suci pengorbanan para pahlawan dikenal dan tak dikenal bangsa ini yang mana mereka telah mengajarkan kepada kami apa sesungguhnya kemuliyaan itu!.
Kemudian, untuk pertanyaan yang kedua itu kita memerlukan langkah literasi sejarah. Namun pertanyaan pertama itu, barangkali ini yang juga sangat fundamental untuk bekal kita dalam mengisi peradaban bangsa hari ini yakni bagaimana landasan etika dan moral kita dalam meneruskan cita-cita mulia para pendahulu kita bahwasanya boleh jadi mereka menginginkan suatu perjuangan kesucian dan kemulyaan bangsa ini menjadi bangsa yang beradab dan bermartabat di mata bangsa-bangsa di permukaan bumi ini dan dalam pandangan Tuhan Yang Maha Esa melalui ketulusan dalam pemikiran dan karya yang mencerahkan, melepaskan sistem perbudakan bangsa terhadap bangsa lain, melawan kebodohan atau pembodohan sistemik melalui perbaikan segenap dimensi pembanganan bangsa kita: agama, pendidikan, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, dan pertahanan keamanan, melawan nafsu keserakahan para pengeruk kekayaan sumber daya alam oleh oknum bangsa ini atau oknum bangsa lain terhadap bangsa sendiri, dsb!.
Namun apa yang terjadi hari ini? Apakah cita-cita para pahlawan kemerdekaan bangsa dan negara ini sudah tercapai atau malah merangkak dan terseok-seok dalam ketidakpastian tujuan bangsa dan negara ini didirikan sejak awalnya?.
Bukankah kasus korupsi berjamaah menjadi hingar bingar dan mengkristal menjadi budaya para oknum pejabat kapitalism lokal, para oknum penegak hukum, para oknum wakil rakyat? Bukankah ini juga ibarat fenomena gunung es? Bukankah kasus narkoba ibarat komplotan syetan impor-ekspor yang tak terlihat namun terasa dengan jatuhnya korban pesakitan diberbagai pelosok negeri ini? Menghancurkan harapan mereka! Bukankah kasus jual beli soal ujian dengan puluhan juta rupiah oleh kepala sekolah dan dinas pendidikan yang sempat mengemuka di beberapa pelosok daerah ini agar anak didik lulus 100%? Bukankah ini adalah ketololan atau kefasikan sistemik yang harus ditumpas hingga akar-akarnya?.
Dan yang paling konyol adalah, bukankah utang bangsa dan negara ini sudah keterlaluan jumlahnya yang mana jika dibagi rata boleh jadi Rp 10 juta perjiwa di negri ini, sehingga menjadikan bangsa dan negeri ini jadi bulan-bulanan bangsa lain atas nama penanaman modal asing? Bukankah ini jauh dari falsafah keadilan dan UUD 1945? Dan berbagai kasus yang fenomenal dan menjadi PR besar bangsa ini yang mana membuat pertanyaan besar apa ukuran keberhasilan suatu bangsa jika semua hal ini dan yang belum terjelaskan sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan?.
Sebelum mengurai hal ini, mungkin sebagian diantara kita mengatakan: semestinya kita patut bersyukur bahwa dalam berbagai bidang pembangunan kita sudah menunjukkan karya nyata yang tak terbilang jumlahnya oleh anak negeri ini. Sudah banyak sarana perguruan pendidikan yang dibangun dari Sabang sampai Merauke, sudah banyak pusat-pusat ekonomi kerakyatan dan pasar-pasar besar dibangun, sudah banyak sarana peribadatan atas segenap umat beragama yang didirikan, sudah banyak industri strategis yang dibangun dengan bekerjasama dengan sejumlah negara-negara tetangga, dan sebagainya.
Namun suatu hal yang boleh jadi masih mengganjal dihati sanubari kita selaku umat diantara umat lain dari bangsa-bangsa di permukaan bumi ini adalah bagaimana dengan nasib kekayaan sumber daya alam kita: sumber daya kelautan, minyak, gas alam, pertanian, energi, hutan, dan utamanya sumber daya mineral-batubara yang Tuhan telah titip sama kita? Apakah kita sudah benar-benar memanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat keseluruhan atau malah hanya keuntungan segolongan kecil dari anak negeri ini yang membentuk konglomerasi yang terkadang kebal hukum dan politik?.
Dan yang paling konyol lagi, jika dahulu Prof. Amien Rais menyoal kasus freeport, maka sekarang mana teriakan beliau hari ini untuk hal yang sama??? Apakah kita tidak punya logam uranium di Freeport itu dan lalu terambil begitu saja tanpa ada satupun yang berteriak lantang, mengapa uranium itu seperti saja asap yang keluar dari cerobong pabrik dan tidak dihiraukan lagi?.
Info ini saya peroleh dari salah satu staf kementerian ESDM saat saya bersama mantan Dirjen Pertambangan, Bapak F. Sembiring, bulan april tahun 2015 lalu, saat Mahasiswa Teknik Kimia ITB mengadakan seminar nasional di Gedung Pos Besar, Bandung, Jawa Barat! Ingat, jika info ini benar maka kita sudah kehilangan sekitar Rp. 20.000 trilyun!!! Jadi kita kehilangan dua puluh ribu triliyun rupiah yang mana sangat fantastis!!! Bandingkan dengan utang luar negeri kita sekitar empat ribu triliyun lebih jika tidak salah yang mana bisa lunas dan malah Amerika berutang dengan kita!!!.
Penulis akui, ini masih harus diinvestigasi termasuk dokumen-dokumen kontrak karya yang dibuat oleh pemerintah dan para pengusaha manca negara! Ini baru Uranium, bagaimana dengan logam-logam yang lain? Apakah KPK sudah meneliti berapa banyak logam berharga kita yang sudah keluar namun tidak terpantau oleh pemerintah? Jangan hanya KPK mengurusi uang yang hilang, namun logam yang hilang tak terpantau ibarat komplotan syetan yang membawa lari kekayaan negara! Siapa yang harus bertanggungjawab?.
Saya tidak banyak mengurai ini dan menurut hemat saya mesti ada pendalaman atas ini semua oleh pihak yang berwewengan di mana Rakyat Indonesia turut mengawasinya secara profesional dan menurut hukum positif yang berlaku di NKRI ini! Maka, boleh jadi inilah yang mesti Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla telaah ulang guna menata seluruh kebijakan yang dikeluarkannya bahwa jangan sampai kita hanyalah bentukan negara budak dari negara lain atas nama penanaman modal asing.
Sehingga, negeri ini tak lebih dari “wajah boneka kapitalism global” yang menafikan prinsip keadilan Ilahiyah dalam kerjasama lintas negara! Apakah martabat bangsa ini tidak kehilangan jati dirinya dengan nyata dengan tanpa terasa telah meninggalkan cita-cita perjuangan suci para pejuang kemerdekaan R.I? Boleh jadi, Pak Jokowi, Pak Jusuf Kalla, dan Katte Pak Syahrul, pamopporangka…inilah fenomena yang menjadi kesedihan para pejuang kemerdekaan R.I…baik yang masih hidup, maupun yang sudah kembali kepada Tuhan….
*Penulis adalah direktur Pusat Studi Energi dan Sumber Daya Alam dan Peneliti di Profetik Institute