Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BeritaTarjih

Hukum Berkurban dalam Keadaan Berutang dan Upah Panitia Kurban

×

Hukum Berkurban dalam Keadaan Berutang dan Upah Panitia Kurban

Share this article

KHITTAH.CO, MAKASSAR— Matahari pagi baru saja hadir di ufuk Timur, Para Putri ‘Aisyiyah sudah menghadirkan jiwa-penuhnya di zoom Meeting.

Pada forum yang dihelat Kamis, 15 Juni 2023 lalu, meski baru saja usai menggelar Musywil dan masih dalam transisi kepengurusan, para kader Nasyiatul ‘Aisyiyah (Nasyiah) tetap menggiatkan Kajian Tarjih, tidak terputus.

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulsel Abbas Baco Miro memang rutin membawakan Kajian Tarjih yang dihelat PW Nasyiah Sulsel saban Kamis.

Kali ini, kajian mengambil tema Hukum Seputar Ibadah Qurban. Diketahui, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menetapkan hasil hisab bahwa 1 Zulhijah jatuh pada Senin, 19 Juni 2023.

Sementara itu, untuk hari Arafah (9 Zulhijah) jatuh pada Selasa, 27 Juni 2023 dan hari raya Idul Adha (10 Zulhijjah) bertepatan dengan Rabu, 28 Juni 2023.

Pelaksanaan kurban tidak pernah terlewatkan setiap tahunnya, bagi umat Islam yang telah mampu, di kota maupun desa.

Sekali lagi, bagi yang mampu dan mau, mereka berlomba-lomba menggembirakan Iduladha dengan berkurban.

Abbas Baco Miro menegaskan, ibadah kurban ini harus berdasarkan kemampuan. Jangan memaksakan diri.

Meski demikian, Ia mengungkapkan, ulama berpandangan, bahwa mencicil biaya untuk membeli hewan Qurban boleh dilakukan. Lazismu bahkan telah menyediakan program untuk itu.

Jika, seseorang dalam keadaan berutang, pelunasan utang diutamakan dan didahulukan daripada berkurban. Kecuali, kata dia, ada keringanan dari Si pemberi utang.

Demikian pula, ketika ditanyai terkait membayar hewan Qurban dengan gaji ke-13 PNS yang datang belakangan. Menurut dia, itu boleh.

“Boleh, jika memang ada yang jelas dan pasti yang kita tunggu. Tapi, lebih baik, mulai dari setelah hari berkurban ini, kita mulai menabung, mencicil-cicil untuk bisa berkurban di Iduladha tahun depan,” kata dia.

Direktur Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Unismuh Makassar itu lebih lanjut menjelaskan, As-Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh as-Sunnat jilid III hal 197 mengatakan bahwa al-Udhhiyyah atau kurban adalah nama bagi binatang yang disembelih.

Hewan sembelihan itu, baik unta, sapi, dan kambing pada hari Nahar (10 Dzulhijjah) dan hari-hari Tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah) untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Ibadah ini dilaksanakan oleh orang yang mampu dengan ketentuan satu ekor kambing untuk satu orang ( sesuai HR. Muslim), satu ekor sapi untuk 7 orang (dari HR. Muslim, Abu Dawud dan al-Tirmidzi), dan satu ekor unta untuk 7 atau 10 orang (bersumber pada HR. Muslim, Abu Dawud dan al-Tirmidzi).

Ketika ditanyai terkait pendapat bahwa Kambing lebih afdal dibanding hewan lain, menurut dia, tidak ada riwayat yang mengatakan demikian.

Ia membenarkan bahwa berdasarkan riwayat, Rasulullah Saw. berkurban dengan kambing, tapi dari segi kebermanfaatan karena lebih banyak dagingnya dan banyak yang bisa mendapatinya, sapi dan hewan besar lainnya pun menjadi lebih baik.

Setelah berkurban, hal yang harus dilakukan selanjutnya adalah pembagian dagingnya. Lantas siapa saja yang berhak menerima daging kurban?

Dalam QS. Al-Hajj ayat 28 “…maka makanlah sebagian dari hewan (qurban) dan berilah makan olehmu orang yang sengsara lagi fakir”.

Berdasarkan QS. Al-Hajj ayat 36 “… Kemudian apabila telah roboh (mati) maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang tidak minta-minta (al-Qani’) dan orang yang meminta (al-Mu’tar)”.

Demikian pula dalam hadis dari Muslim yang berbunyi, “Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib telah mengkhabarkan bahwa Nabi Saw. telah memerintahkan kepadanya agar ia (Ali) membantu (melaksanakan kurban) untanya dan agar ia membagikannya seluruhnya, daging-daginnya, kulit-kulitnya, pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan ia tidak boleh memberikan sedikitpun dari hewan kurban dalam pekerjaan jagal” (HR. Muslim).

Dengan merujuk kepada ayat-ayat dan hadis tersebut, maka orang yang menerima kurban dapat dikelompokkan pada empat golongan.

Empat kelompok tersebut, yaitu shohibul qurban, Orang yang sengsara lagi faqir (QS.al-Hajj:28), Orang yang yang tidak minta-minta (al-Qaani’) maupun yang minta-minta (al-Mu’tar) (QS.al-Hajj:36), dan Orang-orang miskin (HR Muslim dari Ali).

Dengan tegas, Abbas Baco Miro mengungkapkan, bahwa panitia kurban tidak berhak mengambil daging sembelihan, apalagi jika dianggap sebagai upah atas penyembelihan yang dilakukan.

Panitia atau penyembelih kurban boleh mendapatkan daging sembelihannya jika diberikan oleh pemilik (shohibul qurban), tapi bukan sebagai upah, bukan sebagai ucapan terima kasih atau bentuk balas jasa. Hal itu bersumber dari HR Muslim.

“Sedangkan, hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh shohibul qurban, sesuai Hadis Riwayat Ahmad adalah menjual bagian dari hewan Qurban baik daging, kulit, dan lainnya,” tutup dia.

Diolah oleh Nuryusriati

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply