Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Hukum Ekonomi Islam & Jihad Konstitusi: Spirit Melawan Privatisasi SDA (Bagian 1)

×

Hukum Ekonomi Islam & Jihad Konstitusi: Spirit Melawan Privatisasi SDA (Bagian 1)

Share this article

Tulisan ini, bermaksud untuk mereview buku Privatisasi Sumber Daya Air, Tinjauan Hukum Ekonomi Islam karya Munawwar Khalil. Buku ini merupakan hasil penelitian tesis penulis pada Program Hukum Islam Konsentrasi Mu’amalah UIN Sunan Kalijaga Agustus Tahun 2004. Buku yang ditulis oleh Munawwar Khalil, S.S.,M.Ag kelahiran 06 Juni 1979 di Sengkang Wajo, Sulawasi Selatan ini memiliki ketebalan viii+116 halaman dan diterbitkan oleh MPK PPM (Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah).

Oleh Mas David Efendi saya dikirimkan file buku tersebut untuk diajak membuat resensi. Atau bagi saya lebih tepat disebut dengan istilah mereview saja, agar tidak terlalu terikat dengan aturan baku apalagi saya menambahkan perspektif lain. Hal itu pula yang mendasari sehingga judul tulisan saya ini tidak menggunakan judul buku tersebut.

Buku Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah (Periode 2002-2004) ini sebagaimana kita bisa membaca pada bagian pengantar penulisnya, adalah sekelumit kecil dari bagian usaha perjuangan dan penyadaran keadilan.

Bagi penulis buku: Munawwar Khalil, perjuangan terhadap ketidakadilan global yang diciptakan dari hasil kebijakan ekonomi neoliberalisme adalah perjuangan panjang yang memerlukan proses dan dialektika tanpa henti. Serta membutuhkan kesadaran dan keterbukaan pikiran untuk saling memberi dan menerima proses perubahan.

Pada saat buku ini ditulis, yang pada substansinya terkait privatisasi sumber daya air memiliki signifikansi dalam konteks ke-Indonesia-an yang sangat tepat pada saat itu (2009-2015) dan bahkan buku ini bisa menjadi energi atau mungkin inilah salah satu yang menjadi energi bagi Muhammadiyah untuk melakukan Jihad Konstitusi.

Saya mengatakan memiliki signifkansi yang tepat karena sebelum Muhammadiyah memenangkan Jihad Konstitusinya dengan melakukan peninjauan ulang (judicial review) melalui Mahkamah Konstitusi dan pada tangal 18 Februari 2015 melalui sidang MK yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat memutuskan mengabulkan seluruh gugatan permohonan pemohon terkait Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dinilai bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal 33.

Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2004 ini yang diturunkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2010 perubahan kedua dari Perpres Nomor 77 Tahun 2007 memberikan peluang bagi swasta menguasai 100% modal penguasaan air dan bahkan pihak asing dapat menguasai modalnya hingga 95%. Baik undang – undang maupun turunannya inilah yang bagi saya baik secara implisit maupun eksplisit menjadi memantik kesadaran penulis buku untuk mengangkat pokok bahasan tentang privatisasi sumber daya air.

Jika mencermati secara keseluruhan isi buku tersebut maka kita bisa memahami bahwa ekonomi neoliberalisme menjadi basis atau mungkin tidak berlebihan jika saya mengatakan sebagai landasan ideologis daripada privatisasi sumber daya air. Dan oknum elit negara menjadi corong kepentingan yang mempermudah melalui kekuasaannya sehingga praktik tersebut nyata dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Padahal sesungguhnya ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi negara.

Maka Munawwar Khalil selaku penulis, yang telah menempuh program pasca sarjana di UIN Sunan Kalijaga dengan Program Hukum Islam Konsentrasi Mu’amalah sangat menyadari bahwa Hukum Islam sebagai bagian dari dialektika diyakini mampu turut menciptakan keadilan global tanpa kecuali bagaimana memahami ketidakadilan sebagai akibat dari ekonomi neoliberalisme tersebut.

Saya selaku yang mencoba mereview buku tersebut, yang meskipun saya tidak mengikuti perkembangan terkait praktik sebagai implementasi dari putusan MK atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2004, tentu sedikit merasa bahwa bisa saja konteks dan substansi yang dimaksud dalam buku tersebut terkait privatisasi sumber daya air tidak relevan lagi saat ini untuk konteks Indonesia. Namun bukan berarti bahwa substansi buku secara keseluruhan tidak relevan dengan konteks zaman hari ini apalagi jika diperuntutkan untuk kepentingan global.

Dalam buku tersebut, kita bisa membaca bahwa pada dasarnya mengurai secara mendalam tentang: Pertama, air dan nilai ekonomi; Kedua, nilai dasar hukum ekonomi Islam; Ketiga, ekonomi neoliberalisme : privatisasi sumber daya air dan Keempat, privatisasi sumber daya air: hukum ekonomi Islam.

Dari empat tema besar yang diuraikan dalam buku tersebut, memperkuat pemahaman awal saya bahwa buku ini masih sangat relevan untuk modal dialektika dan sebagai spirit perjuangan dan penyadaran dalam rangka menciptakan keadilan termasuk keadilan global. Meskipun mungkin ruang kontekstualisasinya bukan hanya terkait privatisasi sumber daya air, tetapi terkait sumber daya alam lainnya. Sehingga pada judul tulisan saya di atas, akronim SDA bisa bermakna ganda yaitu Sumber Daya Air dan/atau Sumber Daya Alam.

Pada dasarnya dalam buku tersebut, penulis (baca: Munawwar khalil) menjelaskan bahwa air adalah hajat manusia yang paling utama untuk hidup. Bahkan penulisnya mengutip QS. Al-Anbiya/21: 30 “…dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup…”. Penegasan Al-Qur’an bahwa air adalah sumber dari kehidupan bagi semua makhluk di jagat raya ini.

“Problem ketiadaan dan kekurangan air dapat menimbulkan bencana bagi manusia dan kelalaian dalam mengelola air juga akan berakibat bencana. Air adalah kehidupan. Sepanjang sejarah, sumber daya air selalu menjadi hal yang sakral, patut dita’zimi, dan dihormati. (Munawwar khalil, 2009: 1).

Oleh karena hal tersebut, privitasasi sumber daya air bisa merupakan sumber dan awal dari kebinasaan manusia. Penulis menjelaskan dalam bukunya bahwa yang dimaksud dengan privatisasi adalah sebuah proses sistematis untuk memindahkan status kepemilikan BUMN dan kekayaan publik lainnya dari tangan seluruh anggota masyarakat kepada para pemilik modal perseorangan.

Namun ternyata dalam buku itu pula saya memahami bahwa ternyata spirit daripada privatisasi bukan hanya mengambil alih perusahaan tetapi mempunya tujuan lebih besar yaitu menata ulang struktur perekonomian sebuah negara guna melapangkan jalan bagi penyelenggaraan agenda –agenda ekonomi neoliberal secara international. Pendapat ini dikutip oleh penulis dari Petras dan Veltemeyer.

Cakupan buku Privatisasi Sumber Daya Air, Tinjauan Hukum Ekonomi Islam dikerucutkan pada tiga poin utama yakni: Pertama, buat apakah privatisai sumber daya air dan apa dampaknya bagi kepentingan publik?, Kedua, bagaimana pandangan Islam tentang fungsi dan pengelolaan sumber daya air? dan Ketiga, bagaimana hukum Islam terhadap privatisasi sumber daya air dalam hubungannya terhadap kepentingan publik?.

Meskipun buku ini dikerucutkan pada tiga poin utama, namun saya selaku yang mereview buku tersebut, tidak secara sempit atau spesifik memahami perspektif hukum ekonomi Islam dalam konteks privatisasi sumber daya air semata. Namun harapan saya hukum ekonomi Islam perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas, sumber daya alam secara umum. Ini diperuntutkan dalam rangka semakin meningkatkan pencapaian keadilan global.

Selain daripada itu melalui review buku ini, saya mencoba memahami dan mengajak para pembaca untuk memahami ekonomi liberalisme yang muaranya bukan hanya pada persoalan privatisasi air tetapi pada aspek ekonomi secara umum.

Jika dalam buku Privatisasi Sumber Daya Air, Tinjauan Hukum Ekonomi Islam uraian pembahasannya mendahulukan tentang hukum ekonomi Islam kemudian ekonomi liberalisme maka pada tulisan ini saya memulai untuk memberikan pemahaman mendalam berdasarkan buku terseubt dari ekonomi liberalisme terlebih dahulu.

Hal tersebut saya lakukan bukan tanpa alasan melainkan bahwa ekonomi liberalisme adalah merupakan sumber petaka yang sudah real dan melingkupi berbagai dimensi kehidupan secara global. Dan inilah yang perlu dipahami realitas konkretnya dengan menggunakan perspektif (pisau analisis) hukum ekonomi Islam sebagaimana diuraikan oleh penulis dalam buku tersebut.

Dalam buku tersebut sebagaimana dijelaskan oleh penulisnya (halaman 31-42), saya dan kita bisa memahami bahwa “neo” di alam neoliberalisme, sesungguhnya merujuk pada bangkitnya kembali bentuk baru aliran ekonomi liberalisme lama. Paham (baca: liberalisme) ini mulanya dibangkitkan oleh ekonom Inggris, Adam Smith yang terbit pada tahun 1776 berjudul “The Wealth Of Nations”. Spirit yang didorong oleh Adam Smith dan kawan kawannya adalah menggagas penghapusan intervensi pemerintah dalam ekonomi.

Mereka berharap pemerintah harus membiarkan mekanisme pasar bekerja, deregulasi, mengurangi segenap restriksi pada industri, mencabut semua rintangan birokratis perdagangan, ataupun menghilangkan tarif bagi perdagangan demi menjamin terwujudnya apa yang disebut dengan “free trade” atau perdangan dan persaingan bebas. Dalam pandangan mereka pula bahwa perdagangan dan persaingan bebas merupakan cara terbaik bagi ekonomi nasional untuk berkembang. Singkatnya liberalisme adalah “bebas dari kontrol pemerintah”.

Yang dalam perjalanan sejarahnya liberalism pernah tenggelam setelah munculnya Ekonom Inggris John Maynard Keynes dengan gagasannya tentang “full employment” yang pada intinya peran pemerintah tetap harus terlibat dalam penciptaan lapangan kerja. Dan setelah ini muncul “corporate globalization”, yang berhasil merebut kembali ekonomi dan mengembalikan paham liberalisme bahkan berskala global. Dan inilah yang disebut neoliberalisme.

Pendirian noeliberalisme tidak jauh berbeda dengan liberalisme. Karakter lain yang berbeda dari liberalisme, neoliberalisme adalah penghargaannya atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan. Selain daripada itu neoliberalimse menilai pemerintah atau negara merupakan masalah “parasit” yang harus disingkirkan.

Dari buku tersebut, kita bisa memahami bahwa neoliberalisme sesungguhnya memiliki pendirian yang jika dikontekstualisasikan dalam kehidupan Indonesia, itu sangat tidak relevan dengan konstitusi negara,sosial budaya, spirit gotong royong dan religiusitas atau nilai – nilai luhur kebangsaan Indonesia tanpa kecuali yang tercermin dari ideologi bangsa yaitu : Pancasila.

Pendirian neoliberalisme yang dimaksud adalah: Pertama, biarkan pasar bekerja. Kepercayaan ini termasuk bebaskan perusahaan swasta (private enterprises) dari negara atau pemerintah apapun akibat sosialnya. Kedua, hentikan subsidi negara kepada rakyat, karena bagi neoliberalisme ini bertentangan dengan prinsip jauhkan campur tangan pemerintah. Mengharapkan pemangkasan anggaran terkait pelayanan sosial untuk pendidikan dan kesehatan. Selain daripada itu bertentangan dengan prinsip pasar bebas dan persaingan bebas. Bahkan mereka mengharapkan privatisasi atas semua aset perusahaan negara.

Ketiga, mendorong negara agar mau menjual semua perusahaan negara kepada investor swasta termasuk industri strategis, meskipun dengan retorika “efisiensi dan mengurangi korupsi”. Keempat, penghapusan ideologi “kesejahteraan bersama”. Spirit laten dalam penghapusan ini adalah spirit gotong royong dan berbagai keyakinan solidaritas sosial yang hidup di rakyat tergantikan dengan paham “tanggung jawab individual” dengan dalil serahkan kepada ahlinya.

Bersambung…

 

Agusliadi Massere

Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kab. Bantaeng Periode 2018-2023

 

 

 

 

 

 

 

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply